MOJOK.CO – Kopenhagen Denmark adalah kota paling bahagia di dunia. Namun, di jantung kota itu, terdapat anarkisme yang indah, liar, bebas, dan apa adanya.
Tahun 2022, saya dan istri mendapat undangan pernikahan dari seorang kawan lama yang tinggal di Lund, sebuah kota kecil yang tenang di sisi selatan Swedia. Tak jauh dari sana, berdiri Malmö, sebuah kota pelabuhan yang juga rumah dari Zlatan Ibrahimovic. Itu, pemain bola yang memiliki tiga hal besar: ukuran badan, omongan, dan bakat bermain bola. Menyeberang sedikit ke barat, ada Kopenhagen Denmark, jantung kota yang ramai dan memesona.
Tiga kota ini berdiri berdampingan, seperti saudara yang tumbuh bersama. Mereka punya karakter berbeda, namun saling melengkapi. Jaringan transportasi umum yang rapi dan efektif mengikat mereka erat, membuat perjalanan dari satu kota ke kota lain semudah membolak-balik halaman buku.
Kami tiba di bandara Kopenhagen Denmark pada Sabtu pagi, dan berencana menghabiskan waktu di kota ini hingga sore. Setelah itu, malam harinya, kami akan bergeser ke Malmö untuk menginap dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Lund hari berikutnya.
Dari bandara, kami naik kereta komuter menuju pusat kota. Sebelum menjelajah, kami menitipkan koper di loker Stasiun Sentral Kopenhagen Denmark. Kala itu musim semi sedang giat-giatnya bekerja. Matahari bersinar cerah namun angin dingin masih sesekali menyapa dengan bandelnya.
Kopenhagen Denmark, kotanya pengendara sepeda
Begitu melangkah keluar dari Stasiun Kopenhagen, pemandangan pertama yang menyambut adalah ratusan, atau bisa jadi ribuan, sepeda. Sepeda-sepeda itu berjajar rapi di tempat parkir.
Parkiran stasiun seperti hendak menyambut kami. Selamat datang di Kopenhagen Denmark, di sini, sepeda adalah raja jalanan yang sesungguhnya. Melihat lautan sepeda di parkiran stasiun, akhirnya muncul sebuah ide, kayaknya bakal seru kalau keliling kota ini dengan bersepeda.
Tak butuh waktu lama, jempol kami mulai sibuk menelusuri internet, mencari tempat penyewaan sepeda di Kopenhagen. Pilihannya banyak, nyaris terlalu banyak.
Ada yang menawarkan sepeda klasik dengan keranjang depan, sepeda gunung terbaru, sepeda dengan kargo besar di bagian depan, hingga rental sepeda yang menawarkan tur berpemandu. Tapi kami sadar, waktu kami di Kopenhagen terbatas, cuma satu hari. Kami tidak ingin mengurus pengembalian sepeda yang sepertinya bakalan merepotkan.
Maka kami memilih yang paling praktis, cepat, dan instan: Donkey Republic. Penyedia layanan rental sepeda melalui aplikasi, hitungan sewanya per jam. Yang paling penting, bisa diparkir di mana saja selama masih dalam area yang diizinkan.
Memang lebih mahal memang dibanding rental konvensional. Tapi, kebebasan dan fleksibilitasnya terasa setimpal. Kami tak perlu memikirkan rute pulang ke tempat penyewaan, atau buru-buru mengembalikan sepeda jika jam sewa sudah hampir berakhir.
Sepeda sudah di tangan, kota siap dijelajahi. Kami mulai mengayuh, menyusuri jalur sepeda yang lebar dan tertata rapi. Tapi baru beberapa meter melaju, kami sadar bahwa pengendara sepeda di Kopenhagen tidak seramah brosur wisata. Mereka cepat, sigap, dan nyaris tanpa ampun.
Saya yang terbiasa beradu salip dengan motor dan mobil di jalanan Jogja bisa cukup adaptif. Tapi istri saya mulai tertinggal, kewalahan mengikuti ritme lalu lintas sepeda yang lumayan cepat.
