MOJOK.CO – Mengapa kita terlalu mudah nge-judge tak pancasilais suatu hal? Termasuk sebuah spanduk yang tertera tata tertib di Perumahan Kampung Islami Thoyibah?
Dua hari lalu beredar dua foto spanduk di Twitter. Spanduk pertama bertuliskan, “Anda Memasuki Kawasan Wajib Berjilbab”.
Spanduk kedua bertuliskan lima poin tata tertib di Perumahan Kampung Islami Thoyibah, yakni: “Wajib berpegang pada Alquran dan As-Sunnah; laki-laki wajib salat lima waktu berjamaah di masjid; dilarang merokok; perempuan wajib berhijab; dan kawasan bebas dari musik.”
Dua foto tersebut dicuitkan akun bernama @Dwiyana_DKM dengan diikuti tulisan begini:
Ini apa-apaan?
Klo anda meyakini jilbab wajib, silakan, tp jgn maksain smua org mengikuti keyakinan anda
Indonesia negara PANCASILA, tidak ada paksaan pada satu agama tertentu
Ingin trlihat islami, bukan seperti itu caranya. Islam itu MENGHARGAI, BUKAN MEMAKSA.
Lalu mention ke akun lain: @wahhabicc_jabar.
Cuitan itu lekas viral. Ribuan orang me-retweet dan menyukainya. Termasuk urun komentar mendukung pernyataan si sender.
Khususnya di poin “Indonesia negara Pancasila, tidak ada paksaan pada satu agama tertentu” dan “Islam itu menghargai, bukan memaksa.” Yang kemudian diikuti penghakiman bahwa peraturan di Kampung Islami Thoyibah tersebut tak pancasilais dan tak mencerminkan Islam.
***
Menurut saya ini menunjukkan penyakit stigma dan intoleran yang bisa menjangkiti siapa pun. Termasuk mereka yang menyerukan toleransi, Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Pasalnya, saya tak melihat ada proses tabayyun. Mereka menghakimi peraturan tersebut hanya berdasarkan dua foto spanduk yang beredar. Sedangkan, di era Photoshop saat ini, sangat susah buat memastikan keaslian foto. Agus Mulyadi saja bisa terlihat cukup nyata uwel-uwel dengan Melodi JKT 48, padahal cuma suntingan saja.
Semestinya mereka cari tahu kebenarannya. Minimal bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini: Siapa pembuat peraturan tersebut? Kepala Kampung Islami Thoyibah? Atau atas kesepakatan seluruh penduduk kampung? Apakah yang wajib menaati penduduk muslim saja atau seluruh penduduk di Kampung Islami Thoyibah tersebut apa pun agamanya? Apakah yang tak melaksanakan dapat hukuman atau tidak?
Seumpama faktanya peraturan tersebut dibikin segelintir warga Kampung Islami Thoyibah saja, menyasar kepada seluruh pemeluk agama di kampung itu. Lantas, bagi yang tak menaati terkena hukuman, oke lah kalau mau dikatakan intoleran, tak pancasilais, dan tak sesuai nilai Islam. Lantaran, terang ada pemaksaan kehendak oleh segelintir orang kepada orang lainnya. Ada pihak yang dirugikan dan terdiskriminasi.
Sebaliknya, kalau ternyata jawabannya peraturan itu dibuat atas kesepakatan seluruh warga setempat, hanya berlaku bagi yang muslim, dan tak ada konsekuensi hukum bagi yang tak menjalankan. Maka, tak perlu disebut tak pancasilais, intoleran, dan tak islami. Tak perlu juga jadi polemik. Mereka yang tinggal di situ sudah rela kok, kenapa yang jauh malah ribut?
Tapi kan bisa ditiru di daerah lainnya? Sama saja membiarkan eksklusivisme berkembang di kampung-kampung? Nanti menciptakan perasaan holier than thou?
Anggap saja itu kayak spanduk dilarang geber motor di kampung tertentu. Kita saja bisa kok toleran dengan peraturan macam itu. Menaati saat melintas di kampung itu saja. Kenapa di perkara ini tak bisa?
Toh selain peraturan poin pertama, selebihnya adalah hal furu’ (cabang) dalam Islam. Bukan ushul. Masih ada ruang menyatakan tidak setuju secara baik dengan membawa pandangan lain, tanpa menstigma.
Kalau memang mereka meyakini di Indonesia adalah negara Pancasila dan tak boleh ada paksaan kepada agama tertentu, mestinya memberi ruang pula bagi ekspresi keagamaan macam peraturan di Kampung Islami Thoyibah tersebut. Bukan malah menghakiminya dan menstigmanya.
