MOJOK.CO – FIFA menuliskan kalimat “We encourage everyone to imagine what it looks like,” di laman resminya untuk menjelaskan makna maskot Piala Dunia Qatar 2022. Hal ini membuat saya yakin bahwa ada pesan tersembunyi dari pemilihan maskot ini.
Saya tertawa lepas ketika video resmi iklan Piala Dunia 2022 di Qatar disunting dan di dalamnya dimasukkan sebuah lagu dari iklan Wadimor. Ketika kain hiasan kepala khas negara-negara Timur Tengah, ghutra, ceritanya sedang terbang melewati orang-orang yang datang mengunjungi Qatar untuk nonton bola, nyempil lagu, “Wadimor sarung khas Indonesia.”
Astaga. Vibes yang harusnya sepak bola dan olahraga persatuan, beralih fungsi menjadi sambutan khas Lebaran. Iya, memang kain yang beterbangan. Tapi ya bukan sarung juga. Ditambah lagi suasana pemandangan yang jazirah Arab sekali menambah kental suasana bulan Ramadan. Tinggal nunggu iklan berseri sirup Marjan nongol saja.
La’eeb, maskot Piala Dunia 2022
Piala Dunia 2022 memang patut digali dan dipelajari. Selain iklan promosi, ada juga maskot. Sepanjang sejarah pagelaran Piala Dunia, maskot nggak melulu hewan dan manusia, kok. Pemilihan Qatar menjadikan kain ghutra sebagai maskot juga nggak salah. Toh edisi Spanyol ’82 itu buah jeruk bernama Naranjito dan Italia ’90 bernama Ciao.
Yang harus jadi poin penting, maskot itu harus punya makna khusus bagi sebuah negara tersebut. Misalkan Amerika ’94 menggunakan sosok anjing alih-alih negara lain (seperti Inggris ’66 sosok singa bernama Willie) menggunakan hewan-hewan sangar, walau anjing juga sangar sih.
Tapi Amerika memilih sosok anjing sebagai maskot murni sebagai daya tarik. Sepak bola yang merupakan olahraga nomor sekian, dipilihlah sosok anjing karena dekat dengan warga Amerika. Bahkan, Warner Bros yang mendesain si Striker. Nah, kalau setiap maskot punya muatan dan tujuan, lantas apa sih dipilihnya kain ghutra sebagai maskot?
Di laman resmi FIFA sih dituliskan bahwa La’eeb mendorong semua orang untuk percaya pada diri. Maskot ini akan membawa kegembiraan sepakbola untuk semua orang. Lanjutnya, “La’eeb adalah kata Arab yang berarti pemain yang sangat terampil. Dia milik semesta maskot paralel yang tak terlukiskan, semua orang diajak untuk membayangkan sesuai perspektif masing-masing.”
Pesan tersembunyi dari sebuah maskot
(((Membayangkan sesuai perspektif masing-masing))) Ya, benar, ini saya alih bahasa langsung dari kata-kalimat: “We encourage everyone to imagine what it looks like.” Dan ini membuat saya yakin bahwa ada pesan tersembunyi dari pemilihan maskot ini.
Pesan pertama, meneguhkan bahwa negara-negara Arab kini menguasai sepak bola dunia. Istilah football industry memang sudah terjadi sejak lama. Bukan hanya ketika Abramovich jadikan Chelsea yang awalnya papan bawah jadi tim elite Eropa, namun sudah dimulai ketika para pemain mulai diberi harga.
Sepak bola memang ajang mencari senang. Namun, ya itu dulu. Untuk memperkuat tim yang dibangun, butuh pemain bagus. Ketika pemain mulai mendapatkan harga, pasar mulai tercipta.
Jazirah Arab sendiri diberkahi Sumber Daya Alam yang luar biasa. Sumber energi dunia. Ibarat Eropa bisa menciptakan kendaraan, bahan bakarnya adalah Timur Tengah. Sultan bukan hanya pemilik kerajaan dan Raffi Ahmad, namun juga orang-orang tajir yang kebanjiran minyak. Bosan pelihara harimau, mereka main-main dengan sepak bola.
