Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Membela Palestina, tapi Malah Bikin Guru Saya Kecewa karena Perbedaan NU dan Muhammadiyah

Puput Pujianto oleh Puput Pujianto
15 Mei 2021
A A
Membela Palestina, tapi Malah Bikin Guru Saya Kecewa karena Perbedaan NU dan Muhammadiyah MOJOK.CO

Membela Palestina, tapi Malah Bikin Guru Saya Kecewa karena Perbedaan NU dan Muhammadiyah MOJOK.CO

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Saya nggak menyesal ikut aksi bela Palestina meski bikin guru saya kecewa. Gara-gara perbedaan NU dan Muhammadiyah.

Saya lupa tepatnya, kalau nggak salah sekitar 2010. Saat saya masih menjadi mahasiswa di salah satu perguruan tinggi swasta di Kudus. Bersama teman-teman, saya menyuarakan keprihatinan tentang krisis kemanusiaan di Palestina di Alun-Alun kota Kudus.

Sebelumnya saya ceritakan dulu latar belakang ceritanya. Saya adalah lulusan SMA NU Hasyim Asy’ari Kudus, yang dari namanya saja saya pernah mendapat komentar dari seorang kenalan:

“Wes NU, Hasyim Asy’ari sisan!” (Sudah NU, Hasyim Asy’ari lagi!).

Kurang lebih maksudnya sangat NU sekali! Atau NU-nya NU. Begitu!

Suatu hari, saya mendapat ajakan ikut aksi mahasiswa menyuarakan krisis kemanusiaan warga Palestina di Alun-Alun Kudus. Sebelum berangkat, saya diberi pengarahan supaya aman saat beraksi, bagaimana agar tidak terciduk polisi, kalau keciduk harus bagaimana, dan sebagainya. Suasana pengarahan aja udah terasa mencekam. Saya malah sempat kepikiran untuk mundur, balik ke kos, main PS. Tenang, aman, damai sentosa! Tapi demi kemanusiaan warga Palestina, entah mengapa, jiwa sok pahlawan saya meronta-ronta!

Singkat cerita, aksi kemanusiaan untuk warga Palestina berjalan lancar dan alhamdulillah nggak sampai bentrok sama polisi. Gimana bentrok sama polisi, yang ikut aksi aja bisa dihitung jari. Malah dari kejauhan ketika saya lirik pak polisi yang jaga, mereka cuma cengar-cengir melihat jumlah kita. Jangankan sampai bikin kemacetan, yang ada malah kita yang minggir kalau ada motor lewat.

Saat itu saya agak kecewa dan malu. Ternyata banyak teman-teman mahasiswa yang tidak peduli terhadap krisis di Palestina waktu itu. Namun, di sisi lain, saya tetap merasa bangga telah menjadi bagian dari aksi itu. Saya bangga berdiri di barisan para mahasiswa yang membela kemanusiaan.

Lebih jauh lagi, saya bangga menjadi warga Indonesia karena berani menentukan sikap yang keren atas Palestina. Ngefans negara adidaya itu biasa, tapi berani membela negara yang sedang porak-poranda itu keren menurut saya.

Sampai akhirnya beberapa hari setelah aksi itu, saya bertemu dengan teman SMA. Dia bilang:

“Kae lho kuwe diluru Pak Fulan.” (Itu lho kamu dicari Pak Fulan).

Mendengar nama Pak Fulan disebut bikin saya gembira. Pak Fulan adalah guru kesayangan saya. Sementara saya, menurut klaim teman-teman, adalah murid kesayangan beliau. Tapi saya tidak mau bilang begitu, takut overclaim.

“Jare kuwe melu aksi mahasiwa wingi, wonge kecewa karo kuwe, wong wes diajari ke-NU-an yah mono yah mene kok malah dadi ngono.” 

(Katanya kamu ikut aksi mahasiswa kemarin, dia kecewa sama kamu, orang udah diajari ke-NU-an lama sekali kok malah jadi gitu).

