MOJOK.CO – Kehadiran Komeng di panggung jelas menyentak dunia politik yang penuh kepura-puraan akting dalam panggung demokrasi ini. Dia adalah olok-olok paling menohok.
Setiap penyelenggaraan pemilu pasti selalu menghadirkan ingar bingar cerita. Terlebih pemilu di era digital hari ini, hampir setiap hari selalu ada saja kegemparan yang didengungkan netizen.
Yang biasanya gaduh di medsos setelah coblosan selesai adalah berita tentang perselisihan partisan, kelakuan politisi yang terungkap kebusukannya, petugas KPPS yang menjadi korban, atau gosip-gosip kecurangan pemilu. Kabar-kabar tersebut selalu melahirkan polarisasi (pertikaian) 2 kubu, yakni yang jagoannya menang dan yang jagoannya kalah.
Akan tetapi, selepas coblosan Pemilu 2024, ada berita gempar yang isinya seakan mendamaikan kedua kutub pendukung. Apalagi kalau bukan berita heboh tentang Komeng. Berita tentang Komeng yang saat ini masih unggul di penghitungan suara kandidat senator DPD RI di dapilnya Jawa Barat ini bahkan sempat menjadi trending di X/Twitter.
Komeng adalah legenda
Kehadiran Komeng di arena politik pemilu tahun ini benar-benar mempersatukan netizen. Hampir seluruh netizen di medsos merespons Komeng secara positif (lucu). Jarang sekali saya menemukan komentar jelek tentang fenomena Komeng dalam ajang ini.
Netizen, yang sejak menjelang pemilu sudah sangat panas bertarung membela jagoannya, tiba-tiba seperti mendapatkan hiburan menyegarkan. Baik netizen yang tercabik-cabik emosinya karena jagoannya kalah, maupun netizen yang pongah karena jagoannya unggul, sekolah langsung kendor, rileks, terhibur merespon info tentang komedian itu.
Beliau adalah penghibur sejati. Saya kira hampir tiada satu saja pembaca Mojok yang tidak tahu sepak terjang Komeng dalam mengocok perut masyarakat Indonesia. Hampir setiap generasi pemilih dari yang boomer sampai ke gen Z, tampaknya sepakat untuk menyematkan mahkota pada King Komeng dalam urusan hiburan.
Kok bisa menang?
Komeng hampir tidak pernah kampanye. Lihat saja di akun Instagram-nya @komeng.original, alih-alih kampanye menggunakan medsosnya, Komeng malah sibuk posting iklan e-commerce. Tak ada postingan yang mengampanyekan dirinya sendiri. Perilakunya tetap seperti yang kita tahu selama ini, unpredictable.
Apa yang dilakukan Komeng dalam Pemilu ini sangatlah Komeng, yakni sangat spontan. Melalui kemunculan tidak terduga sama sekali dan dengan sangat spontan, tiba-tiba beliau muncul di kertas suara, dan menang!
Strategi seperti ini diulas oleh Dimas Waraditya Nugraha (2024), melalui sudut pandang marketing. Dijelaskan bahwa unsur unpredictability dalam strategi pencitraan produk, yang memang sudah mempunyai modal sosial berupa popularitas sosok terkenal jika dibandingkan dengan saingannya di dapilnya, membuat pemilih dengan mudah “terkejut” dengan hadirnya tokoh yang telah familiar.
Meskipun, strategi menggunakan efek spontanitas seperti ini berisiko tinggi untuk menjadi bumerang jika tidak menerapkannya secara baik, di momen yang tepat. Tapi, di Indonesia, ini kita sama-sama tahu siapakah “Raja Spontanitas”, dialah Yang Mulia Komeng.
Bagi orang lain, menjadi unpredicted dan spontan barangkali memang berisiko gagal. Namun bagi dia, kejutan dan spontan adalah makanan sehari-harinya.
Tengok saja kelakuannya di pemilu ini. Saat calon lain berusaha keras menampilkan foto diri yang formal dan serupawan mungkin di kertas suara, Komeng menampilkan foto miring dan melongo. Saat calon lain berlomba-lomba menuliskan rentetan gelar dalam namanya di kertas suara, mulai dari gelar akademis, gelar haji, gelar ningrat, dia justru menuliskan nama aliasnya Alfiansyah Komeng, alih-alih nama resminya Alfiansyah Bustami.
