MOJOK.CO – Apa jadinya jika bertanya ke beberapa makhluk halus tentang harapan pemimpin atau presiden yang ideal untuk Pilpres 2019? Kurang kerjaan sekali yak?
Wenny : Mbak Titis dulu punya kembaran yang sudah meninggal?
Saya : Loh, kok tahu?
Wenny : Iya, itu sekarang di samping Mbak Titis.
Uanjirrr.
Itulah awal mula saya kemudian percaya dengan Wenny, sahabat saya, sebagai seorang gadis indigo. Sebab saya hampir tak pernah menceritakan kepada siapa pun bahwa saya dulu memiliki saudara kembar, apalagi cerita ke Wenny.
Pada umumnya indigo dimaknai sebagai orang yang mampu melihat hantu atau banyak jenis makhluk halus lainnya. Dalam kasus teman saya Wenny, nyatanya indigo tak melulu cuma sebatas itu.
Indigo, kata Wenny, memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Dua orang indigo belum tentu sama kemampuan batinnya, ada yang bisa melihat masa jauh yang telah lalu seperti tahun-tahun penuh perang dan penjajahan (barangkali lebih seru dari efek 3D nonton bioskop), ada yang melihat tapi tak mampu berkomunikasi dengan makhluk halus, dan sebagainya. Namun konon jarang yang paket komplit alias menguasai semuanya.
“Mbak Titis juga ada potensi indigo,” tambahnya.
“Yoi, Wen, kalau ada duit intiuisiku memang makin tajam,” saya menimpali (jambak saya, Wen, jambaaak!).
Dan kini, atas kebiasaan saya merenung sambil BAB, atau BAB sambil merenung, sebuah gagasan yang mengganjal kiranya perlu saya sampaikan pada khalayak ramai. Bahwa Indonesia terdiri tak hanya berbagai jenis suku bangsa, ras, dan agama melainkan jenis-jenis makhluknya, dalam hal ini adalah mereka yang tak kasatmata.
“Ada makhluk halus yang juga menghuni Indonesia,” pikir saya. “Artinya mereka juga punya hak bersuara dan didengarkan. Hendaknya pemimpin yang adil adalah yang memperhatikan pula suara mereka.”
Pemimpin yang adil ya dalam waktu dekat ini ya presiden yang bakal dipilih rakyat saat Pilpres 2019 kali ini. Berikut juga caleg-calegnya yang bakal mengisi gedung parlemen. Percakapan itu awalnya ya ide konyol saja. Semacam diskusi karena pikiran saya cukup selo saja bersama Wenny di sebuah musala.
Di luar dugaan, Wenny malah antusias sama ide kurang kerjaan itu lalu sepakat menghadirkan beberapa hantu aka makhluk halus yang cukup kooperatif, sama selonya dengan kami, dan—untungnya—tidak agresif.
Harapannya ya biar kami bisa ngobrol soal pemimpin ideal atau kriteria presiden menurut mereka. Mumpung lagi musim Pilpres ya kan? Lagian, kalau agama boleh dipolitisasi, masa alam gaib nggak boleh sih?
Nah, ini dua di antara mereka yang berhasil mau bicara ke Wenny—sahabat saya.
Pertama, namanya Saras. Katanya sih meninggal saat berusia 27 tahun dalam sebuah kecelakaan. Berambut hitam panjang.
“Kadang suka pakai nama palsu, Mbak,” jelas Wenny.
“Oh, iya tak apa. Sementara kita panggil Saras.”
Hm, Saras 007 yang udah lama koit episodenya di layar kaca Indosiar itu kah?
Ya bukan lah, Setaaan~
Melalui ucapan yang bukan ucapan fisik dalam dunia kasat mata, kami mulai menanyai Saras tentang sosok pemimpin ideal menurut Saras. Bagi Saras, pemimpin bijak ialah seperti Presiden Soekarno. Yaelah, udah jadi hantu aja nggak move on juga ternyata. Ingat masa lalu mulu.
“Saat ini negara simpang siur. Pecah belah karena perbedaan pendapat. Bukan tidak suka dengan pemerintahan sekarang, hanya lebih setuju dengan Bung Karno, sebab kakeknya seorang veteran,” jelas Saras melalui Wenny.
