MOJOK.CO – “Daftar adalah asal-mula kebudayaan. Ia merupakan bagian dari sejarah seni dan sastra. Apa yang diinginkan kebudayaan? Membuat ketakterbatasan bisa dipahami.“
Pada momen menjelang pergantian tahun kemarin, saya heran orang-orang yang biasanya menyusun resolusi dan harapan-harapan baik bak disedot pasir isap. Saya tidak tahu apakah mereka memang tidak memiliki resolusi tertentu seperti tahun-tahun sebelumnya ataukah mereka sadar tahun baru kali ini kelewat terjal untuk diisi harapan-harapan baik. Meski demikian, ada yang tidak berubah, dan ini menyenangkan: orang-orang tetap membikin daftar. Si A menyusun daftar film terbaik versi dirinya sendiri, Si B menyusun daftar buku yang dibacanya sepanjang tahun, artis C menyusun daftar postingan Instagram-nya yang paling banyak disukai, media D menyusun daftar kejadian heboh, dan seterusnya. Tiba-tiba semua orang meringkas apa yang luas dan ingatan menjadi begitu berharga.
Saya harus berterima kasih kepada para penyusun daftar. Mereka membuat saya tahu buku dan film mana yang sebaiknya saya baca dan tonton; mereka juga menyegarkan ingatan saya, membuat saya tersentak karena sadar betapa pendeknya ingatan dan betapa banyaknya hal penting yang kurang mendapat perhatian. Seandainya tidak ada penyusun daftar, mungkin saya tidak akan tahu ada novel distopia keren berjudul We karangan Yevgeny Zamyatin. Saya juga tidak akan sadar bahwa Singapura yang sering kita elu-elukan itu rupanya tak lebih dari sarang tikus, sebab ada paling tidak 23 koruptor dalam negeri yang pernah melarikan diri ke sana.
Daftar adalah hal ajaib. Saya perlu menyeret kata-kata Umberto Eco dalam wawancaranya dengan Der Spiegel untuk menegaskan itu. Memperkenalkan Eco adalah penghinaan buatnya dan pembaca, jadi mari langsung saja pada apa yang ia katakan, “Daftar adalah asal-mula kebudayaan. Ia merupakan bagian dari sejarah seni dan sastra. Apa yang diinginkan kebudayaan? Membuat ketakterbatasan bisa dipahami. Kebudayaan juga ingin menciptakan keteraturan—tidak selalu, tapi sering. Dan bagaimana, sebagai manusia, seseorang menghadapi ketakterbatasan? Melalui daftar, melalui katalog, melalui koleksi-koleksi di museum, ensiklopedia, dan kamus. Ada daya pikat tertentu untuk menyebutkan berapa banyak wanita yang Don Giovanni tiduri: Jumlahnya 2.063, setidaknya menurut pustakawan Mozart, Lorenzo da Ponte. Kita juga memiliki daftar yang sepenuhnya praktis—daftar belanja, keinginan, menu—itu juga merupakan suatu pencapaian kebudayaan.”
Di hadapan saya, keajaiban daftar begitu nyata. Malam demi malam ibu saya mencatat pemasukan toko kelontongnya. Ada hari-hari ketika pembeli begitu banyak dan kotak uang menjadi penuh. Ibu saya selalu tampak lebih cerah saat itu terjadi. Saya tidak yakin wajahnya akan secerah itu seandainya ia tidak menyusun daftar pendapatan. Bukan banyaknya pendapatan itu sendiri yang membuat Ibu gembira, tetapi kenyataan ia bisa menggunakan pendapatan yang didaftarnya untuk membuat daftar baru lagi: daftar belanja.
