MOJOK.CO – Proses RUU Permusikan itu masih panjang. Ibarat Mas Anang baru chatting basa-basi belum juga nembak, udah ditolak karena suuzon. Kan sakit.
Sebagai musisi paruh waktu, ingin rasanya ikut cawe-cawe menggoreng gejolak RUU Permusikan yang sedang heboh belakangan ini.
Sudah banyak yang menulis macem-macem tentang kebijakan birokasi, mekanisme sidang dan bobok siang di gedung DPR tentang aspirasi, pembahasan, RUU, hingga menjadi undang-undang, lalu bersliweran juga tentang pasal-pasal karet.
Kita nggak akan membahas itu, ndak begitu paham saya. Apalah saya ini, cuma musisi tradisional. Jadi atau tidaknya RUU Permusikan itu, nggak bakal ngaruh banyak sama penabuh gamelan, sinden, penembang macapat, yang terlanjur dicap klenik.
Musik biasa aja bisa dicap haram, apalagi musik tradisional yang musyrik begini, wah dobel-dobel haramnya.
Satu hal yang ingin saya sorot adalah mengenai “demonstrasi” besar-besaran melalui media sosial tentang; “pengekangan, pengebirian, pembunuhan kebebasan ekspresi.”
Walaaaah biyuuuung, melodrama sekali kepsyenmu wahai anak band.
Memang kebebasan berekspresi yang seperti apa to? Apakah jika sudah dikategorikan ekspresi seni lalu bisa bebas bikin karya apa saja? Bebas ngapain saja dengan musiknya?
Tunggu dulu. Orang lain juga punya apa yang dinamakan hak berekspresi lho, dan pastinya juga punya hak agar tidak terganggu dengan ekspresimu yang bebas dan wild itu.
Lalu kamu bilang bahwa berekspresi adalah hak asasi musisi. Namun hak asasimu itu jangan sampai mengganggu hak asasi orang lain juga dong.
Tentang hak asasi sudah ratusan tahun dibahas, sejak jaman Raja John di Inggris dengan Magna Carta, Universal Declaration of Human Rights PBB, sampai UU HAM di Indonesia, semuanya mengatur tentang hak-hak dasar umat manusia, yang beberapa poinnya adalah tidak boleh diskriminatif, dan menghargai hak pribadi masing-masing individu.
Nah, pirtinyiinnyi.
Apakah hak asasi berekspresimu tidak melanggar hak asasi orang lain? Tidak diskriminatif terhadap orang lain? Kayaknya itu juga salah satu poin penting yang ingin dibahas oleh Mas Anang Hermansyah di DPR.
Saya bukannya pro Anang atau simpatisan partainya lho, meski saya benar-benar mengagumi Mas Anang sebagai “lelananging jagat”. Lha gimana ndak kagum, Krisdayanti pernah, Syahrini pernah, sekarang Ashanti. Si #anangpayah yang diolok-olok itu nyatanya Sang Arjuna Milenial juga.
Kebebasan berekspresi yang diteriakkan itu seperti apa sih? Apakah lalu para musisi lalu bisa nyanyi telanjang? Mabuk pakai narkoba di panggung supaya bisa ngesoul kayak Kurt Cobain? Bisa bikin lagu pakai lirik pornografi, SARA, diskriminatif?
Nggak gitu juga, keleus…
Tidak semuanya yang atas nama seni lalu bisa bebas tanpa aturan. Semua ada etikanya, meskipun para seniman tidak pernah benar-benar sepakat akan apa itu kode etik kesenian.
Banyak musisi ngomel-ngomel yang beranggapan bahwa gara-gara RUU Permusikan itu nantinya kalau bikin lagu akan dikekang liriknya. Tidak boleh nulis lirik tentang ini itu. Apalagi para pelaku skena musik indie dan underground, khawatir kalau tidak boleh nulis lirik yang tajam dan kejam lagi.
Soal lirik lagu itu, seharusnya kita otokritik dulu terhadap karya kita sebelum nanti benar-benar diatur dalam UU Permusikan.
