Modal Baca Buku Saja Tak Cukup bagi Dosen Pengajar Mahasiswa Milenial

MOJOK.COJadi dosen bagi mahasiswa milenial berarti harus selalu siap terkejut dengan pertanyaan atau permintaan aneh yang kadang sulit dimengerti.

Suatu ketika, seorang mahasiswa tiba-tiba mengirimi saya sebuah pesan di WA. “Pak, tugas final sudah saya kirim ke email Bapak. Tapi kok nama saya tidak muncul di presensi ujian, Pak? Mohon penjelasannya.”

Saya memperhatikan foto profil si mahasiswa. Ini mahasiswa yang seingat saya satu kali saja tidak pernah hadir di kelas. Kecuali ia punya ilmu menghilang sehingga setiap kali di dalam kelas saya tidak melihatnya.

Logikanya, jika tidak pernah hadir di kelas satu kali pun, maka harusnya mahasiswa sadar jika namanya tidak muncul di presensi ujian. Tapi ini lain. Si mahasiswa tiba-tiba menghubungi dan mempertanyakan kenapa namanya tidak muncul dengan perasaan tak berdosa.

Menurut saya itu adalah hal yang luar biasa. Lebih luar biasanya lagi entah kenapa saya kadang jadi merasa bahwa jangan-jangan saya yang salah. Mungkin inilah yang disebut The Power of Millenial Student.

Bagi sebagian orang, menjadi dosen mungkin impian mulia. Berdiri di hadapan mahasiswa lalu mendiskusikan pokok materi pengajaran mungkin terlihat keren. Sebagian lagi menganggap bahwa menjadi dosen adalah pekerjaan mudah.

Apalagi kalau pengalamannya diajar oleh dosen yang hanya hadir membagi materi untuk didiskusikan. Lalu di saat proses diskusi sang dosen tak perlu hadir. Enak sekali memang.

Ada yang berkata, mengajar mahasiswa lebih mudah dibanding mengajar anak TK. Ah, kata siapa? Orang yang berkata seperti itu mungkin belum pernah bertemu mahasiswa milenial yang perilakunya kayaknya anak TK.

Kok Bisa? Bisalah. Gus Dur saja pernah berujar soal sulitnya membedakan anggota DPR dengan taman kanak-kanak, apalagi mahasiswa milenial. Meski penilaian itu tidak berlaku untuk semua mahasiswa milenial di Indonesia juga sih.

Tentu saja, adalah sah-sah saja jika antum-antum semua bermimpi menjadi dosen. Tapi sebelum terlambat. Mungkin perlulah saya ingatkan bahwa menjadi dosen tidak cukup hanya dengan modal paham materi, banyak baca buku, atau modal kuliah di luar negeri yang foto-fotonya yang diupload di Instagram. Sungguh.

Menjadi dosen bagi mahasiswa milenial berarti menjadi dosen yang harus selalu siap terkejut dan siap untuk menjawab pertanyaan dan permintaan yang sering aneh dan sulit dimengerti. Ada semacam shock culture-nya gitu.

Menghadapi mahasiswa milenial, dosen harus paham bahasa mahasiswa yang kurang familiar. Misalnya, bagaimana menjawab sebuah pesan mahasiswa yang dimulai dengan “piu” dan dikirimkan saat tengah malam.

Apakah harus dibalas dengan “Waalaikumsalam” atau membalasnya dengan kata “Selamat tengah malam” atau justru membalasanya juga dengan ucapan yang sama “piu”.

Dosen juga harus siap menghadapi permintaan aneh-aneh mahasiswa, misalnya “Alamat IG, apa ya, Pak?” atau “Folbek dong, Pak.”

Selain itu, seorang dosen diharapkan punya kemampuan khusus untuk memahami jenis-jenis penyakit mahasiswa. Ketika seseorang mahasiswa menyebutkan bahwa seorang temannya sedang sakit.

Kata sakit bisa bermakna bermacam-macam. Bisa saja si mahasiswa benar-benar sakit, bisa saja ia sedang bekerja, bisa saja pacarnya sedang tak datang menjemput sehingga tak ada tumpangan ke kampus, bisa saja ia sedang malas, bisa saja ia sedang bangun kesiangan, bisa saja ia sedang ikut aksi, bisa juga ia sedang tak ingin masuk kelas. Bahkan bisa saja si mahasiswa sedang menyamar. Jadi sungguh, kita harus tahu betul macam “penyakit” mahasiswa.

