MOJOK.CO – Kata siapa mahasiswa Jurusan Sejarah itu nggak penting? Ingat, meremehkan sejarah sama saja dengan meremehkan dirinya sendiri. Mamam!
Sejarah adalah cahaya kebenaran, saksi waktu, dan juga magistra vitae (guru kehidupan). Maka dari itu, jangan main-main dengan mahasiswanya—mahasiswa Jurusan Sejarah. Setidaknya, mereka ada jaminan untuk bisa tuntas menghadapi persoalan kehidupan.
Menjadi mahasiswa jurusan sejarah, bagi saya yang alumni SMK, adalah sebuah kesempatan yang belum tentu bisa dirasakan oleh mahasiswa teknik, ekonomi, perikanan dan ilmu lainnya. Tentu, karena mereka sudah sibuk dengan laprak (laporan akhir) yang bagi kami adalah hal yang tabu. Jadi, mereka nggak punya kesempatan mencicipi bangku kelas sejarah.
Mereka yang keterima di jurusan keren di atas selalu mengeluh di depan kami saat awal semester. Kata mereka, semester depan akan menjadi hal yang berat karena harus berperang melawan 3 sampai 5 praktikum. Padahal, nih, ya, mereka seharusnya tidak boleh sombong di depan kami seperti itu! Jika prinsip kami adalah “Sejarah adalah kehidupan itu sendiri”, tentu sebenarnya tiap hari pun kami praktikum.
Namun sayang, mereka yang dungu dan juga culas itu tidak pernah memahami betapa beruntungnya menjadi mahasiswa Jurusan Sejarah. Justru, mereka menilai sejarah dengan sebelah mata karena kelilipan tidak pernah mau tahu.
Kami, mahasiswa Jurusan Sejarah, sejak awal sudah dituntut menjadi makhluk yang tahan banting. Cobaan telah hadir sejak awal kami dinyatakan lolos sebagai mahasiswa Jurusan Sejarah lewat jalur SNMPTN, SBMPTN, dan termasuk jalur tikus. Keberanian kami diuji saat woro-woro ke orang tua tentang kenyataan yang menimpa kami.
Mereka akan bertanya pada kita, “Loh kok keterimanya di Jurusan Sejarah?”
Ibu-ibu kita yang sok-sokan melek dengan perekonomian makro dan paham sosiologi masyarakat pun mulai mengalkulasikan kemungkinan yang terjadi. Maka muncullah pertanyaan lanjutan, “Nanti setelah lulus Jurusan Sejarah, mau kerja jadi apa?”
Pertanyaan fundamental semacam itu akan terus terlontar dari lingkungan sepanjang semester yang dilalui. Kami sampai bosan harus memberikan jawaban apa sehingga mereka puas. Tapi tentu, bagi saya, pertanyaan itu gampang dijawab. Saat muncul pertanyaan klasik itu, saya hanya perlu menjawab, “Bisa jadi presiden!!!”
Simpel, kan? Dengan begitu, semua orang akan melirik sejenak, lalu pergi karena niatnya yang jelas mempermalukan malah harus berakhir menelan ludah, demi mendengar tekad kami yang kuat bagaikan Naruto yang bermimpi menjadi Hokage.
Lalu, di semester satu atau dua, kami juga diuji. Selain oleh post-test, UTS, dan UAS, ujian muncul pula dari keadaan. Tawaran-tawaran menggiurkan dari laman web pendaftaran sekolah kedinasan serta SBMPTN ulang menghampiri. Dalam kondisi ini, kami tentu bakal galau.
Hal di atas belum ditambah dengan impian orang tua yang menginginkan anaknya belajar keilmuan yang bisa memberikan kebahagiaan. Yaaah, minimal kebahagiaan duniawi, lah. Secara singkat, saya sadar: orang tua ingin balik modal.
Bagi mahasiswa Jurusan Sejarah yang lemah, jalan yang lurus tentu akan diambil: mendaftar sekolah kedinasan, SBMPTN ulang, atau lari dari kenyataan. Bagi saya? Tidak! Saya masih ingin merasakan andrenalin di jurusan ini! Menjalani ketidakpastian hidup! Bravo!
Toh, setelah sekian lama kuliah, kami yang tetap bertahan akan menjadi lebih bijak. Kebijaksanaan kami tercermin dengan berbagai tanggapan yang terucap saat teman-teman kami menganggap bahwa sejarah adalah jurusan yang super gabut dan santai. Enteng saja, kami akan jawab: “Setiap jurusan punya kesibukannya masing-masing.” Please, deh!!!