Rakyat terkejut
Kelakuan Komeng memang sangat identik dengan hal-hal di luar dugaan. Ada pengalaman pribadi saat saya dahulu masih berkecimpung di Radio Geronimo. Pada suatu interview on air dengan Komeng, tiba-tiba dia nyeletuk, “Ini tombol apaan? Kalau dipencet mati nggak?”
Tahukah Anda semua, yang dipencet Komeng saat itu adalah steker pemancar Geronimo. Sontak siarannya terputus, radionya mati. Begitulah ulah Komeng. Tabiatnya memang lekat dengan nge-prank, surprise, iseng, usil, jahil. Tapi kali ini, yang di-prank adalah seluruh masyarakat di tengah pesta demokrasi ini.
Panggung pemilu = panggung komedi
Politik sering diibaratkan sebagai panggung, tempat para politikus berakting dan memerankan adegan kekuasaan. Setidaknya hingga beberapa hari setelah coblosan ini, para aktor telah memainkan peran dengan piawai untuk mengaduk-aduk emosi penonton. Panggung pemilu 2024 ini paling tepat jika digambarkan sebagai genre pentas komedi.
Secara kasat mata, jelas kentara panggung pemilu kali ini banyak melibatkan kelucuan dan komedian dalam penampilannya. Jika Anda sepakat dengan saya bahwa adegan MK meloloskan Gibran sebagai cawapres merupakan dagelan politik, maka ketidaknetralan aparat dan keberpihakan Jokowi dapat pula dikategorikan sebagai humor pembuka.
Selanjutnya kita juga tahu bagaimana unsur kelucuan yang ditampilkan dalam strategi joget gemoy capres 02 sebagai adegan utama pentas berhasil menghibur sekaligus memikat penonton untuk memilihnya. Selain itu, jika kita amati, pemilu kali ini juga melibatkan banyak sekali komedian, terutama komika, sebagai buzzer capres.
Lacak di medsos, Anda akan dengan mudah menemukan bagaimana tayangan roasting komika, stand up comedi, hingga konten-konten lawak menghiasi kampanye. Perhatikan pula dalam kampanye roadshow capres 01 dalam bentuk talkshow, selalu ada komedian yang terlibat entah sebagai penampilan hiburan atau bahkan menjadi moderator “Desak Anies”.
Hanya capres 03 yang relatif jarang melibatkan unsur komedi dalam kampanyenya. Mungkin gara-gara itu suaranya jadi jeblok. Sementara 2 saingannya yang getol memakai strategi “riang gembira” ini meraih peringkat 1 dan 2.
Memilih komedi sebagai tampilan citra dalam panggung politik tentunya telah dipikirkan dengan seksama oleh timses masing-masing kontestan. Mereka paham, dalam seni pertunjukan, unsur komedi memang tidak pernah bisa ditolak oleh penonton.
Komedi (hampir) selalu bisa memikat siapa saja
Dalam ranah teoritis, telah banyak kajian seni pertunjukan dari para pakar mengenai bagaimana komedi berhasil memikat penonton pertunjukan. Aristoteles dalam karyanya “Poetics”, menjabarkan etimologi kata komedi dari komai (village atau ‘desa’) dan oda (‘lagu’), nyanyian dari ruang masyarakat yang terpinggirkan.
Desa (village) merupakan simbol tempat yang lebih rendah, biasa, pinggiran. Seni komedi adalah suara orang-orang biasa. Komedi merupakan antitesis dari tragedi. Teater tragedi dipertontonkan untuk memainkan emosi berupa ketakutan, penderitaan, atau kehancuran.
Jika dikaitkan dengan panggung politik hari ini, komedi yang mengandung humor (umor = ‘cair’, dalam Bahasa Yunani), barangkali memang sengaja digunakan sebagai strategi untuk mengaburkan pandangan penonton. Para penonton yang rata-rata adalah “orang biasa” di negara ini akan wajah politik yang sebenarnya. Penonton yang memang penuh tragedi, intrik, saling menghancurkan, dan berujung penderitaan.
