Malang Nggak Suantai, Sayang! Sal Priadi Kudu Sadar kalau Malang Makin Macet, Ruwet, Semrawut, dan Permasalahan Tata Kotanya Makin Amburadul

Malang Nyatanya Nggak Santai kayak Lagu Sal Priadi MOJOK.CO

Ilustrasi Malang Nyatanya Nggak Santai kayak Lagu Sal Priadi. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COMalang nggak hanya soal gunung dan laut, juga soal wajah-wajah warga yang murung dan pikiran-pikiran yang kalut karena menderita.

Ketika Sal Priadi merilis lagu terbarunya berjudul “Malang Suantai Sayang” beberapa hari lalu, ada perasaan hangat ketika mendengarkan lagunya. Lagu Sal membawa nostalgia kecil-kecilan tentang betapa menyenangkannya kota itu. Selain itu, lagu Sal menjadi persembahan dan penegasan identitasnya sebagai representasi Kota Apel di blantika musik nasional. 

Eh, Malang akhirnya dibahas lagi. Sal membahasnya dengan cara yang menyenangkan. Dengan cara yang suantai.

Maka nggak heran jika banyak orang merayakan lagu “Malang Suantai Sayang” sedemikian rupa. Sebagian dari kami bersorak bahagia, beberapa tenggelam dalam haru dan nostalgia. 

Sal seakan mengajak kita untuk merayakan tanah kelahirannya. Termasuk saya, yang juga senang ketika ada yang merayakan Malang lewat sebuah lagu. 

Menolak larut dalam perayaan

Namun, saya sebagai orang Malang nggak mau terlalu larut dalam perayaan “Malang Suantai Sayang”. Saya mengakui, di satu sisi, lagu ini memang agak melenakan kita dari sumpeknya hidup, beratnya mencari sesuap nasi, dan rentetan problematika nyata yang menghantui Malang.

Saya mungkin terdengar seperti seorang party pooper. Tapi percayalah, bahwa Malang nyatanya nggak sesantai itu, kok. Alih-alih santai, kota ini makin ruwet, semrawut, dan nggak tahu arahnya mau ke mana. Setidaknya ada dua hal yang masih bikin Malang ini ruwet dan amburadul: kemacetan dan masalah tata kota.

Baca halaman selanjutnya: Malang tak seindah lagunya Sal.

Malang seakan memelihara kemacetan dan keruwetan

“Namanya juga kota besar, jadi wajar saja kalau suka macet.” Iya betul, kemacetan di kota besar seperti Malang itu memang agak wajar. Kota ini isinya nggak hanya pekerja, tapi juga mahasiswa yang tiap hari beredar di jalanan. Masih ada wisatawan yang selalu memenuhi kota tiap akhir pekan.

Tapi, mewajarkan kemacetan itu nggak boleh. Mewajarkan kemacetan hanya akan jadi alasan bagi pemerintah untuk nggak segera cari solusi. Sudah begitu, kalau cari solusi, biasanya ngawur. Persis seperti yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini.

Ambil satu contoh paling nyata, adalah pemerintah ngurusin kemacetan yang terjadi di Kayutangan dan sekitarnya. Kayutangan, terlebih ketika akhir pekan, sudah pasti macet. 

Tebak apa yang pemerintah lakukan? Nggak ada. Mereka membiarkan kemacetan ada di sana. Ketika mencoba bikin rekayasa lalu lintas, juga malah ngaco..

Padahal, Kayutangan ini, semenjak dibuka kembali setelah proyek heritage rampung, sudah menjadi jalan satu arah. Alasan pemerintah, ya biar bisa mengurai kemacetan, meskipun kajiannya nggak jelas. 

Keputusan ini nyatanya salah besar. Semua masih sama: macet, ruwet, dan semrawut. Banyak masyarakat mengkritik jalan searah di Kayutangan ini. Tapi, pemerintah Malang malah kayak abai dan nggak menggubris kritikan masyarakat. 