Selain itu dosen harus memahami posisi penting mahasiswa. Misalnya, seorang mahasiswa akan mengirimi pesan; “Maaf, Pak. Hari ini saya mau ijin nggak masuk karena ada keperluan.”

Memahami kata “keperluan” itu juga butuh pengalaman. Apa yang dimaknai keperluan? Apakah sang mahasiswa mau berobat? Apakah sang mahasiswa mau ikut kegiatan lain? Apakah sang mahasiswa mau nonton? Apakah sang mahasiswa sedang ikut aksi? Atau apakah mahasiswa mau menghadiri pernikahan teman dari keponakan adik perempuan sahabatnya?

Salah satu syarat jadi dosen juga harus selalu siap tampil di depan kamera kapan saja mengingat mahasiswa kadang juga berprofesi sebagai paparazzi.  Percayalah, banyak di antara adik-adik kita yang berpotensi jadi paparazzi.

Secara sembunyi-sembunyi mengambil gambar dosen di dalam kelas lalu mengirimkan foto itu di grup mahasiswa untuk sekedar mengabarkan kepada mahasiswa yang lain: “Bapak sudah masuk. Kalian pada di mana?”

Seorang dosen juga diharapkan punya kuota internet yang cukup dan bisa berfungsi sebagai wifi dadakan. Ketika berada di dalam kelas dan menagih bacaan yang telah diberikan sebelumnya, mahasiswa mungkin saja akan menjawab dengan tanpa perasaan bersalah.

“Belum sempat baca saya, Pak. Kuota saya habis. Bisa bagi kuota nggak, Pak? Apa passwordnya?”

Untuk urusan passwordnya, berilah password yang mudah dan tidak susah misalnya berbagi itu indah. Jangan menggunakan pasword wifi seperti; tidak tahu malu atau bagi nggak yah.

Serius, ada beberapa mahasiswa yang hatinya lebih sensitif dari mantan. Tidak akan menggunakan wifi gratis itu meski mereka butuh karena harga dirinya tersinggung. Tapi berhati-hati juga, karena ada juga mahasiswa yang setelah diberi wifi gratis yang seharusnya digunakan untuk membaca artikel justru menggunakannya untuk nonton Youtube atau buka Instagram.

Dosen juga harus punya ilmu gaib. Atau setidaknya punya kemampuan membalap ala Valentino Rossi. Bayangkan jika seorang mahasiswa tiba-tiba menelepon. “Pak, Kelas kami kosong hari ini.  Bapak bisa masuk biar pertemuannya cepat selesai? Kami tunggu.”

Tapi tentu bersiap-siap jugalah bertemu dengan mahasiswa yang melahap banyak bacaan dan bahkan mungkin melebihi bacaan yang dosen baca. Atau mereka yang memiliki referensi yang jauh lebih baru dibanding referensi yang dosen miliki. Atau bahkan mungkin juga mahasiswa yang diam-diam merupakan penulis Mojok.

Kalau bertemu mahasiswa seperti ini, selalu belajar dan terus membaca merupakan keharusan dan hal yang paling utama. Kalau modal bacaanmu hanya modal bacaan saat dulu kuliah di tahun 80-an atau 90-an dan tidak pernah diupgrade dengan bacaan terbaru dan referensi terbaru, maka kasihan kamu dan kasihan mahasiswanya.

Tapi sekali lagi, membaca tidak cukup. Karena mahasiswa yang punya bacaan bejibun pun tidak segan-segan melontarkan pertanyaan, “Instagram Bapak apa?” atau permintaan, “Folbek dong, Pak.”

Ups, satu lagi. Pakailah pakaian terbaikmu di akhir pertemuan. Jangan lupa cukur dan cuci muka biar kelihatan fresh. Karena setiap pertemuan akhir akan diakhiri dengan ritual foto bersama yang fotonya bakal diupload di Instagram mahasiswa sambil mention instagrammu.

Exit mobile version