MOJOK.CO – Trans Jogja itu ide bagus untuk transportasi publik, hanya saja kok kuno ya pendekatannya. Dipikir mahasiswa cuma butuh ke kampus aja apa ya?
Selain bertugas mengantar pengguna jasa sampai ke tujuan dengan selamat, fungsi utama transportasi publik adalah mengurai kemacetan.
Wajah sebuah kota, terlihat dari transportasi publik yang memutari tiap arteri dan nadi jalanan sebuah kota. Kota apa saja; baik kota administrasi, kota bisnis, atau pun daerah istimewa yang sebenarnya biasa-biasa saja.
Namun, jika transportasi publik tidak mengurai kemacetan dan justru menambah semarak kemacetan, pertanyaannya; lantas untuk apa kehadirannya?
Demi menjawab pertanyaan ini, Anda perlu sesekali menengok isi penumpang Trans Jogja yang sedang lewat di jalanan Jogja. Tak jarang di dalamnya hanya ada penumpang lima atau tujuh (kapan hari, saya bahkan pernah lihat hanya hanya ada satu-dua penumpang), syukur-syukur kalau ada belasan penumpang.
Pertengahan 2021 kemarin, bahkan Dinas Perhubungan DIY pun mengakui harus menurunkan jumlah armada sampai ke angka 30 persen. Memang sih, ini ada hubungannya sama pandemi. Tapi 30 persen itu banyak lho, Lur. Terutama kalau makin sepinya penumpang ini tidak disikapi dengan kreatif. Lama-lama kukut tanpa solusi nanti.
Lah emang sisanya pada ke mana, kok warga Jogja nggak pada naik Trans Jogja? Naik ojek online dong. Transportasi umum juga kok, cuma lebih praktis dan lebih realistis menembus titik-titik Jogja yang tak dilewati Trans Jogja.
Di Jakarta, bus trans beginian memang didesain untuk memindahkan manusia dari satu titik ke titik lain tanpa kendaraan pribadi. Mereka, memiliki JPO Terintegrasi Halte Terpadu CSW TransJakarta – MRT Jakarta lima lantai di daerah ASEAN. MRT di bawah, TransJakarta akan berada di lantai tiga. Tujuannya bukan hanya gagah-gagahan saja, Jakarta memang sudah terdesak untuk memaksa warganya pakai transportasi publik.
Pertanyaannya, gimana dengan Jogja? Miliaran habis untuk membangun pagar Alun-Alun Utara yang kata kritikus nggak berguna itu, padahal kan… sek, dilit, eh, apa ya gunanya?
Pemerintah Jogja, harus diakui, memang masih berusaha terlihat kreatif perihal kebijakan publik. Lihat saja setiap tahun, banyak inovasi perihal transportasi. Mulai dari adanya bus wisata di area sekitar tempat wisata Tugu – Malioboro sampai revitalisasi Tugu. Ha kok yang digagas tempat-tempat wisata terus ya?
Coba bandingkan dengan Jakarta, yang jika membangun halte terpadu agar orang-orangnya beneran terfasilitasi kalau mau pakai. Dari sana, budaya naik transportasi publik jadinya relevan, ketimbang kena macet di jalan; mending naik KRL atau TransJakarta.
Hal kayak gini bikin Pemkot Jakarta (atau Pemda DKI) tak perlu menghabiskan dana untuk kampanye mewartakan kepada masyarakatnya betapa penting menggunakan transportasi publik. Beda dengan Jogja yang sampai perlu bikin shalter portable yang kalau hujan kehujanan, kalau panas kepanasan, dan terlihat selalu kesepian di pinggir jalan.
Belum lagi soal suka ngaretnya Trans Jogja dari jadwal. Maklum sih, karena alih-alih jadi solusi transportasi, Trans Jogja malah ikut-ikutan kejebak macet. Tapi nggak apa-apa, rakyat Jogja masih mencintai dan selalu nrimo kebijakan seperti itu kok.
Kalau bilang jangan bandingkan dengan Jakarta karena di sana pusat administrasi dan laju ekonomi, ya itu tidak sepenuhnya salah juga sih. Meski begitu, kita harus paham, Jogja itu kota wisata, kota yang mengusung kata-kata sakti macam romantis dan istimewa.
Makanya, ketimbang untuk warga Jogja, Trans Jogja seharusnya didesain betul untuk lebih memanjakan wisatawan dan mahasiswa yang tinggal di Jogja. Problemnya, nggak ada wisatawan atau mahasiswa rantau yang semakin dimanjakan untuk naik transportasi publik begitu.
Padahal, bukannya sudah jelas ya, kalau salah satu penyumbang kemacetan Jogja itu ya karena kedatangan para wisatawan dan populasi mahasiswa rantau yang selalu menambah tiap tahun jumlahnya itu?