Kayutangan jelas bukan satu-satunya. Ada banyak titik-titik lain di Malang yang sampai saat ini masih macet dan seakan dibiarkan. Di Tlogomas-Dinoyo, Muharto, kawasan sekitar alun-alun dan pasar besar, juga masih kerap macet. Tahu apa yang dilakukan pemerintah? Lagi-lagi, mereka kayak abai dan malah seakan memelihara sekaligus membiarkan kemacetan itu.

Nggak pernah punya solusi atas problematika tata kota

Kalau boleh menarik garis lurus, masalah kemacetan adalah imbas dari ketidakbecusan pemerintah dalam urusan tata kota. Pemerintah Malang kayak nggak pernah punya solusi yang nyata, konkret, dan jelas.

Untuk urusan macet misalnya, solusi paling mentok yang adalah rekayasa lalu lintas. Kelihatan masuk akal, tapi implementasinya di lapangan masih ngawur. 

Sosialisasi informasi rekayasa lalu lintasnya nggak merata. Di jalan nggak ada plang atau penunjuk jalan alternatif ketika rekayasa lalu lintas. Petugas yang ada di jalan kayak malas-malasan ngatur lalu lintas. Jadinya ya gitu, semrawut nggak karuan. 

Soal tata kota, pemerintah Malang ini memang masih goblok banget ngaturnya. Nggak cuma soal kemacetan, soal banjir juga sama penanganannya. 

Soal banjir, ini karena titik-titik resapan makin hari makin hilang berganti bangunan. Belum lagi soal drainase yang nggak ideal. Kayak nggak niat, kayak orang nggak pernah sekolah.

Makanya, menjelang musim hujan, warga sudah mulai sambat soal ancaman banjir. Respons pemerintah? Ya gitu, seadanya, kayak nggak benar-benar serius. Bilangnya selalu jangan buang sampah sembarangan. Anjuran yang benar, tapi akan percuma jika daerah titik-titik resapan makin hilang dan drainasenya nggak dibikin dengan benar.

Itu baru masalah kemacetan dan banjir. Gimana dengan persoalan tata kota yang lain? Soal pembangunan trotoar dan jalan berlubang? Situasinya sama, masih ruwet. 

Bisa 3 hari 3 malam kalau saya jelaskan di sini. Intinya, sampai saat ini pemerintah Malang masih belum punya solusi yang nyata untuk persoalan tata kota. Nggak tahu apa alasannya. Apakah nggak peduli, nggak tahu, atau emang nggak becus aja.

Malang nggak suantai, sayang!

Maaf, Sal Priadi, tapi Malang nyatanya nggak sesantai itu. Nggak ada ceritanya Malang itu santai ketika pemerintahnya memelihara kemacetan, membiarkan banjir, dan trotoarnya berantakan.

Tapi, Sal Priadi juga nggak salah. Bahwa “Ada satu tempat, yang benar-benar suantai sayang. Pemanangannya tinggal sebut saja. Mau pantai ada, gunung-gunung juga, bahkan yang lengkap ada air terjunnya, dan tempat itu adalah Malang.” 

Saya setuju. Malang memang penuh cerita lucu, senang, ugal-ugalan, bahkan sampai sedih. Tapi, ketika Sal Priadi bilang, “Kupersembahkan Malang dengan penuh keterusterangan”, maka kemacetan, banjir, jalanan berlubang, kesemrawutan kota, hingga ketidakbecusan pemerintah dalam mengurus kota seharusnya menjadi gambaran nyata dari keterusterangan itu. 

Bahwa Malang nggak hanya soal gunung dan laut, juga soal wajah-wajah warga yang murung dan pikiran-pikiran yang kalut. 

Penulis: Iqbal AR

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Sisi Suram Kota Malang yang Membuatnya Red Flag Disinggahi untuk Healing, apalagi Tinggal dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version