Maka, saya mengambil peran sebagai pemandu wisata yang buta arah. Kami bukan lagi dua turis, tapi lebih mirip dua pesepeda amatir yang mencoba menyesuaikan diri di tengah balapan Tour de France.
Ziarah ke Makam Hans Christian Andersen dan Søren Kierkegaard
Pemberhentian pertama kami adalah kuburan, tempat di mana dongeng dan filsafat beristirahat berdampingan di Kopenhagen. Karena di Assistens Cemetery, kami berniat menziarahi dua nama besar. Pertama, Hans Christian Andersen, yang menulis dunia dengan penuh warna. Kedua, Søren Kierkegaard, yang memandang dunia dari sisi gelapnya.
Tidak sulit mencari makam Hans. Namanya sudah melegenda di dunia, sehingga petunjuk ke makamnya bisa dengan mudah ditemui. Sebuah batu nisan berukuran besar menjulang sekitar dua meter dengan semak-semak hijau dipangkas rapi yang mengapitnya, seakan menjaga sang maestro dalam tidur panjangnya.
Berbeda dengan Hans, makam Søren justru terletak di sebuah kompleks keluarga yang lebih sederhana dan teduh. Dua gerumbul pohon tua mengapitnya.
Tidak ada kemegahan di sana. Hanya batu nisan biasa dengan ukiran nama yang mulai pudar dimakan waktu. Nama Søren terselip di antara nama-nama anggota keluarga Kierkegaard lainnya.
Setelah itu, kami berjalan menyusuri Kastellet, benteng berbentuk bintang yang seperti dibangun berdasarkan cerita dongeng ala Kopenhagen. Kemudian Nyhavn, perkampungan nelayan yang sesak oleh pelancong dan dianggap sebagai ikon kota Kopenhagen.
Hingga akhirnya kami tiba di patung putri duyung yang terkenal itu. Ia kecil, sendirian, dan tampak sudah terlalu lelah menghadapi turis di Kopenhagen. Setelah mengambil beberapa foto, akhirnya kami menuju ke hidangan utama, Christiania.
Menjelajah Christiania
Christiania adalah sebuah tempat yang terdengar seperti fiksi, tapi justru berdiri nyata di jantung Kopenhagen. Kawasan ini lahir pada 1971, ketika sekelompok hippies, seniman, dan penganut kehidupan bebas menyerobot sebuah pangkalan militer yang ditinggalkan.
Orang-orang yang menolak tunduk pada sistem ini lalu memproklamirkan wilayah itu sebagai zona otonom. Sebuah wilayah yang tidak tunduk pada negara, hukum, atau otoritas resmi.
Mereka tidak meminta izin pemerintah Kopenhagen Denmark. Mereka hanya masuk, tinggal, dan menetap berdasarkan keyakinan bahwa aturan dan hukum hanyalah coretan di atas kertas belaka. Saya sendiri menganggap jika Denmark hari ini adalah hasil perundingan panjang antara sosialisme dan kapitalisme, maka Christiania seperti catatan kaki yang ditulis oleh para hippies ketika mereka sedang teler olah ganja.
Ajaibnya, Christiania masih bertahan sampai sekarang. Sekitar 1.000 orang (tentu saja ini hanya perkiraan karena jumlah pastinya tidak diketahui) menetap di sana. Beberapa di antaranya sudah merupakan generasi ketiga. Di gerbang masuk, tergantung sebuah papan kayu bertuliskan anekdot yang sepertinya ditulis untuk mengejek otoritas: “Anda sekarang meninggalkan Uni Eropa.”
Masuk ke negeri imajinasi
Masuk ke Christiania seperti melangkah ke Narnia. Tapi yang kau temui bukan singa ajaib dan centaur, melainkan para pemabuk bahagia, musisi jalanan, dan seniman yang hidup damai di semesta mereka sendiri.
Sebuah papan peringatan menyambut: “Anda sekarang memasuki Green Light District.” Meskipun area ini merupakan zona bebas, tetap ada aturan main yang harus dipatuhi. Di antaranya, dilarang mengambil foto, dilarang berlari karena bisa memicu kepanikan, dan peringatan tentang ganja yang sejatinya masih tetap ilegal.
