MOJOK.CO – Sudah lebih dari satu dekade saya meninggalkan Malang. Inilah nostalgia era terbaik Malang yang tak akan pernah saya lupakan selamanya.
Yang bikin kesal ketika saya memasuki Malang via Tol Singosari setelah Tragedi Kanjuruhan adalah banyak spanduk hitam yang terpampang. Isinya sebagian besar menuntut transparansi hukum. Keadilan perlu ditegakkan, namun tak pernah menjadi kenyataan.
Tentu saja, spanduk-spanduk itu merupakan visual yang bikin marwah Malang sebagai Kota Bunga dan Kota Pendidikan runtuh. Tragedi yang bikin lebih dari sekadar anggapan bahwa “tinggal di Malang itu nyaman” adalah mitos.
Sebenarnya, sebelum tragedi tersebut, Malang bisa jadi benar-benar nyaman. Nah, kalau boleh menilai, sebagai anak yang pernah tinggal di Malang selama enam tahun, era Noh Alam Shah berseragam Arema adalah periode terbaik warga Malang Raya.
Arema adalah agama kedua
Jika kamu hidup di era tersebut, tentu bakal masih ingat dengan sebuah film dokumenter yang berjudul Arema, Agama Kedua. Adalah mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) yang memproduksinya pada 2010.
Film ini menceritakan fanatisme dan kreativitas fans Arema. Mereka seperti ini menunjukkan kepada semua suporter di Indonesia siapa yang terbaik. Dan bagi saya, memang seperti itu kenyataannya.
Di beberapa fakultas di Malang, ketika Arema main sore, ruang-ruang kosong yang menyediakan televisi berubah menjadi arena nonton bareng (nobar). Tidak peduli kamu adalah guru besar, dosen, asisten dosen, mahasiswa, staf akademik, atau staf kebersihan.
Tidak ada sekat. Semuanya rekat. Semua tumplek blek menjadi satu. Mendukung Arema.
Bahkan, bagi sebagian besar mahasiswa yang menghayati sekali Arema, izin untuk tidak mengikuti kuliah sore demi nonton Noh Alam Shah dan rekan-rekannya di Stadion Kanjuruhan adalah hal lumrah. Yang menarik, jangankan mahasiswa minta izin, dosennya juga melakukan hal serupa! Tentu saja dengan syarat diganti jadwal mengajar pada hari lainnya.
Maka, ketika Pierre Njanka berhasil mengangkat trofi Liga Super Indonesia 2009/2010, semua warga Malang Raya tumpah ruah di jalan. Merayakan kemenangan.
Seperti karnaval, sebagian besar orang ikut konvoi. Pakai syal dan apa saja yang beratribut Arema. Bahkan, seorang teman pernah berseloroh dan sedikit bercanda, “Yakinlah, selama seminggu, asal kita pakai atribut Arema, kita bebas ke sana ke mari mengendarai motor tanpa helm!”
Dan itulah Arema bersama Aremania yang saya kenal.
Baca halaman selanjutnya: Era terbaik menurut saya.
Coffee shop yang itu-itu saja
Tidak ada banyak pilihan bagi mahasiswa Malang untuk menikmati secangkir kopi di warung kopi atau coffee shop. Namun, di balik terbatasnya pilihan, justru menjadi berkah bagi pebisnis kopi era itu.
Kalau kamu punya rezeki berlebih, tentu saja akan ke Ria Djenaka. Bahkan, sependek ingatan saya, kalau rezekinya tumpah ruah, pilih yang premium seperti Java Dancer Coffee. Kamu, kalau bisa bisa ngopi di tempat terakhir, predikat orang kaya tersemat di statusmu.
Setingkat di bawah itu, kamu bisa pilih Heiss (kalau keliru penyebutannya, maaf udah hampir 1 dekade lebih terakhir saya ke sana). Letaknya sempat di bundaran pesawat Suhat dan kemudian berpindah ke dekat daerah Cengger Ayam.
Akan tetapi, bagi mahasiswa Malang yang lebih memilih kopi cangkir biasa (kopi gresikan sebutannya), pilihan seperti Joker, Unyil, AGP, atau warkop-warkop depan UMM adalah pilihan rasional. Dan bisa dipastikan, sebulan sering ngopi di warkop-warkop itu, kamu akan bersua dengan wajah-wajah yang sama.
