Lewat setahun sudah artikel saya “Medan, Kota Para Ketua” disiarkan Mojok. Itu loh, artikel yang mengulas segala borok-boroknya Medan itulah. Singkat cerita, tak lama setelah saya mengeluarkan segala unek-unek tentang Medan melalui tulisan tersebut, saya memutuskan pindah untuk bekerja di daerah lain.
Sampai kemudian saya kembali lagi, untuk sejenak, tak berapa lama yang lalu. Ketika saya kembali, adalah sedikit harapan di hati ini, mungkin Medan sudah sedikit berubah. Mungkin adalah sedikit jalannya yang sudah diperbaiki. Meskipun saya yakin kuasa-kuasa para ketua masih menggerogoti kota yang dulunya dijuluki Paris van Sumatra itu.
Harapan tinggal harapan. Setelah ditengok, kualitas jalan di Medan makin buruk. Terutama di sekitaran Jalan Bambu dan daerah Pasar Petisah. Sampai ada teman yang menyamakan jalan Bambu dengan jalur Gaza karena memiliki tingkat bahaya yang sama parahnya. Dan karena pemilihan gubernur Sumatra Utara akan dihelat tahun depan, tambah banyaklah wajah-wajah tidak tampan yang menyebalkan, lengkap dengan kalimat-kalimat klise, bermunculan di baliho-baliho yang semakin menggunung. Belum lagi begal sadis yang semakin merajalela sampai ada suatu peristiwa yang mana beberapa pemuda tanggung sengaja memesan transportasi online di malam hari untuk kemudian menyergap masuk ke mobil lalu menggorok sopirnya.
Apa mau dikata, Paris van Sumatra tinggal nama. Mamak-mamak hamil kalok melewati jalur Gaza di Jalan Bambu itu kemungkinan besar bisa keguguran. Berani coba mengendarai sepeda motor selewat tengah malam hari, melewati jalur-jalur rawan begal yang kini sudah meliputi hampir seluruh wilayah Kota Medan itu? Silakan kalok kau udah bosan hidup. Ngeri, ngeri. Nggak pake sedap lagi kali ini.
Semua orang sudah muak dengan keadaan ini. Muak sampai ke ubun-ubun. Mungkin itulah kenapa akhirnya perkara ini sampai juga ke telinga Presiden Jokowi. Bayangkan, sudah sebegitu sibuk dan mumetnya Jokowi mengurus negara dengan jumlah 17.000 pulau ini. Belum lagi masalah yang datang bertubi-tubi, dari skala nasional hingga internasional. Namun, masihlah ia harus dipusingkan dengan ketidakbecusan pemimpin di sebuah kota (ya, pemerintah daerah tingkat II belaka) untuk mengurus perkara sesepele jalan raya di dalam kota. Bukan jalan lingkar provinsi apalagi jalan tol.
Baru seminggu yang lalu, ketika Jokowi dalam rangka kunjungan untuk pengecekan jalur Tol Sumatra, sengaja melewati jalan-jalan yang rusak di Kota Medan, termasuk jalur Gaza alias Jalan Bambu tadi pagi-pagi sekali. Setelah mungkin pegal, encok, dan rematik beliau kambuh akibat melewati jalan tersebut, ia memberi pesan singkat kepada Wali Kota Medan melalui media. “Tolong perbaikan jalan-jalan di kota Medan ini segera dikerjakan. Kalau nggak segera dikerjakan, duluan saya kerjakan nanti. Tugasnya Wali Kota untuk menyelesaikan.”
Cobaklah eda bayangkan! Sekelas presiden menegur seorang wali kota hanya karena perkara jalan, di depan media pula. Di depan banyak orang. Aduh, seadainya awak yang jadi wali kota dan ditegur seperti itu, jujur saja tak tahu lagilah mau ke mana wajahku ini kutarok. Mending menghilang sajalah dari dunia ini untuk sementara waktu.