Tapi peduli setan dengan aturan dari Kopenhagen. Bagi kaum anarko, hukum negara hanyalah tulisan di atas kertas belaka. Terbukti dari kepulan asap berbau harum di beberapa sudut ketika kami berjalan melewatinya. Asap itu keluar dari gulungan kertas linting hingga pipa-pipa yang terbuat dari kayu, kaca, atau plastik.
Mereka duduk di bangku taman, selonjoran di rerumputan, atau berdiri menyandar di pepohonan. Wajah-wajah mereka tenang, seperti sekelompok bayi dewasa yang tidak harus memikirkan cicilan rumah atau omelan bos di kantor.
Sesekali, lintingan atau pipa-pipa itu berpindah tangan. Pemandangan yang terlihat seperti estafet obor olimpiade yang dilakukan oleh atlet-atlet lunglai.
Sedikit bentuk perlawanan di jantung Kopenhagen Denmark
Dalam konteks anarkisme, mabuk bukan sekadar soal konsumsi zat memabukkan. Ia bentuk perlawanan terhadap sistem yang mengatur cara seseorang menikmati hidup.
Negara dan kapitalisme kerap dianggap mencampuri hak individu. Misalnya dengan menentukan legalitas zat atau menjadikan kesenangan sebagai komoditas. Karena itu, memilih mabuk di luar kerangka legal dan komersial adalah tindakan pembangkangan. Lagipula, hukum formal kadang bisa busuk dan keharuman dari sudut taman itu setidaknya bisa sedikit menutupi baunya.
Polisi Kopenhagen juga masih sering mondar mandir berpatroli di daerah ini. Kadang mereka membekuk satu atau dua pedagang ganja yang sial.
Tapi, jika kebetulan tidak ada polisi mondar-mandir, tawaran untuk membeli ganja bakal melayang bebas begitu saja di udara. Lewat teriakan dan ajakan layaknya para pedagang di Pasar Tanah Abang.
Tawaran yang menarik sebetulnya. Tapi, ketika ingat bahwa membeli ganja masih ilegal menurut hukum Kopenhagen dan Denmark, maka tawaran itu segera kami tolak. Dideportasi karena urusan teler rasanya bukan jenis kenangan yang ingin kami ceritakan kepada keluarga.
Akhirnya satu-satunya hal yang legal dan bisa kami nikmati adalah shawarma. Bersama puluhan orang lain yang tampaknya kelaparan setelah sadar dari teler, kami menikmati shawarma isi daging ayam yang rasanya biasa saja.
Angin sejuk musim semi sesekali menyapa dan membuat kami yang kenyang jadi sedikit mengantuk. Akhirnya kami memutuskan untuk pulang dan berjalan santai ke arah parkiran sepeda.
Di sepanjang jalan pulang, kami melihat bahwa beberapa sudut Christiania tampak begitu memesona. Para penghuninya, dengan semangat seni yang bebas, menghias kampung mereka dengan grafiti dan instalasi yang tampaknya dibangun dari barang-barang bekas. Para musisi jalanan memainkan berbagai alat musik dari berbagai penjuru dunia.
Kebahagiaan di luar arus utama
Christiania bukan tempat yang mencoba tampil sempurna. Ia berantakan, nyentrik, dan sangat kontras dengan citra Kopenhagen Denmark yang bersih dan estetik. Ia seperti pemuda punk penuh tato dengan jaket kulit dan rambut mohawk yang sedang duduk di sebuah ruangan penuh orang berdandan rapi dengan setelan jas rapi.
Tapi justru di situlah letak pesonanya. Christiana adalah sebuah komunitas kecil yang terus menguji satu pertanyaan mendasar. Mungkinkah kebebasan dan ketertiban hidup berdampingan, tanpa perlu campur tangan negara?
Jika Kopenhagen disebut sebagai kota paling bahagia di dunia oleh The Institute for Quality of Life, mungkin Christiania adalah bagian paling jujur dari kebahagiaan yang liar, bebas, dan apa adanya.
Penulis: Armandoe Gary Ghaffuri
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Tinggal di Eropa Tidak Seindah Bayangan Orang Indonesia dan pengalaman menarik lainnya di rubrik ESAI.