Sepak bola dikuasai Arab
Liga Inggris kini bisa disebut Liga Kilang Minyak. Selain Manchester City dan Newcastle United, ada juga Everton dan Aston Villa yang saham mayoritas dimiliki pengusaha Arab. Terbaru sih, katanya Liverpool juga join the club setelah FSG memiliki rencana menjual klub ini. Belum lagi membahas PSG dan banyak klub kaya lain yang berafiliasi dengan negara Timur Tengah.
Dijadikannya ghutra sebagai maskot Piala Dunia 2022, seakan memiliki pesan bahwa negeri-negeri Arab kini ada di rantai puncak hierarki sepak bola dunia. Setelah klub Eropa dijajah, kini sepak bola antarnegara.
Alasan kedua, sindiran bagi negara sendiri. Ghutra dalam tubuh La’eeb memiliki bentuk putih, dominan polos. Ya, mirip-mirip seperti kain pocong. Di Twitter sendiri banyak yang mengidentikkan maskot ini dengan Casper. Ada pula yang mengatakan, ia adalah hantu gentayangan. Setelah menyusun data sana-sini, saya jadi sedikit percaya bahwa La’eeb adalah sindiran untuk Qatar itu sendiri.
Sebelum terpilih sebagai tuan rumah, sekitar tahun 2010, Qatar belum punya sarana dan prasarana yang baik perihal sepak bola. Mereka punya duit, tapi nggak punya SDM.
Menengok kuli Jawa terlalu jauh, migran Asia Barat seperti Pakistan, Sri Lanka, Nepal, India, Bangladesh, lalu dari Afrika juga berdatangan. Sialnya, di Qatar ini ada sistem kerja bernama Kafala. Sistem ini yang menaungi para pekerja yang diakui negara, untuk mempekerjakan tenaga migran.
Baca halaman selanjutnya
Qatar adalah kegagalan terbesar
Sistem yang keras, cuaca ekstrem, dan baru ada UU Ketenagakerjaan yang mengatur ini pada medio 2015-2017, membuat dunia geram karena banyak pelanggaran HAM yang dilakukan selama pembangunan stadion Piala Dunia untuk Qatar 2022. Marc Owen Jones, penulis buku Digital Authoritarianism in The Middle East dalam sebuah utas di akun Twitter-nya menyebut jumlah korban ada 6.500 orang.
Jika angka itu adalah kenyataan atau seenggaknya mendekati, ini merupakan tragedi. Bukan hanya sepak bola, ini sudah tragedi kemanusiaan. La’eeb yang memiliki corak putih polos, bak sindiran untuk negara sendiri, seperti kain mori yang siap membuntal korban-korban migran yang tewas di Qatar.
Jumlah korban secara pasti memang masih menjadi tanda tanya, tapi bukan itu hal pokoknya. Mau ribuan atau hanya satu atau dua, adanya korban jiwa karena sepak bola nggak bisa dibenarkan. Apalagi untuk pembangunan Piala Dunia yang seharusnya menjadi pembawa pesan persaudaraan dan perdamaian.
Qatar, dalam hal ini, tentu saja sebagai bukti nyata kegagalan terbesar. Sepak bola murni seutuhnya menjadi urusan uang dan kepentingan. Terbongkarnya bobrok FIFA via series yang baru-baru ini dirilis Netflix, FIFA Uncovered, Qatar yang mulus-mulus saja jadi tuan rumah Piala Dunia di balik busuk kekejaman HAM, seperti olok-olok saja bagi penggemar sepak bola.
Senyum La’eeb, gerak lincahnya, amat njomplang dengan tubuh rusak para pekerja migran yang tewas. Tubuhnya yang putih dan bersih, begitu kontras dengan darah korban pembangunan Piala Dunia 2022 di Qatar. La’eeb bukan hanya seperti menertawakan dan bersenang-senang atas nama sepak bola, tapi juga para korban jiwa di dalamnya.
BACA JUGA Piala Dunia 2022 Qatar: Piala Dunia yang Serba Terakhir dan artikel lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Gusti Aditya
Editor: Yamadipati Seno