MOJOK.CO – Bagaimana caranya menyikapi musim ular menetas? Terutama setelah kejadian dua kali rumahmu disambangi ular di musim hujan ini.
Hujan yang terus-menerus turun semenjak Oktober 2020 diyakini sebagai dampak fenomena La Nina. Ketika gelombang suhu di Samudra Pasifik terjadi penyimpangan. Orang-orang sering membicarakan La Nina ini dengan bencana hidrometeorologi seperti banjir dan longsor.
Namun, orang-orang jarang membicarakan musim hujan yang hebat ini sebagai musim ular menetas, terutama November-Desember 2020. Saya sendiri tidak pernah peduli dengan siklus hidup ular. Pada akhir 2020 lalu, keacuhan saya mendapat balasan. Dalam waktu sebulan, dua kali ular ditemukan di rumah kontrakan yang saya dan suami tempati.
Musim ular menetas ditandai dengan “kunjungan pertama” ketika hari menjelang siang. Saya sedang rapat via Zoom di ruang tengah, sementara Rio, suami saya, sedang mengetik di kamar kerjanya. Seekor ular sepanjang satu meter setengah dengan agresif masuk menuju kamar kerja yang terbuka. Ia berasal dari halaman belakang, tempat jemuran. Sontak Rio berteriak nyaring dan lompat keluar kamar sembari menutup pintu. “Ular! Beb, Ular!”
Saya yang sedang rapat pun ikut kaget. Saya tak melihat ular itu, tapi Rio segera menyuruh saya mencari orang lain untuk dimintai tolong. Teman-teman rapat saya menjadi ikut panik dan kebingungan.
Tak lama, saya membawa tukang bangunan dari rumah tetangga untuk mengevakuasi ular yang telah terpenjara di kamar kerja (kecuali ia bisa merayap dan melarikan diri dari jendela yang terbuka). Lalu, menyusul bala bantuan, seorang satpam kompleks perumahan kami, yang sekarang saya baru memahami fungsinya sebagai petugas keamanan.
Mas Satpam dan Mas Tukang sama-sama mencoba menangkap ular yang sekarang bersembunyi di balik rak buku. Ekspresi mereka seperti bocah mencari harta karun. Rio, suami saya yang cekatan itu, sibuk menjadi seksi dokumentasi dari atas kursi.
“Mungkin di bawah sajadah itu, Mas!”
“Ah, kelihatan ekornya di balik rak bukumu, Beb!”
“Mas, ada golok di situ, kalau mau dipakai.”
Seruan-seruan Rio membikin saya geli bercampur ngeri. Saya hanya memantau dari kamar tidur yang saya tutup pintunya. Evakuasi pertama ini berlangsung cukup lama karena tim harus menggeser rak-rak buku yang berat.
Akhirnya, saya tahu kerugian di balik mempunyai rak buku. Hewan melata mudah menyelinap di baliknya, apalagi di musim ular menetas ini. Ular pertama yang berkunjung berwarna cokelat, jenis ular kayu, bisanya tidak mematikan.
Setelah dikembalikan ke habitatnya, di sawah dekat rumah, saya kira ini sekadar soal salah alamat. Belakangan hujan turun tanpa henti, kemungkinan sarang ular di sawah terendam banjir. Rio syok bukan main. Musim ular bertelur tengah berlangsung.
Beberapa hari kemudian, kami sudah memasang kaligrafi dan ayat kursi sesuai titah mertua, setelah Rio kena omel, bahwa bagaimanapun ular adalah pertanda buruk bagi orang-orang Jawa. Kita tak pernah tahu apakah itu ular sungguhan atau jelmaan makhluk halus. Padahal, ya ini soal musim ular menetas saja. Semenjak itu pula, Rio trauma membiarkan pintu belakang terbuka saat kami tengah bekerja.
Peristiwa kedua, terjadi ketika kami baru pulang dari warung soto. Siang sedang terik-teriknya. Kami masuk rumah, mendapati dari balik kaca, di sudut tempat jemuran, ular besar tengah berjemur, bergelung santai.
Sensasi yang saya rasakan ibarat menonton ular di kebun binatang, tapi horornya, ini di rumah kami sendiri. Evakuasi segera dilakukan. Kali ini oleh Mas Satpam, dan dua tetangga kami.
Seorang tetangga yang berlatar Biologi, segera menelepon pecinta fauna untuk ikut membantu mengevakuasi. Ia belum tahu, bahwa Mas Satpam Kompleks adalah pawang ular yang dapat diandalkan. Rio sekali lagi, menjadi seksi dokumentasi.
Ular itu sempat lari dan tak tampak lagi. Kami kira ia bersembunyi di tumpukan kardus bekas. Dan ternyata, ia mendekam di dalam kotak pompa air. Selama ini ia bermukim di sana.
