Jogja seharusnya bersyukur karena masih punya alay. Tanpanya, saya tidak yakin orang Jogja akan menyadari kalau di daerah mereka, di Gunung Selatan, sedang dikembangkan tanaman yang untuk menyebut namanya pun harus gugling dulu (sudah gugling, ngabisin kuota, masih salah pula).
Jika anak alay tak muncul, Jogja akan dipenuhi oleh orang-orang seperti Elanto Wijoyono, laki-laki serius yang bulan Agustus lalu menghadang konvoi moge dan merekam praktik pungli di salah satu pos punglisi. Yang belum dilakukan oleh Kota Jogja terhadap anak alay adalah mengoordinir mereka dengan baik dan benar.
Untuk soal yang satu ini, Jogja masih harus belajar banyak dari Jakarta, ibukotanya para alay.
Di Jakarta, kota yang dipimpin oleh gubernur paling galak sedunia, anak-anak alay diberdayakan sedemikian rupa dan sebagai penggerak roda perekonomian. Tapi tidak perlu juga studi banding sampai ke Jakarta. Ini zaman teknologi, televisi sudah memberi informasi yang cukup memadai. Lihat saja bagaimana mereka ada di acara musik pagi di televisi sampai acara talk show tengah malam. Dua puluh empat jam sehari. Anak alay tidak pernah tidur. Mereka ada dan berlipat ganda!
Anak alay juga sebenarnya mampu mengubah wajah industri pertelevisian, seandainya para pekerja televisi kita tahu kalau potensi mereka itu lebih dari sekadar menjadi penonton bayaran dan bersorak eaa-eaa. Televisi bisa mengubah kebiasaan mereka menertawakan ulah menggelikan orang desa yang kagok ketika berada di kota.
Mereka bisa berhenti memutar film Mas Slamet–anak juragan tembakau yang dimainkan Wahyu Sardono–di film Gengsi Dong, atau mencegah Kabayan versi Didi Petet saba ke Kota Jakarta. Atau berhenti menertawakan Mandra yang kagum pada pintu garasi otomatisnya Sarah. Atau berhenti menggambarkan pemuda-pemuda Jogja dan Bali yang berlogat medhok di FTV, yang selalu inferior di hadapan cewek-cewek ibukota.
Anak alay sudah membuktikan: kalau orang kota main ke desa, mereka tidak kalah noraknya.
Pokoknya, tanpa anak alay, Elly Sugigi tidak akan bisa kawin sampai empat kali, eh, maksud saya, tanpa anak alay, industri pertelevisian akan sepi.
Negeri ini bukannya tidak pernah mengalami krisis anak alay nasional. Tahun-tahun ketika Bapak yang “itu” berkuasa di masa yang disebut Orde Baru, semua orang alay dimusuhi secara massif dan terstruktur. Tidak ada buruh yang berdemo minta kenaikan gaji. Mereka adalah alay. Nuntut gaji kok lebih tinggi dari karyawan kantoran kelas menengah. Lebay! Anak-anak muda yang baru membaca manifesto komunis juga alay, berani-beraninya bermimpi untuk demokrasi.
Sekarang saja mereka diberi label yang mentereng: Kuminis Gaya Baru. Hasilnya? Yeah, mereka ada dan berlipat ganda!
Tanpa anak alay, acara televisi waktu itu ya gitu-gitu aja. Nggak pernah ada hiburan absurd joget kocok-jemur. Pagi ada siaran Bapak itu lagi jogging; siang, Bapak itu lagi menerima kunjungan duta besar negara tetangga; sore, Bapak itu lagi panen padi; dan malamnya, Harmoko melaporkan semua hal yang sudah kita tonton dari pagi sampai sore tadi (anak alay ada yang kenal Harmoko?).
Masih berpikir kalau zaman Bapak itu lebih enak dari zaman sekarang? Pikirkan lagi.
Nah, tapi kalau Jogja terlanjur membenci anak alay yang merusak taman bunga di Gunung Selatan tadi, tapi enggan meniru cara Bapak yang itu, mungkin mereka bisa belajar dari kota saya, Malang.
Di Malang, populasi anak alay masih sedikit–kalau bukan tidak ada. Bertahun-tahun tinggal di tempat yang berjuluk Kota Bunga, saya masih belum tahu harus ke mana kalau mau berfoto selfie sambil rebahan di atas bunga seperti Princess Syahrini atau anak alay Jogja.
Hal ini tidak bisa dilepaskan dari jasa orang-orang serius yang membangun Kota Malang. Orang-orang serius ini mengalih-fungsikan taman-taman di Kota Malang. Taman Indrakila sudah jadi perumahan mewah, Taman Kunir sudah jadi Kantor Kelurahan, ruang terbuka hijau di sebelah Stadion Gajayana sudah jadi mal dan hotel, dan sekarang mereka sedang merevitalisasi–apa pun artinya itu–hutan kota Malabar.
Anak alay di Malang, kalau ada, mau selfie di mana? Mau selfie di mal sudah terlalu mainstream, mau selfie di rumah mewah takut dimarahi satpamnya. Masak selfie di kantor Kelurahan?
Kalau pun ada alay di Malang, mereka sekarang terlalu sibuk bekerja di Dinas Kebersihan dan Pertamanan. Merekalah yang punya ide untuk mengecat pohon beringin berumur ratusan tahun di Alun-alun Kota Malang dengan cat warna-warni. Mengetahui hal tersebut, Abah Anton, walikota Malang, jelas geram dengan ulah para anak alay anak buahnya itu.
“Saya sedang berada di Jakarta. Lihat di facebook, sudah ramai soal beringin dicat itu. Masyarakat mengira saya yang menginstruksikan. Saya langsung perintahkan untuk kembalikan beringin seperti semula,” katanya.
Pantas saja Pak Wali gak tahu, lha sibuk fesbukan. Sampeyan walikota apa alay?
Jadi, buat para alay, saya ingin berkata: “Tetap alay, tetap lebay. Saya bersamamu.” Dan buat orang-orang yang sudah terlanjur marah-marah–dan karenanya terlihat semakin tua–perkara kelakuan anak alay di taman bunga di Jogja, saya cuma bisa bilang: “Salah siapa? Salah gue? Salah keluarga gue? Salah temen-temen gue?”
“Suka-suka gue dong!”