Tapi, yang namanya pejabat pemerintahan eksekutif di Kota Medan memang paten kalilah. Reaksi teknikal Bapak Wali Kota Medan masih mendingan. Kepalang malu karena ditegur Jokowi, ia langsung menginstruksikan jajarannya untuk segera memperbaiki jalan-jalan rusak parah di kota Medan. Dan menjanjikan penyelesaian final perbaikan jalan untuk terwujud pada Desember 2017. Namun, ketika ditanya oleh salah satu wartawan tentang bagaimana tanggapan beliau mengenai teguran Jokowi terhadapnya, jawaban yang ia berikan cukup absurd.
“Kita terima dengan lapang dada ajalah,” begitu reaksi Tengku Dzulmi Eldin, Bapak Wali Kota Medan yang terhormat periode 2016—2020, layaknya reaksi seseorang yang baru saja terkena musibah. Blio ini tidak sadar apa ya, kepemimpinannyalah yang sebenarnya menjadi musibah bagi 3 juta penduduk kota ini. Bertahun-tahun dipimpin olehnya (dia menjabat dari 2013, periode ini adalah periode keduanya. Dan dari 2011 sampai 2013, dia adalah wakil wali kota Medan), mungkin dada orang Medan sudah selapang Danau Toba. Sampai-sampai saya terkadang berpikir, mungkin Tuhan memiliki ide mengenai betapa saleh dan salehanya jutaan warga Medan kini hingga Ia memberi cobaan sedahsyat ini.
Reaksi Bapak Wakil Walikota Akhyar Nasution lebih dahsyat lagi. Sesaat setelah berita mengenai teguran Jokowi tersebut beredar, ia memposting berbagai status di Facebook pribadinya (ya, Facebook!) yang isinya keluhan dirinya menanggapi teguran tersebut. Ia juga menyalahkan pemerintah pusat atas lambatnya penanganan jalan rusak di Kota Medan. Ia menggunakan kalimat seperti “Sehebat apa pun ocehan kalian, kita bergerak atas regulasi.” Luar biasa memang. Di negara yang budayanya masih hierarkis ini, ia berani mengeluarkan tanggapan-tanggapan tajam hingga menyalahkan pemerintah pusat sesaat setelah ditegur oleh presiden, sang kepala pemerintahan pusat itu sendiri. Salut benar awak. Savage AF.
Apa yang sebenarnya terjadi di Kota Medan? Apakah karena korupsi? Bicara sebagai orang awam, daerah lain yang kepala daerahnya tertangkap karena korupsi tidaklah sampai memiliki jalan dalam kota separah Medan. Atau jangan-jangan, saya sampai berpikir iseng, ini terjadi karena Pak Wali salah memberi arahan? Sebagai orang asli Medan, tentu ia pasti akrab dengan kalimat khas Medan itu, “Coba kau apakan dulu apa itu biar nggak apa kali.” Absurd, sungguh absurd. Tidak jelas kalimat tersebut tertuju untuk apa dan siapa. Wajar sajalah pekerjaan para kontraktor yang mengurusi perbaikan jalan tidak rampung-rampung hingga sekarang.
Medan ini memang unik. Unik yang nggak lucu, tapi. Bahkan sejak era ‘80-an, masalah kualitas jalan dan tata kota selalu menjadi momok Kota Para Ketua ini. Dan tahun ini menjadi puncak gunung es permasalahan yang sudah ditumpuk bertahun-tahun. Padahal, jika berkaca dari kota lain, perubahan bukanlah tidak mungkin. Surabaya, misalnya. Di era ’70 sampai ’80-an, Surabaya memiliki tata kota yang kabarnya seram bukan kepalang. Namun, kini di bawah kepemimpinan Ibu Risma Surabaya menjelma menjadi kota yang tertata rapi.
Bagaimana dengan Medan? Dengan sejuta permasalahan dan dinamika, bisakah setidaknya penyelesaian dimulai dengan perbaikan kualitas jalan yang lebih manusiawi? Dan mampukah setidaknya pemerintah membuat warganya merasa aman untuk berkendara pukul 1 pagi? Kita hanya bisa berharap, dan tentu tak lupa mengawasi serta mengontrol proses pemenuhan janji-janji Pak Wali sebagai masyarakat sipil yang aktif dan peduli terhadap kotanya.