Kami baru menyadari ada lubang kecil untuk keluar-masuknya tanpa perlu repot-repot membuka penutup kotak pompa yang berat. Ia benar-benar tampak menyukai sarangnya. Selalu hangat, kering, dan gelap. Cocok bagi makhluk soliter dan introvert untuk mengaso di musim ular menetas ini.
Di dalam kotak itu ditemukan sisa tulang belulang ayam. Badan saya langsung lunglai mengetahui barang bukti tersebut. Selama ini saya punya kebiasaan, menaruh sisa protein hewani di bawah wastafel dapur. Gunanya untuk memberi makan kucing liar, yang suka mampir di malam hari.
Daripada ia mengorek keranjang sampah dan membuat saya jengkel, lebih baik ia makan di piring yang sudah disediakan. Saya kira, selama ini kucing-kucing liar itu rakus sekali, makan sampai tulang-tulang ikan dan ayam ia bawa kabur juga sekalian. Setiap pagi, piring sisa makanan semalam bersih tanpa sisa.
Fakta bahwa ular itu bermukim di kotak pompa air memberi saya kesadaran baru. Selama ini saya senantiasa memberi makan ular. Ia besar dan gemuk karena saya berbaik hati padanya. Ia hafal rutinitas saya dan suami, sehingga tak pernah ikut menampakkan diri saat saya cuci piring, masak, senam, joget, menjemur pakaian dan aktivitas apa pun di halaman belakang. Saya adalah “induk semang” di musim ular menetas.
Entah sejak kapan ia numpang ngekos. Sejak kapan kegiatan saya diintai, sejak kapan saya tak pernah melihat lagi kadal kecil berkeliaran di halaman belakang, saya benar-benar ngeri membayangkannya.
Ular kedua ini juga berjenis sama dengan ular pertama, dengan ukuran tiga kali lipat. Ular bajing, namanya, menurut Mas Satpam. Meski lengannya sempat dililit ular yang marah, dia berhasil mengevakuasi ular itu dan dilepaskan di sawah dekat sungai. Dia menolak membunuh ular itu. Karakter Mas Satpam mengingatkan saya pada tokoh utama dalam novel Kuntowijoyo, Mantra Penjinak Ular.
Saya benar-benar syok menghadapi peristiwa ini. Sementara Rio, mempunyai kepercayaan diri luar biasa bahwa kini dia sudah tak takut ular lagi. Rio memang menyebalkan. Dia menganggap ular itu jelmaan siluman gara-gara belakangan maraton nonton serial Kera Sakti.
Mungkin dia menganggap dirinya adalah Sun Go Kong, mampu menaklukkan ular meski hanya bertugas memotret tangkapan Mas Satpam. Di masa silam, Rio juga pernah menganggap dirinya mempunyai keterampilan berbahasa ular, parseltongue, akibat nonton film Harry Potter. Dia mendesis konyol saat ular kecil masuk ke rumah kontrakan kawannya.
Saya cukup terhibur mengetahui pasangan saya tidak takut ular lagi. Dia menjelaskan panjang-lebar soal psikis manusia urban semacam saya yang tak terima karena huniannya didiami makhluk lain. Padahal, manusia urban semacam saya yang mengganggu habitat dan momen musim ular menetas dengan menghuni permukiman di area persawahan.
Kamu perlu mengembangkan perspektif multispesies, ucapnya bijak, tapi saya selalu terkekeh kalau teringat gayanya yang sok jagoan dalam menghadapi ular. Saya mencoba membayangkan kepanikan ular itu ketika ketangkap basah, mencoba mengasihaninya karena ia harus kembali mencari rumah baru.
Tapi saya juga tidak dapat mengusir pikiran mengenai relasi saya dengannya: antara juragan dan hewan peliharaan. Relasi si ular selama ini dengan para mangsanya di halaman belakang rumah: kodok, kadal, cicak, dan laron.
Perasaan saya campur aduk. Antara merasa kecolongan yang sedemikian besar hingga perasaan sedih memikirkan nasib ular di musim hujan seperti ini.
Mereka yang menetas dan salah alamat. Mereka yang bertelur dan perlu mencari alamat baru, bisa jadi diam-diam telah mendekam di sekitarmu. Ia dapat muncul kapan saja ia mau. Dari atas lemari, kolong sepatu, balik lemari, kardus mikser, hingga lubang stang motormu. Bagaimana kamu menyikapinya musim ular bertelur ini?
BACA JUGA Alasan Ular Kobra Berkeliaran Versi si Ular Kobranya Sendiri dan tulisan lainnya di rubrik ESAI.