Tentu, pemikiran tersebut kami dapat setelah menerima banyak ceramah dari para dosen di jurusan. Eh, tapi kan seluruh kuliah kami isinya memang sudah ceramah, ya? Yaaa anggap saja bahwa kuliah kami sungguh bermanfaat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kehidupan, lah.
Di tengah semangat menyongsong masa depan, kami memang selalu digiring pada situasi yang membosankan di jurusan ini. Mau bagaimana lagi; ini semua karena pemandangan yang kami lihat sehari-hari adalah kepala botak licin di belakang para dosen. Maaf, Pak Dosen, saya khilaf.
Kebosanan kami bakal menjadi-jadi saat derasnya tugas mengampiri. Alhasil, kami harus kawin dengan berbagai literatur dan menyewa kursi perpustakaan berhari-hari untuk menikmati waktu bersenggama dengan buku-buku yang sudah tak suci lagi, alias kotor berdebu. Terkadang, kami tertidur karena lelah
Selain itu, FYI saja, sebagai seorang lelaki, saya merasa paras teman-teman cewek di kelas juga tak menggugah untuk mencoba menjalin asrama, eh asmara. Apalagi, cewek-cewek ini sudah sibuk dengan pekerjaan mereka: mencari-cari calon abdi negara yang rela dengan berat hati mempersunting mereka. Setidaknya, mereka berupaya mencicil masa depan cerah saat berhasil memacari para calon abdi negara, meski risikonya harus siap LDR-an.
Bukannya saya ingin menakut-nakuti kalian, cewek-cewek yang masih berpikiran seperti itu, tapi saya rasa kalian perlu merenungkan hal ini kembali. Izinkan saya memberikan fakta menyakitkan pada kalian: laki-laki yang kalian sebut sebagai calon abdi negara itu tidak akan setia pada kalian. Hidup mereka bukan untuk kalian. Saya jamin itu! Jelas, karena kesetiaan mereka hanya untuk siapa? Ya untuk negara dan bangsa, lah.
Jika kalian sadari, hanya kamilah, mahasiswa Jurusan Sejarah, laki-laki yang paling bisa diajak saling mengerti. Kami paham kehidupan yang keras lewat membaca kisah perjuangan bangsa. Kami juga mengerti bagaimana strategi menghadapi kehidupan kapitalis sekarang dengan analisis histo-ekonomi. Dan yang pasti, kalian tidak akan terlupakan ataupun tercampakan karena kami paham rasanya menjadi “yang terlupakan” lewat sejarah.
Saya agak serius, nih. Di tengah pergulatan dunia dengan era globalisasinya, nilai-nilai baru berdatangan. Kami, para sejarawan muda, adalah agen penting dalam mengukuhkan keberadaan nation Indonesia. Kami, yang kata orang awam adalah mahasiswa “gagal move on”, adalah relawan kebangsaan. Camkan itu!!!
Mbah Sartono Kartodirjo (kalau nggak kenal, coba tanya Mbah Google; mereka temenan, kok) pernah berkata bahwa sejarah adalah proses enkulturasi nilai-nilai positif berupa ideologi bangsa, nasionalism, prinsip kemajuan, dan karakter adiluhung. Setidaknya, dawuh Mbah Sartono ini mejadi rujukan bagi kita untuk paham sejarah.
Tidak hanya itu, Presiden RI pertama Rano Karno Sukarno pernah mengatakan pada salah satu pidatonya: “Jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah”. Kata-kata filosofis ini menjadi bukti bahwa kami adalah orang penting. Setidaknya, bagi kami, haram meninggalkan saat memang tidak ada pilihan lain selain menetap.
Pesan saya untuk Adek-Adek yang nanti akan menghadapi soal-soal SBMPTN: jangan lupa kuatkan tekad dan niat. Jikalau nanti kalian terjurumus masuk jurusan yang saya saat ini geluti, kalian patutlah bersyukur.
Selain kalian akan menjadi orang yang bijak, pintar, dan mampu menyelesaikan problematika bangsa, kalian juga bisa meringankan beban orang tua dengan biaya kuliah yang murah dibanding jurusan lain. Sangat inspiratif, bukan?
Jadi, untuk orang-orang yang masih suka menganggap Sejarah adalah jurusan para kutu buku dan kerjanya gorek-gorek tanah, sini biar ketemu saya! Biar saya tabokin sama buku pegangan Sejarah Nasional Indonesia (SNI) 6 jilid!
Mungkin dengan begitu, mereka baru bisa sadar kalau meremehkan sejarah sama saja dengan meremehkan dirinya sendiri. Mamam!