Pasalnya, Pancasila adalah ideologi terbuka. Harus mampu menyesuaikan diri dengan kondisi, situasi, dan pemikiran apa pun yang berkembang dalam suatu zaman. Sekaligus menjembatani perbedaan-perbedaan yang timbul dalam masyarakat guna mencapai harmoni sebagai sebuah weltanschauung yang digali dari sejarah keragaman bangsa.
Sebaliknya, sikap menghakimi justru memperlihatkan mereka tak sedang menjaga Pancasila, melainkan sebatas menjadi algojo bagi kebhinnekaan. Mereka sedang menjerumuskan Pancasila menjadi ideologi yang represif, alat penggilas pemikiran, dan sikap yang berbeda dengan kemauan sekelompok orang atau pemangku kuasa. Seperti halnya yang dilakukan Orde Baru dan pengikutnya selama 32 tahun.
Hasilnya adalah sejarah kelam peristiwa Tanjung Priok, Talangsari, Petrus, dll yang membuat banyak orang kehilangan nyawa. Saya sih ogah mengulangi masa-masa semacam itu lagi.
Begitu pun kalau mereka meyakini Islam menghargai dan tak memaksa. Mestinya biasa saja menyikapi perbedaan cara memaknai dan menjalankan Islam. Toh bukan hal baru terdapat perbedaan pandangan dalam Islam.
Di negeri ini, perbedaan pandangan sudah berlangsung lama di antara umat muslim. Ada golongan yang berpandangan Islam mesti beradaptasi dengan perangkat budaya pra-Islam, seperti keyakinan kelompok Islam tradisionalis. Ada golongan yang berpandangan pemurnian ajaran Islam dalam perangkat masyarakat, seperti keyakinan kelompok Islam modernis.
Atau, misalnya dalam menyikapi penerimaan Pancasila sebagai azas tunggal. Kiai Bisri Syansuri saat masih menjabat Rais Aam PBNU pada 1978 tak setuju dengan pemerintah menjadikan Pancasila sebagai azas tunggal. Pasalnya, beliau khawatir hal tersebut merendahkan posisi Islam sebagai agama yang semestinya menjadi pedoman utama semua pemeluknya. Sikapnya tak main-main. Sampai menggerakkan fraksi PPP—yang NU telah berfusi di dalamnya, walk out dari sidang MPR.
Berbeda dengan Rais Aam PBNU setelahnya, Kiai Ahmad Shiddiq yang menerima Pancasila sebagai azas tunggal karena menilainya telah selaras dengan Islam. Lantaran, sudah terdapat nilai keislaman di dalamnya. Sehingga tak perlu dibenturkan satu sama lain.
Namun, apakah perbedaan-perbedaan tersebut lantas membuat yang tradisionalis lebih islami dari yang modernis atau sebaliknya? Apakah berarti Kiai Bisri Syansuri tak lebih berminat menjaga kebhinnekaan dibandingkan Kiai Ahmad Shiddiq? Bagi saya, tentu saja tidak.
Perbedaan-perbedaan tersebut justru menunjukkan ragam pergolakan pemikiran dalam Islam. Dan memang, Islam menganjurkan pemeluknya untuk terus berpikir atau berijtihad agar selalu kontekstual dengan zaman dan tempat.
Lagi pula, seperti kata Gus Dur, mereka yang berbeda pendapat itu masih dalam satu ikatan iman. Daripada energi habis buat memusuhi, lebih baik saling melengkapi guna mewujudkan izzil islam wal muslimin dan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
***
Tak ada cara lain dalam menyikapi perbedaan kecuali dengan bersikap adil, yang menurut Imam Ghazali adalah inti dari Islam. Buat adil, selain tabayyun bisa dengan mengambil sisi baik dari setiap perbedaan pandangan.
Terus sisi baik apa yang bisa diambil dari peraturan penuh paksaan? Sisi baiknya saya jadi berusaha nulis buat Mojok dan kamu mau baca sampai di sini meskipun tak lucu.
Kamu juga jadi mikir alasan apa yang kira-kira bakal disampaikan buat menghindari salat berjamaah atau pakai jilbab seandainya berkunjung ke Kampung Islami Thoyibah tersebut. Lantaran, sialnya pacarmu rumahnya di sana. Sedangkan, kalau putus bakal susah cari gantinya.
Apa pun itu, yang jelas tak ada kerukunan dan toleransi berangkat dari stigma. Mau stigmanya atas nama menjaga Pancasila, toleransi, bahkan Islam. Itu namanya berlaku intoleran dengan bersembunyi di balik nama Pancasila, toleransi, dan Islam. Penyakit. Sama kayak penyakit dikit-dikit kafir, komunis, dan anti-antian. Lantas, tak ada kesembuhan yang bisa diharapkan dari bersatunya dua penyakit. Malah jadi sakit kronis. Komplikasi. Dekat mati. Mati yang berarti kehancuran bangsa ini.