MOJOK.CO – Saya mungkin naif, atau juga dibayangi kecemasan yang tak perlu, menjawab pertanyaan kapan nikah di Lebaran 2022 kali ini.
Pulang ke rumah di Lebaran 2022 ini katanya bisa jadi hal yang menyebalkan. Atau saya kira begitu. Eh bahkan sampai ada mengaku membenci Lebaran.
Dulu saya berpikir bahwa pulang ke rumah adalah usaha menjawab pertanyaan-pertanyaan menyebalkan dari keluarga. Mulai dari kapan nikah, berapa gaji sekarang, bekerja sebagai apa, atau apakah ada lowongan untuk kerabat jauh.
Belakangan, setelah belajar untuk lebih jernih dan berempati memandang situasi, saya menyadari bahwa keluarga di rumah punya perspektif berbeda dalam berinteraksi. Artinya mereka juga punya cara lain dalam menunjukkan kasih sayang. Iya, termasuk pertanyaan kapan nikah yang bikin jengkel banyak orang itu.
Mudik di Lebaran 2022 ini ini bukan hanya istimewa karena pertama kalinya saya ketemu keluarga usai pandemi. Lebaran kali ini jadi pertemuan pertama dengan ibu setelah putus dari mantan pacar.
Ibu tahu saya serius dengan mantan terdahulu. Ibu juga menjadi pendamping ketika saya mencoba bunuh diri karena tak tahan dengan perpisahan. Waktu itu, saya sudah siap jika ditanya kapan nikah ketika mudik.
Namun, di rumah, ibu sama sekali tak menyinggung soal pacaran, calon istri, atau pertanyaan kapan nikah. Dia hanya bertanya apakah saya cukup makan, cukup istirahat, dan sudah minum jamu untuk mengatasi diabetes yang saya derita. Ibu punya keluasan hati untuk membiarkan saya memproses kehilangan dan duka tanpa harus menuntut ini dan itu.
Di perjalanan mudik Lebaran 2022 kali ini, di kereta, saya berpikir panjang. Ada perubahan pandangan soal ditanya kapan nikah. Dulu, saya berpikir itu adalah upaya ikut campur dalam hidup.
Namun, belakangan, pandangan itu berganti. Bagaimana jika pertanyaan-pertanyaan itu adalah upaya keluarga di desa untuk menunjukkan kasih sayang? Sikap cinta kasih yang berbeda dengan bagaimana saya memandang hidup.
Bertahun lalu, saya pernah menulis betapa menyenangkannya merayakan Lebaran di Jakarta. Di kota itu saya sendirian, jauh dari keluarga, tidak direpotkan pertanyaan kapan nikah atau kerabat yang rempong dengan ini dan itu. Tapi, bagaimana jika hal-hal itu, yang kita anggap rempong, adalah produk bias budaya dan pendidikan?
Bagaimana jika keluarga kita di kampung halaman melihat ibu kota atau perantauan sebagai tempat yang magis, sehingga mereka banyak bertanya tentang hal-hal yang tak dipahami? Bagaimana jika pertanyaan kapan nikah adalah doa? Mereka yang tak pernah ke ibu kota berharap saudaranya menikah dengan orang Jakarta dan mereka bisa diundang datang ke sana sebagai tamu.
Hal-hal sepele di seputar Lebaran 2022 ini, yang tak masuk akal, atau bahkan kita anggap kampungan bisa saja karena kita menganggap diri canggih, modern, dan maju. Meledek hal-hal sederhana dari keluarga di kampung yang tak pernah pergi jauh dari rumahnya.
Hal ini membuat saya berpikir. Betapa sombong, angkuh, dan congkak diri ini, ketika lebaran menolak menjawab pertanyaan kerabat-kerabat jauh karena mereka tak pernah memahami ide soal privasi.
Di kampung halaman, saya bertemu dengan paman, bibi, sepupu, juga kerabat lain yang beberapa di antaranya tak pernah menginjakkan kaki ke Jakarta, tak tahu Yogyakarta itu di mana, dan menganggap Surabaya adalah kota paling besar yang pernah dikunjungi. Mereka bertanya tentang pekerjaan saya, menawarkan berbagai macam obat untuk diabetes, juga menjodohkan dengan teman-temannya di Lebaran 2022 kali ini.