Apakah benar karya musisi sampai hari ini tidak diskriminatif terhadap orang lain? Tidak nyakitin orang lain? Tidak melanggar hak pribadi orang lain?
Misalnya nih, kamu anak Punk yang indie dan underground bikin lagu dengan lirik yang berisi kata-kata; “politisi anjeng, anggota dewan bajengan….”
Wah, itu kan nyakitin hati dan jatuhnya jadi bullying namanya.
Katanya jiwa punk itu menghargai kesetaraan manusia, mereka yang kamu kritik itu kan juga manusia. Seniman, kalau mau ngritik, mbok ya yang artistik. Bisa saja lebih elegan kalau liriknya dibikin satire, atau pakai majas-majas apalah.
Lirik yang menyerang kayak gitu kalau dibaca anak seorang politisi gimana? Sedih nggak dia kalau di sekolahnya tiba-tiba temennya ikutan nyanyi lagu yang ngatain bapaknya? Kalau dibaca ibunya gimana? Udah 9 bulan 10 hari dikandung, lahir besar jadi orang sukses cuma dibajing-bajingke sama anak PUNK cuma gara-gara lirik lagu yang ngolok-ngolok bapaknya?
Kita kan cuma tidak setuju dan tidak senang sama hasil kerja politisi atau anggota dewan tersebut. Atau mungkin risih aja sama pencitraan mereka, tapi bukan berarti lalu kita benci mereka sampai ke ranah personal kan?
Siapa tahu hasil kerjaan mereka yang dianjing-anjingkan itu, mereka sedekahkan untuk bangun tempat ibadah, panti asuhan, atau bagi-bagi beasiswa buat sekolah anak Punk? Ya kan siapa tahu.
Gimana jika dibales? Kebetulan nih ada politisi suka bikin puisi dan ada anggota dewan yang juga musisi, misal mereka bikin band. Lalu atas nama kebebasan berekspresi musik mereka juga bikin lagu yang liriknya ada kata-kata; “anak Punk anjeeeng… anak Punk bajengan.”
Saya jamin pasti punkers pada ngamuk. Lalu ada dedengkotnya yang nantangin duel para player band politisi dewan itu (walaupun sampai hari ini ndak pernah ada duel yang benar-benar terjadi sih, alias sekadar tantangan omdo).
Lalu kalau ekspresi nulis lirik nggak diatur, bisa jadi nanti terjadi gesekan juga antar seniman. Misal saja saya—karena nggak suka sama Sheilla on 7, terus bikin lagu yang ngejelekin Duta, terus sama Eros dibales bikin lirik yang ngejelekin saya juga. Lalu gitu aja terus sampai Jan Ethes kuliah.
Masih mending kalau bentuknya bales-balesan lirik lagu gitu, lha kalau jatuhnya jadi saling persekusi? Saling sikut-sikutan? Bahkan sampai tawuran gimana?
Sekali lagi kebebasan berekspresi itu memang hak asasi, tapi juga terbatas dengan kebebasan hak asasi orang lain. Jangan lalu menuhankan kesenian, atau mentang-mentang seniman lalu jadi merasa punya pendapat yang maha benar.
Proses RUU Permusikan ini masih panjang dan memang butuh dikawal dengan hati-hati dan bijak. Ibarat sama gebetan, baru chatting basa-basi belum juga nembak, udah ditolak. Kan sakit.
Duduk dulu, tarik nafas dulu, baca dulu yang lengkap tentang isi RUU dan pendapat orang-orang. Jangan latah di sosmed, meskipun hari ini untuk latah tidak lagi butuh terkejut. Asal ikut-ikutan orang banyak, main tolak, ramai-ramai berteriak.
Mentang-mentang banyak kawan, lalu asal ngelawan. Kalau kayak gitu nggak beda dong sama ormas yang sering kumpul di Monas, yang merasa sedang mayoritas, merasa kuat lalu boleh demo soal segalanya. Dari masukin orang ke penjara semaunya, sampai belain orang biar nggak dipenjara juga bisa.