MOJOK.CO – Saya nggak menyesal ikut aksi bela Palestina meski bikin guru saya kecewa. Gara-gara perbedaan NU dan Muhammadiyah.
Saya lupa tepatnya, kalau nggak salah sekitar 2010. Saat saya masih menjadi mahasiswa di salah satu perguruan tinggi swasta di Kudus. Bersama teman-teman, saya menyuarakan keprihatinan tentang krisis kemanusiaan di Palestina di Alun-Alun kota Kudus.
Sebelumnya saya ceritakan dulu latar belakang ceritanya. Saya adalah lulusan SMA NU Hasyim Asy’ari Kudus, yang dari namanya saja saya pernah mendapat komentar dari seorang kenalan:
“Wes NU, Hasyim Asy’ari sisan!” (Sudah NU, Hasyim Asy’ari lagi!).
Kurang lebih maksudnya sangat NU sekali! Atau NU-nya NU. Begitu!
Suatu hari, saya mendapat ajakan ikut aksi mahasiswa menyuarakan krisis kemanusiaan warga Palestina di Alun-Alun Kudus. Sebelum berangkat, saya diberi pengarahan supaya aman saat beraksi, bagaimana agar tidak terciduk polisi, kalau keciduk harus bagaimana, dan sebagainya. Suasana pengarahan aja udah terasa mencekam. Saya malah sempat kepikiran untuk mundur, balik ke kos, main PS. Tenang, aman, damai sentosa! Tapi demi kemanusiaan warga Palestina, entah mengapa, jiwa sok pahlawan saya meronta-ronta!
Singkat cerita, aksi kemanusiaan untuk warga Palestina berjalan lancar dan alhamdulillah nggak sampai bentrok sama polisi. Gimana bentrok sama polisi, yang ikut aksi aja bisa dihitung jari. Malah dari kejauhan ketika saya lirik pak polisi yang jaga, mereka cuma cengar-cengir melihat jumlah kita. Jangankan sampai bikin kemacetan, yang ada malah kita yang minggir kalau ada motor lewat.
Saat itu saya agak kecewa dan malu. Ternyata banyak teman-teman mahasiswa yang tidak peduli terhadap krisis di Palestina waktu itu. Namun, di sisi lain, saya tetap merasa bangga telah menjadi bagian dari aksi itu. Saya bangga berdiri di barisan para mahasiswa yang membela kemanusiaan.
Lebih jauh lagi, saya bangga menjadi warga Indonesia karena berani menentukan sikap yang keren atas Palestina. Ngefans negara adidaya itu biasa, tapi berani membela negara yang sedang porak-poranda itu keren menurut saya.
Sampai akhirnya beberapa hari setelah aksi itu, saya bertemu dengan teman SMA. Dia bilang:
“Kae lho kuwe diluru Pak Fulan.” (Itu lho kamu dicari Pak Fulan).
Mendengar nama Pak Fulan disebut bikin saya gembira. Pak Fulan adalah guru kesayangan saya. Sementara saya, menurut klaim teman-teman, adalah murid kesayangan beliau. Tapi saya tidak mau bilang begitu, takut overclaim.
“Jare kuwe melu aksi mahasiwa wingi, wonge kecewa karo kuwe, wong wes diajari ke-NU-an yah mono yah mene kok malah dadi ngono.”
(Katanya kamu ikut aksi mahasiswa kemarin, dia kecewa sama kamu, orang udah diajari ke-NU-an lama sekali kok malah jadi gitu).
Saya kaget! Ada dua hal yang mengagetkan saya. Pertama, saya telah mengecewakan guru kesayangan saya. Kedua, saya baru tahu ternyata aksi itu dianggap ada hubunganya dengan organisasi Muhammadiyah bagi guru saya.
Waktu diajak untuk mengikuti aksi itu, fokus dan perhatian saya adalah krisis kemanusiaan warga Palestina. Itu tok. Dukungan sebagai saudara seiman. Nggak ada saya kepikiran soal NU atau Muhammadiyah. Toh, di nama organisasi mahasiswa itu tidak ada kata-kata “Muhammadiyah” atau “NU” sama sekali. Hanya ada kata “Islam” di sana. Mana saya tahu bahwa kelak guru saya akan menganggap saya “pengkhianat”. Sedih.
