Mereka yang Hidup di Atas Tiang-Tiang Kehormatan

Mereka yang Hidup di Atas Tiang-Tiang Kehormatan

Mereka yang Hidup di Atas Tiang-Tiang Kehormatan

Di acara Kliwonan Habib Luthfi Bin Yahya, saya sempat terpingkal sebab mendapati seorang pedagang menjual sikat WC dan centong nasi di pengajian. Memang selalu banyak orang yang mencari peruntungan pada acara semacam ini, mulai pedagang warung nasi, cemilan basah maupun kering, minuman dingin, dan buah-buahan. Tapi untuk pedagang yang khusus menjajakan sikat WC dan centong itu, rasa-rasanya saya tetap tidak habis pikir. Iseng saya kirim whatsapp ke kawan saya.

“Apa ya mas motivasi orang jualan sikat WC dan centong nasi di acara pengajian?”

“Lha memangnya apa motivasimu mempertanyakan jenis dagangan yang dijual orang?”

“Mereka terlalu optimis, menjual barang yang tampak menyimpang jauh dari riset kebutuhan calon konsumen.”

“Hasyah, mereka itu pedagang yang pasti lebih sering datang ke pengajian dibanding kamu. Mereka nggak perlu perkiraan riset –.”

“Iya juga yha.”

“Lagian, mau dagang aja kok susah-susah. Yang penting hari ini berangkat dagang, kalau hari ini nggak laku ya besok tinggal ganti barang dagangan. Toh sampai sekarang mereka masih saja dagang sikat WC, itu artinya pasti ada yang beli”

“Iya juga yha.”

Saya terkekeh dengan jawaban kawan saya yang sedikit njeplak tapi bikin “iya juga yha” itu.

Tapi, saya tidak yakin juga apakah teorinya itu bisa diterapkan di Kota yang lebih kejam dari ibu tiri: Jakarta.

Begini.

Beberapa bulan lalu, saya dan Mbah Nyutz ada di Jakarta untuk sebuah pekerjaan. Kereta yang akan membawa kami pulang ke Yogya masih sekitar dua jam lagi. Saya menikmati potongan buah pepaya yang dibeli dari Indomaret Stasiun Gambir, sementara Mbah Nyutz seperti biasa begitu khusyuk dengan rokoknya.

Kami sedang menunggu seorang teman yang kabarnya akan menyempatkan diri untuk bertemu sebelum kami berangkat.

Saya melempar pandang ke arah pagar besi yang memutari stasiun. Di luar sana adalah gedung Kwarnas Pramuka. Dan… oh, di trotoar, di sisi luar pagar, seorang laki-laki berteriak ke arah saya. Saya tak paham teriakannya. Dari mata saya yang minus, ia seperti orang yang marah-marah sambil memberi kode dari perkakas yang ada di kedua tangannya. Dua tiga menit kemudian, saya baru memahami tingkahnya.

Rupanya, ia seorang tukang semir sepatu yang menawarkan jasa. Kodenya tadi, kira-kira bisa diterjemahkan begini: “Kereta masih nanti. Kemarilah duduk sini. Sikat dulu sepatumu.” Buru-buru saya memberi kode lewat senyuman dan tangan, saya bilang tidak. Lalu, ia nampak sedikit kecewa dan berteriak-teriak lagi ke arah lain.

Stasiun Gambir memang tempat yang strategis untuk mereka yang menawarkan jasa kecil seperti laki-laki itu. Dahulu, sebelum era kepemimpinan Jonan, jumlah mereka pasti sangat banyak. Sekitar tahun 2013 saya sempat menaiki KRL dari Stasiun UI ke Stasiun Bekasi. Di Stasiun Bekasi, saya pernah disambut para pedagang kecil yang seketika langsung mengerumun saat saya turun dari “odong-odong”, sebutan untuk KRL jalur Jakarta Kota.

Sekarang tahun 2017. Mereka para pedagang kecil telah tumbang dan kalah, keberadaan mereka kini digantikan oleh toko-toko ber-AC di area stasiun.

Di Stasiun Gambir, beberapa dari mereka mungkin bertahan, berputar-putar dari Stasiun ke arah Monas.

Sebelumnya, kami naik bajaj dari daerah Tambra, Rawamangun. Saya ingat betul ekspresi tukang bajaj itu ketika kami bilang akan naik.

“Gambir, Pak. Berapa?”

“50 lah.”

“Ah, 40.”

“Yaa marilah. Ayo. Alhamdulillaaah, bisa setor juga!” girang betul si sopir ini.