Sementara Gilles Deleuze (1990), filsuf Perancis, dan Susan Purdie (1993), penulis teori wacana komedi, bersesuaian pandangan bahwa komedi memiliki maksud untuk mencemooh yang universal dan esensial. Komedi menawarkan makna baru akan kenyataan yang ada dengan sesuatu yang segar dan tak terduga, serta menimbulkan perasaan menyenangkan.
Apa yang dilakukan Komeng dalam panggung politik kali ini telah memporak-porandakan makna pemilu yang selama ini dimaknai sangat serius, jahat, tragis. Kenyataan yang selama ini ditampilkan para aktor politisi itu dicemooh dan diolok-olok dengan akting lawak Komeng yang sangat mencuri perhatian.
Lihat saja bagaimana Komeng menjawab pertanyaan saat diwawancarai, “Mengapa Anda memilih DPD?”
Dengan kocak Komeng jawab, “Ya mending milih DPD, kalau DPO ntar kita yang repot.”
Celetukan sebagai kekhasan
Celetukan Komeng adalah sebuah hal yang tidak mungkin dilakukan oleh politisi mana saja di Indonesia yang selalu melontarkan jawaban yang jaim, birokratis, ambigu, dan retoris. Jawaban Komeng adalah bentuk olok-olok paling menohok yang mewakili lapisan masyarakat biasa untuk menertawakan politik dan tingkah laku orang-orang di dalamnya.
Garin Nugroho, sang sutradara maestro, punya teori bahwa olok-olok merupakan strategi jitu dalam seni pertunjukan untuk menyampaikan pesan. Pesan itu bisa berupa kritik dan sindiran baik kepada pihak yang dikritik (penguasa), serta juga membantu men-delivery maksud pesan itu agar bisa dicerna penonton secara sederhana dan menyenangkan.
Rakyat tidak mau dan tidak mampu melihat politik sebagai hal yang memberatkan pikiran. Mereka mau yang ringan-ringan, santai, dan lucu-lucu dalam menyikapi pertarungan politik ini.
Kehadiran Komeng di panggung jelas menyentak politik yang penuh kepura-puraan akting dalam panggung demokrasi ini. Reza Wattimena (2019), peneliti filsafat, menyindir bahwa demokrasi pseudo-komedi diisi oleh para artis dengan kemampuan akting yang buruk. Mereka berpura-pura berkompetisi di dalam pemilihan umum. Namun, setelah selesai, mereka kembali ke sifat aslinya. Politik di Indonesia adalah politik bagi-bagi kekuasaan di antara orang-orang kaya semata.
Akting yang sangat natural
Akan tetapi, dalam pentas ini, Komeng berakting sangat natural seperti aktingnya panggung lainnya. Komeng menjadi dirinya sendiri, tanpa kepura-puraan. Karena memang itulah jati dirinya yang sebenar-benarnya.
Beliau menjadi rol (pemain utama) kalau dalam kethoprak, menjadi man of the match dalam pertandingan rebutan kursi ini. Panggung pemilu yang “di-setting” komedi ini, ditunggangi Komeng dengan tampil di puncak adegan sebagai lakon yang sangat elegan, tanpa terbelenggu partai, tanpa janji-janji, tanpa beban politis.
Menarik untuk menyaksikan drama ini ke depan. Saat kelak para aktor telah resmi terpilih, dan sudah lelah memerankan kelucuannya sehingga kembali ke watak aslinya yang korup, kejam, licik, jahat, rakus, akankah Komeng tetap menjadi dirinya sendiri atau justru malah berubah menjadi seperti mereka?
Saya berharap nanti di Senayan, Komeng tetap lucu. Menarik juga untuk membayangkan celetukannya di sidang paripurna, “Maap interupsi Pak Presiden, udah siang nih, ane laper…makan siang gratisnya jadi kagak nih?”
Penulis: Paksi Raras Alit
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Komeng, Komedian Paling Lucu, Bikin Masa Kecil Saya Penuh Gelak Tawa dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.