MOJOK.CO – Program penceramah bersertifikat ini ditengarai dapat menangkal tumbuhnya radikalisme di Indonesia. Hm, yakin nih cuma itu fungsinya?
Dulu ketika masih SMA, saya pernah dengar istilah sertifikasi guru di sekolah saya. Setahu saya saat itu, sertifikasi guru merupakan cara agar guru bisa mendapat penghasilan lebih banyak dari biasanya.
Kenapa kesimpulan saya bisa begitu? Soalnya kebetulan guru yang punya sertifikasi di sekolah saya biasanya adalah guru yang suka mentraktir siswa-siswanya sebelum belajar. Katanya semacam pemantik agar murid-muridnya mau belajar gitu. Wah, dermawan sekali.
Hal itulah yang kemudian jadi tanda tanya bagi saya, apakah istilah sertifikasi guru itu mirip dengan program Kementerian Agama (Kemenag) yang baru-baru ini digulirkan dengan nama penceramah bersertifikat?
Jadi, bagi penceramah bersertifikat, peluang penghasilannya lebih banyak akan makin tinggi?
Wacana program penceramah bersertifikat ini berasal dari ide Kiai Ma’ruf Amin. Ya sekalipun di balik layar mungkin ide awalnya bukan dari beliau semata, setidaknya ketika wacana ini dilempar ke publik, nama Kiai Ma’ruf Amin disebut sebagai pengarahnya.
Bahkan nggak sekali Kiai Ma’ruf Amin melempar istilah sertifikat-sertifikat beginian. Sebelum wacana penceramah bersertifikat, beliau pernah berniat mengadakan program sertifikat bebas korona. Semua jadi serba-sertifikat kesannya.
Tentu saja, wacana program penceramah bersertifikat ini langsung menimbulkan pro dan kontra. Sampai-sampai Sekjen MUI, Anwar Abbas, siap mengundurkan diri kalau program tersebut terus dilanjutkan oleh Kemenag. Walah, hakok langsung mutung, Pak?
Akan tetapi, sosok keren semacam Denny Siregar tentunya amat suka dengan program pemerintah tersebut (sebenarnya sih kalau orang macam Denny mah apa aja program pemerintah pasti suka lah). Makanya Denny sampai berani mempersilakan Sekjen MUI untuk undur diri saja.
Menurut Denny Siregar dan gerombolannya, program penceramah sertifikasi ini ditengarai dapat menangkal tumbuhnya radikalisme di Indonesia. Ini program bagus, begitu katanya.
Dengan menggandeng Lemhanas, BNPT, dan BPIP, diharapkan akan lahir kader-kader penceramah yang berwawasan Pancasila dan kenegaraan sesuai dengan arahan ketiga lembaga itu. Hanya saja, memang terdengar agak wagu ketika penceramah-penceramah nantinya merupakan produk BPIP.
Jadi kayak semacam penceramah tapi PNS gitu, karena punya legal formal resmi dari pemerintah. Bukan tidak mungkin di masa depan nanti bakal muncul istilah-istilah penceramah swasta, penceramah swadana masyarakat, sampai penceramah indie. Kelompok penceramah yang keluar dari label mayor pemerintah.
Terlepas dari itu, hal yang bermasalah dari program ini adalah kesan bahwa seakan-akan program penceramah bersertifikat “terlihat baik-baik saja”. Maksud saya begini, kalau diperhatikan, program penceramah bersertifikat ini sebenarnya jadi berbahaya karena tidak dijadikan kewajiban bagi penceramah.
Artinya, kalau program ini goal, pemerintah nggak bakal maksain. Kalau nggak mau ikut program ini, ya boleh-boleh aja. Tapi kalau mau ikut, ya mohon ikuti prosedur yang berlaku dan sesuaikan tafsir ceramahnya dengan standar pemerintah.
Ini kan jadi aneh sekali. Terkesan berlawanan dengan ide awal yang digaungkan sebagai upaya menangkal radikalisme agama. Kasih program bersertifikat tapi setengah-setengah. Malu-malu kucing.
Namun, jangan dikira gaya memberi kebebasan ke penceramah itu beneran tulus. Hal yang berbahaya justru ada pada garis pembeda antara penceramah mana yang diberikan legitimasi dengan yang tidak, dan penghakiman itu bisa muncul dari masyarakat.
Program penceramah bersertifikat ini bakal jadi pintu masuk bagi labeling masyarakat. Apabila salah satu golongan penceramah tersertifikasi oleh pemerintah, bukankah secara bersamaan hal itu menegaskan penceramah lain berarti kelompok yang berlawanan?
Syukur-syukur kalau labelingnya benar alias tepat sasaran, lah kalau sekadar beda tafsir doang? Atau pernah nggak setuju dengan satu atau dua kebijakan pemerintah lalu jadi nggak dapat sertifikat? Kan ini bisa memicu labeling dan melahirkan ketegangan antar-umat nantinya?
Bisa-bisa ketika ada seorang penceramah yang nggak memegang sertifikat, ia dengan sembarang dicap ekstremis, dianggap radikal. Semuanya jadi persoalan label. Yang dapat sertifikat berarti bukan radikal, yang nggak dapat berarti ia radikal. Wah, ngeri sekali.
Main labeling seperti ini bukan sesuatu yang mustahil terjadi. Dulu, almarhum Munir pernah dilabeli sebagai antek-Yahudi hanya karena dia aktivis yang sering berseberangan dengan pemerintah Orde Baru. Atau kalau ada gerakan yang memperjuangkan reforma agraria, buru-buru bakal dicap PKI.
Kalau kamu merasa aneh, ya kamu harus tahu kalau memang begitu cara kerja labeling. Upaya mendelegitimasi seseorang atau gerakan tanpa mau repot bertarung secara fair. Nggak mau berjuang dari bawah, lalu bikin program yang terlihat lunak, tapi berpotensi bikin kericuhan di akar rumput.
Asumsi bahwa penceramah yang tidak memiliki sertifikat sebagai yang “jangan-jangan radikal” itu berbahaya tidak saja untuk mereka yang sebenarnya tidak radikal, tapi juga berbahaya bagi ide-ide dan gagasan sosial-keagamaan yang menuntut keadilan sosial. Apalagi kalau isu-isunya bertentangan dengan kepentingan oligarki, eh maaf, maksudnya kepentingan negara.
Ulama atau penceramah yang membela kepentingan masyarakat di akar rumput, misalnya. Bukan tidak mungkin mereka bisa kena masalah kalau program ini direalisasikan. Dengan dalih tak punya sertifikat, bisa-bisa penceramah semacam ini kena kriminalisasi.
Menimbang betapa peliknya wacana program ini ke depannya, kenapa sih pemerintah nggak memulai hal beginian dengan bikin sertifikasi untuk diri sendiri saja dulu?
Sertifikasi politisi misalnya.
Ya kan lumayan. Kali aja kalian bisa dapat penghasilan tambahan.
BACA JUGA Zaman Ketika Ulama Dikit dan Banyak Tukang Ceramah atau tulisan Ang Rijal Amin lainnya.