Sepanjang jalan, ia bercerita bahwa ia adalah seorang petani dari Wonosobo. Sembari menanti masa panen, biasanya ia ke Jakarta. Sebelum narik bajaj, ia juga sempat ikut grup bluebird.

“Mahal… Setorannya nggak nutup. Modal awal di pagi hari buat bensin 200 ribu. Bisa enam ratus ribu modal sehari sama buat setor. Itu baru modal, belum dapet untung…”

Mbah Nyutz terus mengajaknya mengobrol. Saya mendengarkan sambil menikmati caranya menyetir bajaj yang membuat jantung berkali-kali hampir copot pada jam-jam macet sore itu.

“Bajaj ini bayar setorannya 110 ribu. Saya tidur di mess, di pangkalan bajaj ini dikembalikan. Ada beberapa perantau yang tidur di sana. Bayar juga… ini saya terima kasih lho dinaikin, jadi bisa buat setoran. Dari siang udah muter-muter tetap nggak dapat penumpang. Kalah sama aplikasi…”

Saat itu pukul lima sore. Ia bilang baru dapat uang setoran. Lalu, jam berapa nanti ia dapat uang untuk makan? Uang untuk anak istrinya?

Ia juga terpancing buat cerita riwayat pekerjaannya sejak muda, hingga gerutunya pada demo-demo di area Monas yang bikin dia susah cari penumpang.

“Nggak ikutan, Pak?”

“Nyari apa? Sudah susah begini. Kalau mau berjuang itu di Suriah sekalian.”

Dalam hati, aku menguji keyakinanku sendiri, soal apakah gerakan-gerakan Islam transnasional itu hanya berhasil ditularkan pada mereka yang kaya saja. Orang miskin seperti kita dan mereka ini, tentu saja lebih berbahagia datang kenduri dan ngopi bersama.

Baru sepekan lalu saya kembali lagi ke Jakarta. Entah mengapa, kota ini jadi terasa semakin berisik sebab anggapan bahwa jadi Gubernur di sini adalah batu loncatan buat jadi Presiden, semacam Jokowi Effect lah.

Ternyata, apa yang dikeluhkan orang-orang di linimasa soal khotbah-khotbah di Masjid yang hampir setahun ini berisi bahasan politik dan Pilkada itu benar adanya. Spanduk-spanduk yang berisi ajakan membela ulama tersebar tidak hanya di jalanan protokol, tapi sudah merangsek hingga ke jalan-jalan kampung.

Baru-baru ini, beberapa Ustad dengan pose template menengadahkan tangan khas orang berdoa membikin acara untuk memperingati Supersemar, lengkap dengan poto pak Harto dalam balutan baju koko putih pula.

Heran, bagaimana bisa mereka yang selalu mengaku anti-PKI dan anti asing-aseng itu berkumpul justru untuk memperingati momentum dibukanya keran Undang-Undang Penanaman Modal Asing tahun 1967 yang sebelumnya lebih dahulu dibuka dengan tragedi penjagalan jutaaan manusia Indonesia. Momentum yang menandai berkuasanya rezim yang mengerikan. Rezim yang kiprah kroni-kroninya mungkin tak jauh berbeda dengan kasus yang sedang heboh belakangan ini, korupsi anggaran E-KTP yang nilainya mencapai 2,3 triliun dan menyeret sederet nama pejabat dan politisi.

Ya Tuhan… Saya hampir tak bisa membayangkan, uang sebanyak itu bisa buat bikin berapa perpustakaan? bisa ngasih bantuan layanan melahirkan gratis ke berapa orang miskin? bisa subsidi pupuk murah ke berapa hektar tanah petani?

Rasanya ingin sekali saya misuh asu, bajingan, juancuk berulang-ulang, sembari berharap Tuhan memberikan dosa 27 kali lipat kepada mereka sebab ketaatan mereka untuk menjamaahkan korupsinya.

Tapi ya sudahlah. Tak ada pengaruhnya rasanya pisuhan saya. Mau jutaan rakyat misuh sekalipun, kalau memang pejabatnya bajingan yang tetap saja bajingan.

Sepulang dari Jakarta, saya dijemput Pak Supriyadi. Sudah beberapa kali saya dijemput tukang gojek yang sama. Di tengah jalan, Pak Supriyadi menyapa temanya, seorang tukang parkir.

“Loh, ngojek to kowe saiki?” si tukang parkir bertanya.

“iya…sing penting iso urip.”

“lho, memang dulu kerja apa Pak?” penasaran juga saya jadinya.

“sopir angkot Jogja-Kaliurang, Mbak.”

Ah. Kalian semua heroik dan membanggakan. Jauh lebih terhormat dari para koruptor bajingan yang ngembat duit KTP itu!

Exit mobile version