MOJOK.CO – Fadli Zon menyebut Reuni 212 merupakan aksi dengan jumlah massa terbesar di planet bumi. Alamak, puja kerang ajaib.
Suatu malam yang hampir ngantuk, seorang kawan menjapri ngajak ngopi-ngopi. Sebenarnya punggung sudah nempel kasur, tapi atas nama persahabatan saya pun meluncur. Kami sepakat bertemu di bilangan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Kawasan dimana kedai kopi saset (Warmindo) dan kedai “kopi indie” bertaburan.
Belum ada semenit bokong saya duduk, kawan saya itu langsung memamerkan buku yang baru saja ia beli dari akun bakulan di Instagram. Buku berjudul Enaknya Berdebat dengan Orang Goblok karya Puthut EA.
Sampulnya didominasi warna putih-kuning mentereng, dengan ilustrasi mie seduh rasa otak udang. Dari jauh, buku itu mirip buklet menu sebuah restoran. Saya kebet-kebet beberapa halaman sambil nunggu pesanan.
Judul bukunya diambil dari salah satu curhatan Puthut EA di Mojok.co yang dimuat dalam buku itu. Mengungkapkan keresahan Kepala Suku Mojok ketika menghadapi plagiator konten yang mengabaikan etika hak cipta. Agaknya, Puthut Ea menjalani debat habis-habisan, tidak hanya dengan yang diperkarakan, tetapi juga dengan netizen lain yang tak sepemikiran.
Tidak hanya soal hak cipta, Puthut EA juga melansir 1001 permasalahan yang sering jadi nafas perdebatan. Berikut argumen perlawanan yang nampaknya mencerdaskan.
Seperti rokok dan kesehatan, agama dan kesalehan, PKI, HTI, Ahmad Dhani, Pilpres, perempuan dan percintaan, hingga klub sepak bola kesayangannya; AS Roma. Dalam tulisannya, Puthut EA terasa begitu menikmati setiap konflik akal-akalan dengan lawannya.
Sayangnya, tidak semua manusia memiliki kemampuan seperti itu, yang bisa menggagahi sekaligus menikmati debat lalu menjadikannya konten tulisan. Bahkan sampai jadi buku pula.
Tidak mudah tentu mencapai maqam seperti itu, yang tetap bisa menikmati persengketaan sambil lesehan, mungkin juga sambil main catur atau sambil mancing di empang dekat rumah.
Memang di tengah badai klaim-klaim kebenaran kita tetap perlu menjaga kewarasan. Memperbanyak guyonan. Alih-alih berbagi kecerdasan, banyak netizen yang terjerembab dalam pusaran kegoblokan. Gawatnya, tak sedikit yang ketagihan. Menikmatinya sebagai kegemaran dan kegembiraan.
Era banjir informasi dan lenturnya akses komunikasi telah menggairahkan libido intelektual banyak orang. Membuat semuanya ingin berbicara, didengar, dan diperhatikan. Bagi orang yang kelewat kreatif, segala hal remeh temeh di dunia bisa dijadikan bahan perang pemikiran.
Menciptakan ajang perdebatan yang jauh lebih kreatif tapi tidak lebih penting daripada perdebatan abadi halal-haram tahlil, maulid dan bermusik. Sekadar memuaskan akal pikiran. Cangkeman tok, kalau orang jawa bilang. Sekadar mengalihkan kekesalan karena perbincangan dengan gebetan tak semulus yang diharapkan.
Beberapa persoalan unfaedah yang sempat menguras pikiran beberapa waktu lalu misalnya soal warna sebuah gaun, “Biru Hitam” atau “Putih Emas”. Kemudian soal matematika 4×6 atau 6×4 yang mestinya selesai di tingkat sekolah dasar. Lalu yang paling fenomenal apakah bumi yang kita diami ini bulat atau datar. Perdebatan itu bahkan menjadi pergumulan sakral setelah beberapa pihak menyitir kata-kata Tuhan.
