Memang berbahaya kalau telat nyabut, apalagi kalau nggak pakai pengaman. Telat nyabut di kalangan remaja biasanya bisa mengakibatkankan MBA (Muncul Bayi Ajaib).
Seremnya, administrasi Jokowi ini sering banget lho telat nyabut anunya, peraturannya, yang seringkali bentrok dengan undang-undang lain atau dengan pendapat populer. Dari masalah naik-turun harga BBM, kebakaran hutan yang perusahaan pembakarnnya tidak dibuka ke publik, sampai penegakan hukum soal transportasi ilegal (tak berizin) berbasis aplikasi online.
Menteri Jonan belajar dari pengalaman. Dicelupin tuh aturan melarang Go-jek, Uber dan moda transportasi tanpa izin. Terus netizen ribut. Mungkin karena anak Presiden pengguna Go-jek juga, terus curhat ke bokapnya, langsung deh Pak Menteri dipanggil Presiden, diminta nyabut yang udah dicelupin. Jonan sigap, segera cabut pelarangan tadi—padahal sebenarnya dia maunya buat menegakkan hukum.
Plin-plan? Ah, Presiden nggak keberatan kok dibilang plin-plan atau koppig atau gila, yang penting jangan namanya dicatut!
Presiden ngetwit, “Jangan karena aturan, rakyat jadi susah.” Aturan yang mana? Aturan bahwa orang yang mau punya usaha transportasi harus punya izin usaha transportasi? Apa itu aturan ngaco? Tidak juga. Sejak awal, jangankan Go-jek dan Uber, Ojek dan Taksi Gelap juga dilarang beroperasi. Kenapa Go-jek dan Uber diistimewakan? Toh izin usaha mereka adalah perusahaan IT, bukan perusahaan transportasi.
Kalau nanti ada aplikasi untuk bikin orang jadi presiden, apa mau diizinkan juga presidennya jadi banyak? Gila kali, yak! (Saya nggak nyatut nama lho, Pak).
Lalu kita disuruh melihat kenyataan bahwa masyarakat membutuhkan Go-jek dan Uber. Padahal Go-jek dan Uber bisa jadi barang mewah untuk kebanyakan orang. Sementara yang benar-benar kita butuhkan adalah transportasi publik yang baik, yang dibenahi dan ditata dari mulai bus, kereta api, sampai MRT.
Orang banyak marah-marah soal Metromini dan Kopaja yang menakutkan karena busnya tua dan emisinya sudah seperti Beijing, dan supirnya suka bau amer. Busway yang selalu penuh di jam sibuk dan suka terlambat. Kereta yang membuat orang seperti ikan tuna kalengan, dan kadang harus pasrah jika ada pemadaman bergilir. Ojek pangkalan yang suka mainin harga dan sok kuasa dengan aturannya sendiri. Ini kan bikin stress. Sementara Go-jek dan Uber kan seperti angin segar?
Tunggu dulu, saya kok melihatnya orang-orang jadi lebih sering terlena dan tidak ada yang mau nuntut-nuntut perbaikan transportasi publik yang sudah separah itu ya?
Kalau masalahnya di UU, kenapa nggak ada yang protes soal UU transportasi? Kenapa kita nggak bisa menuntut UU transportasi publik yang baik dan penegakan hukumnya? Kenapa kita tidak bisa mempetisi dibuatnya UU untuk mengatur Go-jek, Uber, Ojek Pangkalan, Taksi Gelap, dan transportasi publik? Kenapa ini bukan hal penting sepenting UMR atau gerakan Anti-JIL atau anti-Syiah? Kenapa isu ini tidak setrendi kestresan orang tentang jumlah homo di Bogor dan di Depok? Apa bangsa ini sudah separah itu kegoblokannya dalam menentukan skala prioritas?
Mungkin karena sudah ada Go-jek dan Uber, jadi nggak perlulah protes-protes lagi. Toh kita mampu ini bayarnya. Yang nggak mampu sih salah sendiri, siapa suruh jadi miskin.
Lagian kita kan sibuk kerja. Nanti dibilang kayak buruh lagi, sukanya nuntut-nuntut. Nanti dibicap kiri. Enakan ngetwit atau ngeluh di Facebook—banyak yang retweet, like, eksis deh. Kalo ada Abang Gojek suka melanggar privasi ngegodain mbak-mbak cakep, atau mengancam kita kalo review yang kita kasih jelek, tulis deh di socmed. Ntar juga di-share orang.
Lagian Go-jek kumpeni mah lebih cepet tanggap daripada pemerintah kalo melayani pengaduan. Buktinya, pengendara-pengendara mereka yang membuat order fiktif langsung diputusin tuh kontraknya. 10 rebu orang! Pemerintah mah, apaan. Bikin aturan hari ini, besoknya dicabut. DPR-nya juga sama. Aturan yang kudu dibikin, kagak dibikin-bikin, eh, malah sibuk membela kehormatan yang sudah lama nggak ada di situ.
Ah, sudahlah. Saya sudah pernah bilang ini krisis berkepanjangan kok. Kita tunggu aja para pengendara Go-jek, Grab Bike, Grab Odong-odong, Love-Jek dan Uber pada pawai keliling Jakarta minta UU kepastian kerja mereka dibikinin—kayak kemarin buruh-buruh outsourcing minta kejelasan. Konsumennya, nggak usahlah ya demo-demo. Bukan buruh ini.
Najis deh nuntut-nuntut uang pajak dipake bener-bener buat transportasi publik. Lebih baik mengeluh macet dan marah-marah aja tiap hari, latihan jadi Ahok. Kata Ahok sih, marah-marah itu bikin sehat.