Setelah selesai dengan kesedihan, saya cari tahu lebih dalam tentang organisasi kemahasiswaan itu. Ternyata, organisasi itu memang banyak orang Muhammadiyah-nya, tapi bukan organisasi Muhammadiyah. Pantas saja guru saya berpikir saya pindah haluan. Atau bahasa teman SMA saya, “pengkhianat”. Makin sedih.
Padahal saya tidak ada sama sekali kepikiran sampai sana. Bahkan saya baru mencari tahu setelah aksi itu. Kalau saya tahu bahwa kelak aksi itu akan dilihat dan menyakiti hati guru kesayangan saya, saya pasti akan mempertimbangkan, atau setidaknya minta pendapat beliau.
Kan pikiran saya waktu itu adalah, daripada saya jadi mahasiswa cuman main PS atau nyomot uang saku buat traktir pacar karaokean sehabis kuliah, mending saya berbuat sesuatu yang baik. Sedangkan membela hak warga sipil Palestina untuk hidup tenang bagi saya adalah sesuatu yang baik. Yang menurut saya itu fix, no debat! Pasti baik. Tak akan ada yang membantah.
Eh, nggak tahunya, guru kesayangan saya, loh. Orang yang sangat dekat dengan saya waktu SMA, bisa mengartikan berbeda. Apalagi orang lain yang memandang aksi kemanusiaan untuk warga Palestina.
Dari situ saya menyadari kompleksitas hidup ini. Apakah untuk membela rasa kemanusiaan harus dikotak-kotakkan berdasarkan aliran atau organisasi? Urusan membela kemanusiaan saja tergantung dari mana melihatnya? Bukankah semua baik adanya?
Kalau cuma menuruti nafsu, saya sudah menganggap guru saya itu kolot, sempit, sumbu pendek, dan lain sebagainya. Tapi saya merasa harus menyudahi kesalahan-kesalahan konyol semacam ini. Saya harus memutus rantainya.
Saya mencoba melihat dari sudut pandang guru saya. Saya membayangkan bagaimana kalau saya menjadi seorang guru yang menyayangi muridnya. Ingin melihat muridnya menjadi orang yang baik. Membanggakan bagi gurunya. Bermanfaat bagi agama dan bangsanya. Maka naluri saya adalah melindunginya agar tetap di jalur yang benar, jangan sampai salah pergaulan. Sangat mungkin sekali itu yang ada di pikiran guru saya. Dan lebih baik saya berpikiran begitu daripada sebaliknya.
Selesai masalah. Saya memaklumi beliau. Saya anggap itu upaya perlindungan. Toh kita sudah cukup lama tidak bertemu. Ada gap panjang, terus dipertemukan pada situasi yang tidak pernah dilihat sebelumnya, sangat mungkin menghasilkan persepsi baru bagi guru saya.
Alhasil, saya semakin sayang pada guru saya, dan sekarang malah merasa bersalah karena belum sempat sowan lagi ke rumahnya. Sedangkan bagi teman-teman Muhammadiyah saya yang di organisasi yang menyuarakan aksi penderitaan warga Palestina, saya tidak ada masalah sama sekali. Kita tetap akrab satu sama lain sampai lulus kuliah. Bahkan, salah satu dari mereka sekarang menjadi suami dari adik ibu saya. Itu membuat saya senang.
Namun, ketika melihat headline berita akhir-akhir ini yang menyiarkan konflik Palestina, hati saya sedih lagi….
Ternyata, aksi saya di 2010, yang saya sampai gembar-gembor pakai TOA, minggir kalau ada motor lewat, di-cengir-in pak polisi, dikira pengkhianat oleh guru kesayangan, tidak berdampak sama sekali! Tidak ada gunanya sama sekali! Konflik belum selesai sampai sekarang dan belum akan selesai dalam waktu dekat.
Namun untungnya, yang saya rasakan sampai sekarang hanyalah kesedihan, bukan penyesalan. Saya tidak pernah menyesal pernah menyuarakan penderitaan warga Palestina meski sempat terjadi kegegeran karena perbedaan NU dan Muhammadiyah.
BACA JUGA Tak Ada ‘Perang’ atau ‘Konflik’ antara Israel dengan Palestina dan tulisan lainnya di rubrik ESAI.