MOJOK.CO – Panggung popularitas tampaknya membuat Ustaz Adi Hidayat jadi dianggap ahli segala bidang oleh jemaahnya. Padahal kan ya nggak gitu konsepnya.
Beberapa hari kemarin, di beranda media sosial saya, beredar potongan video yang berisi pernyataan Ustaz Adi Hidayat mengenai doa iftitah, doa yang dibaca setelah takbiratul ihram.
Menurut Ustaz Adi Hidayat, kalimat “inni wajjahtu” tidak digunakan dalam iftitah berdasar ribuan hadis yang dia telusuri. Bahkan hadis palsu sekalipun tidak menghimpun kalimat itu, katanya.
Pernyataan yang cukup berani itu pun memunculkan respons dari kalangan NU. Tak kurang dari K.H. Marzuki Mustamar, Ketua PWNU Jatim, turut berkomentar.
Sebetulnya, diskusi soal doa iftitah ini sudah selesai ratusan tahun lalu. Sampai pada kesimpulan, yang mau pakai versi ini silakan; yang mau pakai versi itu, monggo!
Saya sendiri selain hafal, juga ajarkan beberapa versi pada anak-anak. Tidak hanya bacaan iftitah tapi keseluruhan bacaan salat. Kelak saat mereka sudah dewasa, biar pada pilih bacaan mana yang lebih sahih. Tentu cara saya ini tidak serta merta harus ditiru.
Meski begitu, saya rasa, Ustaz Adi Hidayat memang sering halu. Membaca ribuan kitab hadis itu cukup mustahil. Bahkan ketika masih di fase karantina sekalipun dan aktivitas yang bisa dilakukan cuma baca kitab hadis.
Yang mungkin adalah masuk aplikasi semacam Maktabah Syamilah. Ketik kata kunci, checklist beberapa kitab (bisa saja ribuan), lalu tunggu hasilnya lima menit kemudian. Hanya saja cara itu tidak bisa diklaim sebagai “sudah membaca seribu hadis”. Lah membacanya di mana? Kan yang membaca sistem aplikasinya, bukan kita?
Di samping itu, Ustaz Adi Hidayat dalam sebuah potongan video lain juga pernah mengaku kuliah S1 hanya selama 2,5 tahun. Ini juga halu menurut saya.
Bukan gimana-gimana, Ustaz Adi hidayat itu adalah senior saya di Islamic Call College, Libya. Dia kuliah S1 selama 4 tahun. Normal. Kecuali dia tidak menghitung (discount) libur musim panas, 3 bulan x 4 = 12 bulan (1 tahun). Tapi tetap saja tidak bisa diklaim sebagai, “kuliah S1 saya 2,5 tahun,” kan?
Ke-halu-an yang lain yang agak menganggu adalah soal tips hafal 30 juz selama 1 bulan!
Sebuah kalimat motivasi yang seolah berasal dari pengalaman pribadinya. Padahal sehari hafal satu juz itu nyaris mustahil. Bahkan oleh orang yang hafalannya kuat sekalipun.
Sependek yang saya tahu, bahkan Ustaz Adi Hidayat belum hafal Al-Quran seutuhnya. Dia memang hafal sebagian besarnya, lengkap dengan penomoran ayat. Namun hafal keseluruhan Al-Quran? Tampaknya belum.
Persoalan yang lebih mendasar, jemaahnya tidak sadar bahwa Ustaz Adi Hidayat bukan lah pakar segala ilmu. Dia bukan pakar hadis, fikih, tafsir, atau tasawuf.
Ustaz Adi Hidayat pakar bahasa dan sastra Arab. Mengambil S1 dan S2 dalam bidang tersebut di kampus yang saya sebut tadi. Jenjang S1 selama 4 tahun dan lulus, sedang jenjang S2 baru selesai perkuliahan tatap muka.
Tesisnya di Libya belum sempat selesai karena keburu Arab Spring. Selanjutnya Ustaz Adi Hidayat teruskan di universitas dalam negeri di bidang yang sama. Sebelum jenjang pendidikan tinggi, dia juga seorang santri di pesantren Muhammadiyah yang mendalami bahasa Arab.
Oleh sebab itu, harus diakui dalam bidang bahasa dan sastra Arab, Ustaz Adi Hidayat sangat kompeten. Keahliannya dalam bahasa Arab, baik lisan maupun tulisan begitu top. Inilah yang membuatnya terpilih sebagai salah satu khatib di masjid kampus di Tripoli, Libya. Dia memang cas-cis-cus soal urusan ini.