Saya pikir, ketimbang marah-marah di media sosial, sembari bergunjing soal sikap keluarga di kampung halaman, mengapa kami tak mengobrol saja. Membahas hal-hal yang kami anggap penting, sekolah keponakan, hobi sepupu, atau bagaimana mereka ingin merencanakan masa depan. Keluarga yang dulu kuanggap merepotkan, terlalu ikut campur, dan menyebalkan ternyata adalah sosok yang peduli dan rendah hati.
Keluarga yang bertanya tentang pekerjaan ingin anaknya bisa memilih karier di luar PNS atau polisi. Sepupu yang bertanya tentang sekolah, ingin anaknya mendapatkan pendidikan lebih tinggi. Saya menyadari betapa kerdil dan jahatnya diri ini ketika menganggap bahwa pulang kampung saat lebaran adalah neraka. Saudara-saudara ini, mereka hanya ingin tahu, dengan cara yang mereka pahami, produk dari pergaulan yang ada selama ini.
Hanya karena saya hidup di Jakarta, bertemu banyak orang, memiliki pergaulan tinggi, memiliki kesadaran politis, berpendidikan, dan paham tentang ide privasi, bukan berarti saya berhak merendahkan mereka yang tidak tahu. Tentu ada kerabat-kerabat menyebalkan yang bertanya untuk pamer, meremehkan pilihan karier, dan mencoba andil dalam hidup kita lewat pertanyaan kapan nikah. Tapi, berapa banyak sih jumlahnya ketimbang yang tulus dan benar-benar sayang?
Lebaran 2022 kali ini membuat saya ingat Lebaran bertahun lalu, ketika masih SD. Paman dan bibi yang bertanya kapan sunat, bukan untuk meremehkan tapi untuk bisa mempersiapkan uang kado. Sepupu yang bertanya kapan liburan, bukan hendak membandingkan destinasi wisata, tapi hendak membuat janji menginap bersama. Saya sendiri lupa kapan tepatnya pertanyaan-pertanyaan saudara saat Lebaran jadi hal yang menjengkelkan.
Saya dan ibu menghabiskan banyak waktu untuk bercerita. Hingga saya selesai menulis naskah ini, dia tak sekalipun bertanya kapan nikah. Dia menyadari bahwa perpisahan itu pedih dan saya punya hak untuk memproses duka.
Namun, jika dia bertanya, saya akan menjawab dengan kasih sayang, dengan cinta seorang anak pada orang tuanya. Saya selalu ingat perbincangan kami dulu, saat saya masih marah jika ditanya kapan nikah.
Ibu bilang dia makin tua sementara saya tak lagi muda. Dia berpandangan pernikahan adalah upaya seseorang untuk bisa bersama dalam suka dan duka. Pertanyaan kapan nikah bukan lagi intervensi, tapi kini saya memaknainya sebagai kekhawatiran orang tua pada anaknya. Ibu selalu khawatir kelak, di masa depan, Jika dia tak ada, siapa yang akan merawat saya? Pertanyaan itu seperti mencekik leher dan saya tak tahu jawabannya.
Di Lebaran 2022 ini, pelan-pelan saya menjelaskan pada ibu bahwa yang bertanggung jawab atas hidup adalah kita sendiri. Jika saya menikah, bukan tugas istri untuk merawat, kami akan bersepakat tentang beban kerja dan tugas.
Ibu bingung dan lega. Yang penting saya mau menikah, dengan siapa dan kapan, itu tak penting. Saya mungkin naif, atau juga dibayangi kecemasan yang tak perlu. Menjawab pertanyaan kapan nikah tidak sesusah dan serepot yang dibayangkan.
BACA JUGA Generasi Milenial yang Sensitif Terhadap Pertanyaan “Kapan Nikah?” dan kisah menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Yamadipati Seno