Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Membuat Orang Tua Bersedih Tidaklah Seburuk Itu

Ikhwan Hastanto oleh Ikhwan Hastanto
12 November 2017
A A
orang-tua-mojok

orang-tua-mojok

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

[MOJOK.CO] “Perbedaan pendapat antara pilihan anak menjalani hidup dan keinginan orang tua adalah topik abadi.”

Membaca tulisan Mbak Dian Dwi Anisa yang agak sebal dengan tulisan Mbak Maria Fauzi membuat saya juga agak sebal. Sebal-ception ini terjadi akibat tulisan tersebut sedikit banyak menyentil saya secara personal.

Pertama, kesimpulan tulisan Mbak Dian membuat saya sangat terpelatuk: bahwa segala rencana hidup dan cara pikir yang kita yakini untuk diri kita sendiri bisa menjadi ladang dosa karena bertentangan dengan apa yang orang tua kita inginkan.

Kedua, sebagai lulusan ilmu politik, ketika kepentingan personal (dalam hal ini, cara pikir) saya terganggu, saya mempunyai kewajiban moral untuk melindungi pemikiran saya (cie defensif) dan kerumunan yang sependapat dengan saya melalui tulisan ini.

Ketiga, saya sedang terjerembab pada quarter-life crisis sehingga jadi lebih sensitif (baca: nyinyir) dari biasanya. Jadi, mohon dimaklumi.

Karena Mbak Dian sudah mengajak kita semua berpikir bahwa kekecewaan dan kesedihan orang tua sebagai beban yang ditanggung siapa pun, saya akan mengajak kita semua untuk melakukan hal sebaliknya: bahwa ternyata, membuat orang tua bersedih tidaklah seburuk itu. Bukan buat tanding-tandingan, biar seimbang aja perspektifnya.

Saya paham benar bagaimana rasanya membuat orang tua saya bersedih. Karena itulah yang selalu saya lakukan sejak saya kecil (kok bangga?!). Pada masa SD, saya yang sering juara kelas lebih memilih mengikuti turnamen sepak bola dibandingkan olimpiade dan lomba azan (percayalah, memenangi lomba azan sangat prestisius bagi lingkungan saya dibesarkan). Pada masa SMP, saya menolak mengikuti tes kelas akselerasi dan nilai saya kemudian hancur lebur karena game online. Di kehidupan SMA, saya lupa akan pelajaran di kelas dan sering pulang larut malam akibat kegiatan musik yang saya jalani.

Sebagai seorang guru, bisa dibayangkan betapa sedihnya ibu saya melihat kemampuan akademis anak laki-laki satu-satunya yang terjun bebas. Meskipun pada rentang masa SD-SMA itu saya mewakili kabupaten saya bertanding sepak bola di tingkat provinsi, saya menjadi kampiun lomba Counter Strike (game online terbaik menurut saya) se-provinsi, dan saya membawa pulang piala setinggi ayah saya akibat juara lomba band provinsi.

Saya sama sekali tidak menyalahkan orang tua saya yang bersedih karena pencapaian yang saya dapat memang tidak memenuhi kriteria “sukses” atau “utuh”—meminjam kosakata Mbak Dian—yang mereka usung. Saya paham benar saya tidak bisa memaksakan kebahagiaan orang tua saya pada semua aspek kehidupan ini karena hidup memang seperti itu.

Tapi, saya juga tidak menyalahkan diri saya sendiri. Karena apa? Karena saya bahagia sekali dengan momen-momen tersebut. Momen yang sebagian besar saya dapat dari hal-hal yang tidak disarankan orang tua saya.

Apa yang membuat orang tua saya bahagia tidak membuat saya hidup sepenuhnya, tapi apa yang membuat saya hidup sepenuhnya malah membuat orang tua saya bersedih.

Lalu yang salah siapa? Ya tidak ada. Kenapa sih harus selalu cari siapa yang salah?

Ya, lalu kita harus bagaimana? Saya tidak bisa memberikan saran untuk semua orang karena setiap orang punya solusi bagi dirinya sendiri yang sangat spesifik (lagian siapa yang mau dengerin saran dari orang yang sedang krisis? Baca Paulo Coelho saja sana). Tapi, untuk para kerumunan yang sedang menjalani rencana hidupnya dan kebetulan membuat orang tuanya bersedih, apabila yang Anda lakukan memang benar adalah rencana Anda dan membuat Anda bahagia: LAKUKAN SAJA.

Saya lulus dari Fisipol UGM dan kemudian memutuskan untuk mengejar rencana hidup saya sebagai pemusik, sedangkan orang tua saya menginginkan saya untuk menjadi PNS atau bekerja dengan penghasilan yang lebih “stabil”.