Iklan

Saya kaget! Ada dua hal yang mengagetkan saya. Pertama, saya telah mengecewakan guru kesayangan saya. Kedua, saya baru tahu ternyata aksi itu dianggap ada hubunganya dengan organisasi Muhammadiyah bagi guru saya.

Waktu diajak untuk mengikuti aksi itu, fokus dan perhatian saya adalah krisis kemanusiaan warga Palestina. Itu tok. Dukungan sebagai saudara seiman. Nggak ada saya kepikiran soal NU atau Muhammadiyah. Toh, di nama organisasi mahasiswa itu tidak ada kata-kata “Muhammadiyah” atau “NU” sama sekali. Hanya ada kata “Islam” di sana. Mana saya tahu bahwa kelak guru saya akan menganggap saya “pengkhianat”. Sedih.

Setelah selesai dengan kesedihan, saya cari tahu lebih dalam tentang organisasi kemahasiswaan itu. Ternyata, organisasi itu memang banyak orang Muhammadiyah-nya, tapi bukan organisasi Muhammadiyah. Pantas saja guru saya berpikir saya pindah haluan. Atau bahasa teman SMA saya, “pengkhianat”. Makin sedih.

Padahal saya tidak ada sama sekali kepikiran sampai sana. Bahkan saya baru mencari tahu setelah aksi itu. Kalau saya tahu bahwa kelak aksi itu akan dilihat dan menyakiti hati guru kesayangan saya, saya pasti akan mempertimbangkan, atau setidaknya minta pendapat beliau.

Kan pikiran saya waktu itu adalah, daripada saya jadi mahasiswa cuman main PS atau nyomot uang saku buat traktir pacar karaokean sehabis kuliah, mending saya berbuat sesuatu yang baik. Sedangkan membela hak warga sipil Palestina untuk hidup tenang bagi saya adalah sesuatu yang baik. Yang menurut saya itu fix, no debat! Pasti baik. Tak akan ada yang membantah.

Eh, nggak tahunya, guru kesayangan saya, loh. Orang yang sangat dekat dengan saya waktu SMA, bisa mengartikan berbeda. Apalagi orang lain yang memandang aksi kemanusiaan untuk warga Palestina.

Dari situ saya menyadari kompleksitas hidup ini. Apakah untuk membela rasa kemanusiaan harus dikotak-kotakkan berdasarkan aliran atau organisasi? Urusan membela kemanusiaan saja tergantung dari mana melihatnya? Bukankah semua baik adanya?

Kalau cuma menuruti nafsu, saya sudah menganggap guru saya itu kolot, sempit, sumbu pendek, dan lain sebagainya. Tapi saya merasa harus menyudahi kesalahan-kesalahan konyol semacam ini. Saya harus memutus rantainya.

Saya mencoba melihat dari sudut pandang guru saya. Saya membayangkan bagaimana kalau saya menjadi seorang guru yang menyayangi muridnya. Ingin melihat muridnya menjadi orang yang baik. Membanggakan bagi gurunya. Bermanfaat bagi agama dan bangsanya. Maka naluri saya adalah melindunginya agar tetap di jalur yang benar, jangan sampai salah pergaulan. Sangat mungkin sekali itu yang ada di pikiran guru saya. Dan lebih baik saya berpikiran begitu daripada sebaliknya.

Selesai masalah. Saya memaklumi beliau. Saya anggap itu upaya perlindungan. Toh kita sudah cukup lama tidak bertemu. Ada gap panjang, terus dipertemukan pada situasi yang tidak pernah dilihat sebelumnya, sangat mungkin menghasilkan persepsi baru bagi guru saya.

Alhasil, saya semakin sayang pada guru saya, dan sekarang malah merasa bersalah karena belum sempat sowan lagi ke rumahnya. Sedangkan bagi teman-teman Muhammadiyah saya yang di organisasi yang menyuarakan aksi penderitaan warga Palestina, saya tidak ada masalah sama sekali. Kita tetap akrab satu sama lain sampai lulus kuliah. Bahkan, salah satu dari mereka sekarang menjadi suami dari adik ibu saya. Itu membuat saya senang.

Namun, ketika melihat headline berita akhir-akhir ini yang menyiarkan konflik Palestina, hati saya sedih lagi….