“Apa Saras memiliki harapan yang ingin disampaikan? Kalau beruntung, barangkali, ada pemimpin yang mendengar suara Saras.”
Ya semoga Saras tahu kalau itu arti pemimpin itu ya Presiden beserta jajarannya di zaman sekarang.
“Harapannya, presiden juga memperhatikan tentang sejarah, sebab kakeknya sakit-sakitanan dan bahkan hingga wafat tak dikenal orang. Padahal dulu turut berjuang untuk negara, sebagaimana banyak veteran lainnya.”
Di tengah percakapan, Wenny nampak hampir menangis bersamaan dengan saya yang tiba-tiba merasa pening (sejenis pening yang tidak bakal reda diminumi paracetamol). Reaksi pada badan dan perasaan terhadap energi gaib memang wajar terjadi jika berinteraksi dengan “mereka”.
“Pening, euy, karena kecelakaannya di kepala ya?” saya berceletuk.
Diceritakan, kakek Saras tidak pernah sempat bersekolah namun merasa bangsa ini milik kakeknya, meski ia sekeluarga bukan orang kaya tapi ikut berperan mempertahankan negara. Misal hanya mampu makan sekali sehari sudah merasa cukup.
Jika digambarkan, sang kakek berpakaian putih kusam, yang kalau sobek tetap dipakai (misal tersobek karena senjata).
“Kakeknya pernah bilang Presiden Bung Karno tidak mati, tetap memantau negara ini,” lanjut Wenny.
“Dulu kakek ikut berjuang di daerah mana?”
“Ambarawa, Semarang, dan beberapa daerah rantauan lainnya,” Wenny menerangkan yang saya lanjuti dengan ucapan terima kasih pada Saras dan kakeknya atas informasi yang diberikan.
Lalu kami beranjak ke perwakilan berikutnya. Kedua, namanya Liana Swifft, pengakuannya sih meninggal di usia 8 tahun, keturunan Belanda.
“Pakai dres putih dan sepatu hitam kah, Wen?” tanya saya sebelum Wenny memberi gambaran mengenai Liana.
Wenny mengembangkan senyum yang dapat diartikan: udah-tahu-pakai-nanya.
Saya balas senyum juga yang maknanya: biar-nambah-efek-dramatis.
Wenny sudah mengenal Liana sejak kecil, persisnya saat Wenny mengunjungi rumah eyangnya di Jogja. Liana tidak memberikan kesan begitu seram meski pucat. Selebihnya, laiknya bocah 8 tahun berwajah bulat (kecuali sedikit noda darah di beberapa bagian pakaian).
Melalui Wenny, pertama-tama Liana mengutarakan kekaguman atas keuletan bangsa Indonesia serta keragaman budayanya. Ibu Liana seorang pribumi, sedang ayahnya Netherland. Lebih senang tinggal di sini karena orangnya ramah. Yang ia sayangkan, jaman sekarang orang pribumi lebih suka budaya asing daripada budaya sendiri.
“Eike bukan pribumi, eike inlander,” batin saya (tampol saya, Wen, tampool!).
“Sumber daya yang di sini dikelola sendiri untuk rakyat sendiri karena negara ini (indonesia) kaya,” tambah Liana menggunakan Bahasa Indonesia yang terkesan kaku, juga sedikit kurang rapi susunan katanya meski saya pahami maksudnya.
“Liana pernah tinggal di mana saja?”
“Beberapa negara. Sumber dayanya tidak sebanyak ini tapi mereka bisa mengelola,” Liana menjawab sambil beberapi kali mengucapkan: saya cinta Indonesia.
Liana menambahkan, orang pribumi banyak yang kurang kreatif. Sebenarnya cerdas tapi banyak yang kurang jujur. Sumber daya banyak yang malah sampai dijual ke negerinya.
“Liana pernah tinggal di mana saja?” saya bertanya sebelum mengucapkan terima kasih.
“Inggris, Belanda, dan Perancis.” Liana pamit bersamaan dengan badan saya yang mulai merinding. Termasuk ketika saya menulis ini.
Kamu sendiri gimana? Yakin nggak mau nengok belakang?