Mereka sedih? Ya jelas. Tapi, setiap kami berbincang via telepon, kami masih saling sayang, masih saling tertawa bersama, dan saya pun masih manja-manja. Setiap pembahasan mengenai pekerjaan, orang tua saya selalu menyelipkan permintaan untuk mencoba pekerjaan tersebut, dan selama itu pula saya selalu menolak dengan tegas disertai dengan alasan-alasan yang saya percayai, yang membuat mereka bersedih lagi. Lima menit kemudian, kami kembali tertawa ketika membicarakan motor yang ibu beli secara mubazir dan saat ini terparkir rapi di gudang rumah kami selama tiga tahun terakhir.

Iklan

Jadi apakah saya tidak takut dosa kepada orang tua?

Ya takut lah, tapi saya lebih takut orang tua saya tidak memahami kehidupan yang saya jalani dan perkembangan pikiran yang saya alami. Lagian “dosa” itu kan bukan kuasa kita, sudah ada yang mikirin.

Dalam budaya tertentu, memang ada kriteria tertentu yang dipercayai orang tua untuk menilai utuh tidaknya seorang anak. Tapi kan ini budaya, bukan perintah agama, hehehe.

Ya tapi kan tidak mengikuti budaya orang tua akan membuat orang tua bersedih, dan itu dilarang agama?

Bisa kan, menuruti perintah agama tapi tidak menuruti budaya? Misalkan tidak mau berangkat tujuh harian tetangga yang meninggal (budaya) untuk belajar karena besok mau tes CPNS. Mengerjakan pekerjaan dengan sungguh-sungguh kan juga perintah agama. Hehehe..

Saya setuju kok, Mbak Dian, bahwa orang tua yang sedih akan menjadi beban bagi siapa pun. Tapi saya lebih setuju bahwa anak yang bahagia karena keputusan hidupnya didukung akan membuat orang tua manapun ikut bahagia. Jadi kan adil, bukan hanya anaknya saja yang punya kewajiban membuat orang tua tidak bersedih.

Oh ya, saya minta maaf karena tidak menerapkan pemikiran saya ini ke dalam konteks “kapan nikah?” Saya kira isu tersebut sudah punah dua puluh tahun yang lalu. Hehe.

Ngomong-ngomong, selamat Hari Ayah Nasional. Sudah telepon bapakmu belum?

Terakhir diperbarui pada 12 November 2017 oleh

Tags: dosadurhakakuliahNikahorang tuapekerjaanpilihan hidupsedih
Ikhwan Hastanto

Ikhwan Hastanto

Artikel Terkait

Kuliah, Mahasiswa PTN, bidikmisi, hp kentang.mojok.co
Ragam

Mahasiswa PTN Bohongi Orang Tua, Mengaku Baik-Baik Saja padahal 4 Tahun Kuliah Menderita karena HP Kentang dan Laptop Bobrok

12 Agustus 2025
Sesal mahasiswa perantau: jarang pulang demi gelar sarjana PTN dan sok sibuk sampai abaikan telepon ibu, sekali pulang malah terima kabar duka MOJOK.CO
Ragam

Sesal Mahasiswa Perantau: Jarang Pulang dan Sok Sibuk sampai Abaikan Telepon Orangtua, Sekali Pulang hanya Tersisa Duka

10 Agustus 2025
Pesan ibu untuk anak yang hendak merantau untuk kuliah (menjadi mahasiswa baru) atau bekerja yang kerap diabaikan MOJOK.CO
Ragam

Pesan Sederhana Ibu untuk Anak yang Merantau (Jadi Mahasiswa), Kerap Diabaikan Berujung Penyesalan Abadi di Kemudian Hari

22 Juli 2025
Gagal UTBK, kuliah.MOJOK.CO
Kampus

Saat Anak Gagal dalam Kuliahnya Meski Sudah Keluar Biaya Ratusan Juta, Orang Tua Cuma Bisa Pura-Pura Bangga agar Anak Tak Kecewa

30 Juni 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Pelaku UMKM di sekitar Prambanan mengikuti pelatihan. MOJOK.CO

Senyum Pelaku UMKM di Sekitar Candi Prambanan Saat Belajar Bareng di Pelatihan IDM, Berharap Bisa Naik Kelas dan Berkontribusi Lebih

3 Desember 2025
Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

2 Desember 2025
waspada cuaca ekstrem cara menghadapi cuaca ekstrem bencana iklim indonesia banjir longsor BMKG mojok.co

Alam Rusak Ulah Pemerintah, Masyarakat yang Diberi Beban Melindunginya

1 Desember 2025
Guru sulit mengajar Matematika. MOJOK.CO

Susahnya Guru Gen Z Mengajar Matematika ke “Anak Zaman Now”, Sudah SMP tapi Belum Bisa Calistung

2 Desember 2025
Kuliah Jurusan Pendidikan Bahasa Mandarin di Unesa. MOJOK.CO

Sulitnya Masuk Jurusan Bahasa Mandarin Unesa, Terbayar usai Lulus dan Kerja di Perusahaan Tiongkok

3 Desember 2025
Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

30 November 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.