Jika tidak butuh kopi, kamu bisa mencoba alternatif lain seperti Coklat Klasik. Itu ada gerai minuman manis yang tersebar cukup banyak di Malang Raya. Larisnya luar biasa. Kalau sekarang, ya 11-12 seperti fenomena es teh jumbo. Jika butuh yang hangat-hangat selain kopi, bisa juga ke STMJ Pak Sentot, STMJ Glintung, atau SOB Ijen.
Malang era itu, masih agak dingin.
Warung makan penyelamat mahasiswa Malang
McDonald memang sudah ada. Cuma, bagi mahasiswa Malang yang tinggal di era itu, kami punya “McDonald lainnya”. Kami menyebutnya McPar atau Mak Par.
Mak Par adalah sebuah warung sederhana yang menyediakan sambal super pedas bersama ayam goreng krispi. Warung ini bikin saya kangen dan alhamdulillah bisa langgeng sampai sekarang.
Lalu, ada Warung Mama. Sampai sekarang, saya tidak tahu nama warung tersebut itu apa. Cuman letaknya di belakang Poltek. Cukup murah. Maka, tak peduli kalender tua atau muda, Warung Mama selalu penuh.
Kami tidak mengenal Olive Chicken yang kini telah didapuk sebagai oleh-oleh khas Jogja bagi sebagian orang. Namun, bagi mahasiswa Malang yang mau makan ayam di gerai cepat saji yang fancy, maka Waba adalah pilihan sungguh tepat.
Letaknya di belakang UIN Malang. Gerai yang terdiri dari dua lantai punya menu satu nasi tapi dapat dua ayam yang sedikit berminyak. Kan lumayan. Satu ayam dimakan di tempat, satu lagi dimakan di kos.
Kuliner lain yang bernuansa pedas
Pedas seperti tidak terpisahkan dari Malang. Mau bisnis makanan, ya berarti sediakan menu yang pedas. Contoh di era itu adalah mie dan ceker.
Kemunculan Mie Kober Setan dan Ceker Setan adalah wujud nyata bahwa warga di Malang Raya menggandrungi makanan pedas. Bahkan rela mengantre lama. Saya termasuk salah satunya.
Untuk mendapatkan seporsi mie setan dengan kepedasan level tertentu, saya mendapat nomor antrian 70. Anehnya, kok, ya saya bertahan kurang lebih dua jam dan tidak mengomel di Twitter.
Setelahnya, muncul makanan serupa dengan nuansa neraka (kepanasan dan kepedasan). Entah itu bernama Mie Jogging atau nama makanan berdasarkan tempat seperti Ceker Glintung.
Malang yang dingin, era itu, memang cocok untuk makanan pedas.
Camilan nostalgia
Surabi imut dan Ketan Pos Legenda adalah pilihan kuliner lain. Jika kamu mau ngadem sekaligus menikmati alun-alun Batu, Ketan Pos Legenda adalah pilihan yang benar.
Sedangkan, jika kamu ingin menikmati camilan di daerah bener-bener Kota Malang, surabi imut menjadi sesuatu yang menyenangkan. Sayangnya, bagi saya, yang kebetulan lebih sering putar-putar di area UB saja, tahu petis di jembatan Suhat adalah camilan yang tepat saat malam hari.
Sebenarnya, masih ada banyak deretan nostalgia tentang Malang era itu. Ini belum menyebut Angkringan malam Cak San di dekat UM yang benar-benar menjadi pemadam kelaparan.
Bakso? Saya tak menyebutkan satu demi satu mana bakso Malang yang enak. Tetapi, bagi saya, bakso Malang adalah bakso gerobak yang mangkal di pinggir jalan, seperti di Jl. Letjen Sutoyo. Kamu bebas memilah, tetapi tidak perlu ragu memilih mana bakso yang sesuai di lidah.
Kalau masih ada lagi yang terlewat, silakan komentar saja di tulisan ini. Deretan nostalgia tidak pernah cukup untuk dituliskan semuanya di sini.
Kini, bagi saya, Malang merupakan kota yang asing. Sepemahaman saya, jika saya harus menyebutkan tiga hal terbaik untuk Malang, yaitu:
Mie Gacoan, yang viral itu.
Rokok Gajah Baru, yang menyenangkan.
Dan tentu saja, Universitas Brawijaya, yang masih menjadi Universitas terbaik di Indonesia. Versi saya.
Penulis: Moddie Alvianto
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Kota Malang Itu Bukan Kota Slow Living, tapi Slow Motion dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.