Meski begitu, seseorang yang ahli bahasa Arab seharusnya tidak serta merta dijadikan sebagai ahli agama. Kadang-kadang kita ini tahunya, kalau orang bisa bahasa Arab pasti tahu segalanya tentang khazanah Islam. Padahal tidak. Masih jauh. Dan ini persoalan umat Islam di Indonesia sebenarnya.
Untuk diketahui, bahkan ahli hadis sekalipun tidak bisa dikatakan sebagai pakar keislaman. Yusuf Qardhawi, seorang ulama kharismatik yang tinggal di Qatar, memiliki analogi yang menarik.
Ahli hadis itu apoteker, sedang ahli fikih adalah dokter. Seorang apoteker tidak dibenarkan memberi obat sembarangan tanpa resep dokter. Sebetulnya waktu itu, Yusuf Qardhawi sedang menyindir Nashirudin Al Albani, ahli hadis kebanggaan Saudi; yang dianggap sering offside.
Jika urusan ahli hadis dan ahli fikih saja bisa begitu berbeda, apalagi yang “cuma” ahli bahasa Arab? Bahasa hanyalah ilmu alat. Ahli bahasa hanyalah ahli mengoperasikan alat.
Kalau dighatuk-ghatukkan dengan analogi Qardhawi tadi; ya ahli bahasa Arab itu seperti “perawat” lah ya.
Jadi, meski bisa saja kita minta saran pengobatan secara umum ke perawat, namun kalau untuk urusan-urusan penyakit spesifik kita juga masih minta ke perawat… ya tentu itu bisa jadi masalah.
Dari analogi itu, pendapat Ustaz Adi Hidayat dalam bidang-bidang selain bahasa Arab, bisa dikatakan kurang kredibel. Meski harus digarisbawahi juga, bahwa tidak serta merta semua yang diajarkan Ustaz Adi Hidayat salah seutuhnya.
Mengenai hal-hal yang kurang kredibel itu, pernah pada suatu waktu Ustaz Adi Hidayat menukil pendapat Mbahyai Hasyim Asy’ari soal kelompok ahli bid’ah. Disebutnya bahwa Syiah Rafidhah adalah satu di antaranya. Tentu ini cherry-picking. Ambil sesuai selera saja.
Sebab ada kelompok-kelompok lain yang disebut Mbahyai Hasyim yang tidak dia sebut. Ustaz Adi Hidayat malah loncat sana-sini dan melewatkan poin-poin krusial. Sialnya, kelompok-kelompok yang tidak disebut itu, ternyata beririsan dengan jemaah pengajiannya. Weladalah!
Di lain waktu saya mendengarkan langsung ceramahnya soal Hermeneutik. Tentu bolong sana-sini wong dia bukan ahli tafsir. Dan yang paling menggemaskan tentu adalah pernyataan, “Saya antar Bapak ke Surga,” ke salah satu politisi besar tanah air. Huvt, ada-ada saja.
Hal-hal semacam ini sebenarnya bisa dipahami. Panggung popularitas yang diperoleh Ustaz Adi Hidayat memang malah memaksanya harus jadi ahli di segala bidang di mata jemaahnya. Semua pertanyaan (bahkan yang tidak ditanyakan pun) selalu berusaha dijawab semua olehnya. Dari hadis, tafsir, politik praktis, sampai urusan efikasi vaksin. Tumbu ketemu tutup.
Sama seperti perawat yang juga melakukan tindakan pengobatan, operasi bedah, mengobati penyakit dalam. Secara umum sih bisa. Seorang perawat juga paham soal dunia kesehatan dan pengobatan, tapi kan ya nggak “palu gada” begitu konsepnya.
Tentu saja gejala semacam ini tidak hanya terjadi pada Ustaz Adi Hidayat semata. Penceramah-penceramah lain sebetulnya juga kerap “menikmati” label ahli di segala bidang. Sebuah hal yang sebenarnya cukup berbahaya. Tidak hanya bagi jemaahnya, tapi juga untuk Ustaz Adi Hidayat sendiri.
BACA JUGA Adi Hidayat akan Polisikan Siapa Saja yang Memfitnah Dirinya dan tulisan Miftakhur Risal lainnya.