Bapak saya juga suka mendaftar. Ia biasa mendaftar nomor-nomor telepon kenalannya di tembok dan lembaran-lembaran kertas. Saya tahu sebagian besar nomor-nomor itu tak akan ia hubungi sampai hari kiamat. Tetapi saya juga tahu bukan itu yang ia inginkan. Ia menyusun daftar nomor telepon untuk meyakinkan diri bahwa ia memiliki banyak kenalan dan bisa menghubungi kenalannya kapan saja. Kenapa Bapak tidak menulis nomor-nomor itu di kontak telepon? Singkat saja, bapak saya menggunakan ponsel hanya untuk menelepon dan menerima telepon. Tak lebih.
Pada masa ketika saya bingung harus melakukan apa, daftar membantu saya membuat hidup jadi lebih menyenangkan. Saya menghabiskan waktu untuk membikin daftar. Saya menyusun daftar nama-nama pesepak bola dan klub yang saya dapati di koran dan laman internet, nama-nama ahli hadis abad ke-9, nama-nama penulis Indonesia berawalan “P”, dan sebagainya. Dulu saya mengira itu perbuatan sia-sia. Belakangan saya sadar, membikin daftar sama sekali bukan kesia-siaan. Paling tidak kebiasaan menyusun daftar membuat saya tidak kelihatan bodoh-bodoh amat di hadapan para penggemar sepak bola, pencinta hadis, dan penulis. Di samping itu kebiasaan menyusun daftar mencegah saya jadi pongah dan berpuas diri. Di hadapan ketakterbatasan, apa gunanya bersikap pongah dan berpuas diri?
Akhir-akhir ini saya jarang membikin daftar. Namun, tanpa perlu saya tulis di atas kertas atau ketik di laptop, kepala saya membikin daftar beberapa hal secara faali. Ketika tempo hari berturut-turut ada banyak kabar duka di grup WhatsApp, di kepala saya muncul selembar kertas berisi identitas orang-orang mati: Ibu teman kuliah saya, ayah dari kepala sekolah tempat saya bekerja, pemilik warung tempat saya biasa membeli tabung gas, pesepak bola idola saya, dan seterusnya. Kadang saya juga menyusun daftar di dalam kepala berapa banyak orang yang menulis sendiri kalimat istirja dan berapa banyak yang hanya salin-tempel. Sayangnya, dengan cara apa pun kalimat istirja ditulis, yang mati tak akan kembali dan kesedihan tetap menyesakkan dada.
Di situlah daftar kehilangan daya magisnya. Daftar hanya menjadi lahan informasi dan kenangan. Ia tak bisa melenyapkan kesedihan. Ia tak bisa membuat para koruptor otomatis tertangkap. Sebagaimana banyak produk budaya lainnya, daftar memiliki keterbatasan dan ia tak bisa mengatasi segalanya.
Akan tetapi seperti novel, film, lukisan, patung, dan coretan di dinding jalan layang, daftar tetap bisa menghibur—mengurangi kesedihan. Saya tahu esok pagi mungkin akan ada lagi kabar kematian di grup WhatsApp, konflik antar-elite, koruptor tertangkap basah, banjir di sejumlah daerah, dan… tak terbatas. Saya tidak akan mendaftar hal-hal semacam itu. Saya tidak mau daftar membuat saya murung. Lebih baik saya menyusun daftar hal-hal yang saya minati dan sukai—hal-hal yang menyenangkan hati.
Hmmm, apa yang harus saya daftar? Buku-buku rekomendasi teman yang belum saya baca? Orang-orang yang saya cintai? Barang-barang yang ingin saya beli? Tempat-tempat yang ingin saya kunjungi? Keinginan-keinginan yang belum terwujud? Baiklah, saya akan mendaftar itu. Ya, ya, saya harus mendaftar itu. Baiklah, saya akan menyalin urutan pertama untuk setiap daftar itu: The Name of the Rose, Ibu, laptop baru, Allianz Stadium, dan semua makhluk berbahagia. Semua makhluk berbahagia? Ah, namanya juga daftar.
BACA JUGA Ciuman dalam Sebuah Kontemplasi Filosofis dan esai Erwin Setia lainnya.