MOJOK.CO – Banyak yang mencibir aksi Baim Wong mendaftarkan Citayam Fashion Week ke HAKI. Padahal itu aksi yang cerdas. Nggak percaya?
Albert Einstein pernah menyebutkan bahwa ada tiga kekuatan tak terbendung di kolong langit. Pertama adalah kebodohan. Kedua, rasa takut. Terakhir, adalah sikap tamak. Tapi ada kekuatan lain yang lahir ketika teknologi dan media sosial hadir, yaitu cari perhatian alias caper. Dalam peradaban yang serba terhubung melalui internet, menjadi viral adalah currency yang sangat penting.
Dua minggu terakhir, perbincangan terhadap Citayam Fashion Week membuat linimasa Twitter riuh dengan komentar. Beberapa mencibir, menyebut perilaku Bonge dan Jeje sebagai sesuatu yang norak atau memalukan. Sementara di belahan dunia lain, influencer dengan tiket promo diskonan bergaya seolah model maha gemilang di Times Square, Manhattan.
Jelas, Bonge dan para pegiat Citayam Fashion Week adalah sosok inspirasional. Visioner yang otentik dan memiliki daya gebrak adiluhung. Semangat slebew membawa mereka ke kancah nasional, dilakukan di Jakarta, diberitakan seluruh orang, dan jadi perbincangan di pelosok Nusantara. Kemudian, seperti lalat yang menghinggapi nanah, influencer dan pembeo dengan duit yang lebih banyak datang mengkooptasi ruang Bonge.
Berhenti sampai di situ?
Jelas tidak, salah seorang influencer paling bijak adalah Baim Wong, yang bersama perusahaannya, mendaftarkan Citayam Fashion Week sebagai brand Hak Atas Kekayaan Intelektualitas (HAKI). Nah, saat orang lain menuduh Baim Wong itu rakus, saya malah kagum. Betapa cerdik dan cerdas pengamatannya dalam melihat peluang, hingga tebersit untuk melakukan hal ini? Ada banyak orang tamak, tapi sedikit yang cerdas.
Lagipula, ada banyak kok hal-hal yang ditemukan atau dikembangkan orang miskin, tapi lantas diambil dan dicuri dengan culas oleh orang kaya tapi bukan Baim Wong tentu saja.
Misalnya, tanah adat di Sumatera dan Papua. Terjadi juga di sepak bola, dari pelosok tanah kumuh di Rio, Liverpool, Barcelona, hingga kemudian dikooptasi pemilik modal untuk membeli klub-klub bola dengan tujuan kapital. Ya sah aja, wong duit-duit mereka kok, nggak pakai duit pajak.
Lho, tapi kenapa Citayam Fashion Week perlu didaftarkan Baim Wong ke HAKI? Keberadaan HAKI bisa menjadi sumber peningkatan penghasilan bagi para pelaku ekonomi kreatif.
Misal, jika suatu ide telah mendapatkan HAKI, kemudian digunakan oleh orang lain, maka pemegang hak tersebut berhak mendapatkan royalti atas kepemilikan ide. Jelas tidak penting siapa yang pertama menggagas Citayam Fashion Week, yang paling penting siapa orang pertama yang mematenkan hal tersebut. Ya, kan, Pak Baim Wong?
Belajar dari sikap cerdas dan sigap Baim Wong, saya menyadari ada banyak hal yang bisa dipatenkan dan daftarkan ke HAKI oleh beliau. Bayangkan, jika Citayam Fashion Week saja bisa dipatenkan, mengapa tidak yang lain?
Tentu saran ini tidak hanya untuk Baim Wong belaka. Bisa aja kamu orang kaya yang berpikir hartanya masih kurang banyak dan harus mencari sumber penghasilan lain. Goblok itu kadang takdir, tapi rakus adalah pilihan.
Catchphrase pertama yang saya rekomendasikan untuk dipatenkan ke HAKI adalah “oknum”. Kata ini nyaris selalu dipakai di media. Mulai oknum pejabat, oknum karyawan, oknum pekerja, tapi nggak pernah oknum aparat.
Lho kok nggak ada oknum aparat? Ya karena semua polisi atau tentara itu baik belaka, suci tanpa noda, kalau ada yang sampai berencana membunuh istri karena malas cerai atau menembak bawahan dengan pistol, ya itu cuma kebetulan saja.
Kata oknum ini versatile, alias lincah digunakan. Ada bandit di KPK yang menyalahgunakan jabatan? Gunakan saja kata oknum. Ada rampok di DPR yang ketahuan menyelewengkan dana e-KTP? Labeli saja oknum.
Dengan mematenkan kata, ini katakanlah, mereka yang menggunakan kata ini di media diwajibkan membayar Rp20 ribu perak saja, haqqul yakin, cuma butuh 4 tahun untuk jadi miliarder. Tiap hari di media pasti ada aja oknum, Pak Baim Wong. Lho ini malah bisa lebih cuan ketimbang Citayam Fashion Week.
Catchphrase selanjutnya adalah “mohon izin”. Bayangkan ada berapa ratus ribu rapat pemda di Indonesia. Jika seluruh bawahan mengikuti satu rapat dan catchphrase itu diucapkan 5 kali per orang per dua menit, dengan total populasi PNS yang mencapai 3,9 juta orang, per hari kita bisa memperoleh nyaris Rp20 juta per rapat. Angka ini belum termasuk koordinasi langsung antar pihak kepolisian atau militer ya.
Variasi “mohon izin” bisa juga berupa “mohon arahan”, hingga “mohon maaf”. Dengan beragam variasi kata ini, jika dipatenkan dan bisa dikomersialisasikan, bukan tidak mungkin Pak Baim Wong atau siapa pun bisa mengalahkan jumlah kekayaan Raffi Ahmad dan Nagita Slavina. Uang didapat tanpa bekerja, cuma model paten dan duduk-duduk saja.
Catchphrase lain sebenarnya masih banyak. Misalnya, “Ya Ndak Tahu Kok Nanya Saya,” atau “Partai Wong Cilik”. Cuma ya itu agak politis. Berbahaya. Buat Pak Baim atau pesohor lain tentu riskan untuk mematenkan hal semacam ini. Ada baiknya memang tidak mengambil catchphrase dari orang berkuasa dan lebih mudah mengambil dari kelompok rentan yang tak berdaya kayak Citayam Fashion Week.
Oh iya, saya dengar Pak Baim Wong punya niat mulia untuk membuat Citayam Fashion Week jadi ajang kelas dunia. Kalau bisa, siapa tahu juga bisa mempopulerkan hal lain di kancah internasional. Catchphrase “cebong” dan “kampret” mungkin? Siapa tahu, kan?
BACA JUGA Citayam Fashion Week: Invasi Jaksel, Artis, dan Orang Kaya Membuatnya Tak Lagi Murni dan analisis cerdas lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Yamadipati Seno