Aksi Reuni 212 menjadi perdebatan yang paling lucu belakangan ini. Peserta debat yang didominasi cebong-kampret itu saling unjuk nalar soal berapa jumlah massa yang hadir di Monas. Apakah 10 juta, 8 juta, 400 ribu atau 40 ribu? Which is hanya mengulang akal-akalan dua tahun lalu.
Perdebatan tidak hanya di kalangan akar rumput, masyarakat menengah ke bawah, dan kalangan emak-emak baru melek teknologi. Ngotot-ngototan juga terjadi di tingkat elite politik. Fadli Zon bahkan menyebut Reuni 212 merupakan aksi dengan jumlah massa terbesar di planet bumi. Alamak.
Mau bilang gobl… kok ya Wakil Ketua DPR RI. Susah. Kena pasal karet UU ITE kan bisa berabe.
Masalahnya, menghadapi orang yang dimabuk politik jauh lebih sulit daripada menasihati sepasang kekasih yang tengah bermesraan di balik rimbunnya pohon tetean.
Padahal, klaim 10 juta massa juga tidak bisa dibuktikan, kecuali asumsi-asumsi pesan broadcast-an whatsapp grup. Wong kita membuktikan persamaan 4×6 dengan 6×4 saja kebingungan. Apalagi jumlah peserta Reuni 212 yang katanya jutaan.
Di media sosial perdebatan terjadi dengan penuh hawa nafsu. Terlihat kontras dengan kesantunan yang selama ini dikampanyekan. Anonimitas dunia maya seringkali membuat penggunanya kerasukan. Kemrungsung. Hantam kiri kanan. No Rocky Bully No Party!
Kubu cebong meragukan jumlah massa yang mencapai jutaan. Mengutip keterangan polisi yang menyatakan reuni hanya dihadiri ratusan ribu doang, si cebong mengatakan bahwa 9 juta sekian sisanya cuma titip absen seperti anak kuliahan.
“Udah jgn ribut, besok pake daftar hadir+foto copy KTP biar datanya valid bos,” kata seorang netizen. Ah, urusan celetak-celetuk, malaikat juga tahu siapa yang jadi juaranya.
Gara-gara itu pula, Prabowo sempat dibuat galau. Kenapa aksi massa sebesar itu tidak banyak diberitakan koran-koran nasional? Prabowo bahkan mengajak pendukungnya tak perlu menghormati jurnalis yang tidak memberitakan aksi Reuni 212.
“Saya sarankan kalian tidak usah hormat sama mereka lagi. Mereka hanya anteknya orang yang ingin hancurkan Republik Indonesia,” katanya.
Lah bukannya satu tahun silam Reporter MetroTV atau Kompas yang meliput aksi 212 malah disoraki dan dipersekusi? Lagian sebelumnya juga Prabowo bilang bakal boikot MetroTV? Ini bijimana ceritanya kok waktu nggak diliput beneran malah cemberut?
Waktu liputan dipersekusi, dihina-hina, sampai dicaci-maki, giliran nggak diliput dimarah-marahin. Terus maunya itu sebenarnya gimana? Maju kena mundur kena dong.
Tapi sudah deh. Kurang-kurangilah perdebatan yang konyol kayak begitu. Setiap manusia punya cara pandang, sudut pandang, jarak pandang, dan resolusi pandang berbeda. Jumlah 11 juta atau 40 ribu tak ada beda. Semua sama di mata Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebaik-baik umat bukan yang paling banyak, tetapi yang paling taat.
Toh Tuhan menyuruh manusia untuk berlomba-lomba dalam kebaikan, bukan berlomba-lomba dalam kebenaran. Sepakat hadirin? (bertanya ala Aa Gym).
Di hadapan politik tidak ada benar dan salah. Tidak ada cebong dan kampret. Keduanya diciptakan oleh politisi kutu kupret. Menggaungkan angka 11 juta dianggap sangat penting mengingat kontestasi politik memerlukan tekanan massa.
Di sinilah ada pihak-pihak pandai mempolitisir suasana, memanfaatkan situasi buat mendulang suara. Itu aja sih masalahnya. Sayangnya, kali ini justru rakyat yang jadi orang gobloknya, karena terkotak-kotakkan cuma perkara debat jumlah peserta reuni dua satu dua.