Ternyata, aksi saya di 2010, yang saya sampai gembar-gembor pakai TOA, minggir kalau ada motor lewat, di-cengir-in pak polisi, dikira pengkhianat oleh guru kesayangan, tidak berdampak sama sekali! Tidak ada gunanya sama sekali! Konflik belum selesai sampai sekarang dan belum akan selesai dalam waktu dekat.

Namun untungnya, yang saya rasakan sampai sekarang hanyalah kesedihan, bukan penyesalan. Saya tidak pernah menyesal pernah menyuarakan penderitaan warga Palestina meski sempat terjadi kegegeran karena perbedaan NU dan Muhammadiyah.

BACA JUGA Tak Ada ‘Perang’ atau ‘Konflik’ antara Israel dengan Palestina dan tulisan lainnya di rubrik ESAI.

Terakhir diperbarui pada 15 Mei 2021 oleh

Tags: Israeljalur gazaMuhammadiyahnupalestina
Puput Pujianto

Puput Pujianto

Suka baca dan menulis, yang pengin tulisanya dimuat Mojok.

Artikel Terkait

Keindahan Semu di Kaki Gunung Semeru, Lumajang saat erupsi. MOJOK.CO
Aktual

Keindahan Semu di Kaki Gunung Semeru

21 November 2025
wisuda, tuli.MOJOK.CO
Kampus

Sering Dibilang Bodoh karena Tuli, Kini Membuktikan Diri dengan Menjadi Wisudawan Tunarungu Pertama di Kampusnya

24 Oktober 2025
Apa yang Terjadi Jika Muhammadiyah Tidak Pernah Ada? MOJOK.CO
Esai

Fakta Menyeramkan Jika Muhammadiyah Tidak Pernah Lahir di Indonesia

5 Oktober 2025
Ketika One Piece Dilarang, Bendera Merah Putih Makin Terkoyak MOJOK.CO
Esai

Sikap Penguasa Melarang Pengibaran Bendera atau Melukis Mural One Piece Justru Semakin Mengoyak Kedaulatan Bendera Merah Putih

9 Agustus 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Nonton Olahraga Panahan. MOJOK.CO

Sempat “Ngangong” Saat Pertama Kali Nonton Olahraga Panahan, Ternyata Punya Teropong Sepenting Itu

25 Desember 2025
Pasar Kolaboraya tak sekadar kenduri sehari-dua hari. Tapi pandora, lentera, dan pesan krusial tanpa ndakik-ndakik MOJOK.CO

Kolaboraya Bukan Sekadar Kenduri: Ia Pandora, Lentera, dan Pesan Krusial Warga Sipil Tanpa Ndakik-ndakik

23 Desember 2025
elang jawa.MOJOK.CO

Melacak Gerak Sayap Predator Terlangka di Jawa Lewat Genggaman Ponsel

23 Desember 2025
38 Orang Napi di Lapas Wirogunan Jogja Terima Remisi Saat Natal. MOJOK.CO

Gereja Hati Kudus, Saksi Bisu 38 Orang Napi di Lapas Wirogunan Jogja Terima Remisi Saat Natal

26 Desember 2025
Gedung Sarekat Islam, saksi sejarah dan merwah Semarang sebagai Kota Pergerakan MOJOK.CO

Upaya Merawat Gedung Sarekat Islam Semarang: Saksi Sejarah & Simbol Marwah yang bakal Jadi Ruang Publik

20 Desember 2025
Petung Jawa dan Seni Berdamai dengan Hidup

Petung Jawa dan Seni Berdamai dengan Hidup

23 Desember 2025

Video Terbaru

Petung Jawa dan Seni Berdamai dengan Hidup

Petung Jawa dan Seni Berdamai dengan Hidup

23 Desember 2025
Sepak Bola Putri SD Negeri 3 Imogiri dan Upaya Membangun Karakter Anak

Sepak Bola Putri SD Negeri 3 Imogiri dan Upaya Membangun Karakter Anak

20 Desember 2025
SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

18 Desember 2025

Konten Promosi



Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.