Dilansir dari Jurnal Manajemen Transportasi & Logistik Vol. 7 No. 1, jumlah halte tertinggi terdapat di kawasan permukiman dan tempat kegiatan dengan persentase 46 persen, diikuti kawasan pendidikan (25,5 persen), pemerintahan (13,4 persen), kesehatan (7,9 persen), perdagangan (3,3 persen), pariwisata (2,9 persen), dan kawasan terbangun (0,8 persen).
Kita bisa lihat bahwa Jogja memang selalu jor-joran untuk membangun wisata mereka seperti revitalisasi Tugu yang menggunakan Dana Istimewa sebanyak 9,5 miliar. Semata-mata agar makin banyak orang luar datang ke Jogja, namun hanya ada 2,9 persen saja halte untuk mereka.
Apakah itu salah? Ya jelas nggak.
Wisatawan nggak mengagendakan waktu plesir mereka di dalam bus yang pakai parfum Stella Jeruk itu. Mereka rata-rata datang ke Jogja pakai mobil rental atau mobil sendiri. Kalaupun ada yang pakai bus, mereka datang dengan bus-bus segede gaban dari daerahnya, padahal jalanan di Jogja masih kecil-kecil dan mepet-mepet.
Mahasiswa rantau juga begitu. Nggak masuk di logika kalau mereka pakai Trans Jogja untuk ke mana-mana. Soalnya kegiatan mahasiswa itu bukan cuma ke kampus saja. Kadang perlu ke kafe, kadang perlu ngopi, kadang sering ke tempat-tempat diskusi, atau kadang cuma kepengin jalan nggak jelas karena mau yangyangan.
Ngapain naik bus beginian? Kalau diharuskan naik transportasi umum, ya mending pakai ojol lah.
Sudah begitu, rute Trans Jogja juga tidak ramah untuk orang yang baru ke Jogja. Tak sedikit rute yang ada agak muter-muter (jadi membingungkan). Niatnya sih bagus, untuk mencapai titik-titik strategis tertentu. Masalahnya, jalur-jalur yang dilewati kadang jalur kemacetan lagi. Artinya, penumpang bukannya lebih cepat sampai, tapi malah lebih lama. Ya pantes kalau besok-besok mereka jadi pindah moda transportasi.
Padahal, Trans Jogja ini bisa menjadi banyak solusi permasalahan di Jogja. Misalnya soal fenomena klitih. Belakangan ini, ada banyak warga Jogja yang takut pulang malam. Gimana kalau operasional Trans Jogja itu justru di waktu-waktu rawan klitih dan melewati pusat tongkrongan anak-anak muda Jogja yang biasanya nyempil di jalan-jalan kecil menuju ke area kos-kosan, misalnya?
Makanya, barangkali desain kendaraannya jangan bus yang lumayan besar begitu. Itu tidak begitu cocok kalau mau masuk ke gang-gang tongkrongan ramai mahasiswa kayak jalanan di Selokan Mataram, Condong Catur, atau jalan belakang ISI di Sewon.
Mungkin bisa kali ya bentuk kendaraannya kayak shuttle bus aja, jadi selain secara operasional juga lebih irit, kendaraan kayak gini bisa menembus ke pusat pemukiman kos-kosan dan jalur-jalur tongkrongan.
Meski begitu, terlepas dari segala permasalahannya, ide keberadaan Trans Jogja sih pada dasarnya memang harus diapresiasi. Mereka tetap terus memutari kota ini walau di dalamnya hanya berisi beberapa gelintir penumpang. Hanya saja, Pemda atau Dishub DIY agaknya juga perlu membaca kebutuhan masyarakat Jogja soal transportasi publik itu apa?
Kalau sudah jalan bertahun-tahun dan tidak membuahkan hasil, suatu kebijakan tak ada salahnya direvisi dan diganti dengan yang lebih mashoook sama kondisi genealogi masyarakat Jogja. Jenis masyarakat yang lebih banyak anak muda suka nongkrongnya ketimbang orang tua mau berangkat kerjanya.
Bukan cuma sekadar niru apa yang ada di Jakarta dengan TransJakarta-nya supaya kalau wisatawan pulang ke daerah asalnya, wisatawan diharapkan bercerita bahwa ada sebuah moda transportasi publik di Jogja yang terus mengitari kota—meski jumlah penumpangnya tak sebagus penampilan bus-busnya.
Kalau begitu cara mikirnya, kenapa bus Trans Jogja nggak dimasukin ke etalase museum aja sekalian? Setidaknya, kalau mau jadi etalase, ya jangan ikut berkontribusi sama kemacetan kota lah.
BACA JUGA Jangan Tanya Rekomendasi Wisata Jogja ke Teman yang Tinggal di Jogja atau tulisan soal JOGJA lainnya.
Penulis: Gusti Aditya
Editor: Ahmad Khadafi