Saat teman kita bercerita pengalamannya menjadi korban kekerasan seksual, apa yang harus kita lakukan?
Teman kamu datang dengan panik, ketakutan bahkan menangis ketika akhirnya memilih kamu untuk mendengar cerita pengalaman buruk menjadi korban kekerasan seksual. Kamu kebingungan karena pengalaman itu sulit dibayangkan sehingga kamu tidak tahu bagaimana memberi respons yang tepat setelah ia bercerita.
Berikut adalah panduan menjadi pendamping korban kekerasan seksual.
Pertama, persilakan ia bercerita tanpa memotong pembicaraannya. Percaya lebih dulu kepada korban.
Sampaikan kepada korban bahwa kamu mau mendengar ceritanya hingga tuntas jika hal tersebut yang ia butuhkan untuk merasa lebih baik. Dengarkan saja tanpa sama sekali memberi nasehat.
Kedua, tanyakan apakah korban mengalami kerusakan fisik akibat kekerasan seksual yang ia alami.
Bantu korban memeriksa keadaan fisiknya, apakah ia mengalami sakit di sekitar vagina atau ada luka-luka yang tertinggal pada tubuhnya yang mesti segera mendapat pengobatan.
Katakan kepadanya kalau kamu bersedia menemaninya pergi ke rumah sakit atau layanan kesehatan reproduksi yang ramah korban kekerasan seksual. Katakan padanya, sebelum memproses hal-hal lain, ia harus yakin untuk melanjutkan hidup oleh karena itu terlebih dahulu fisiknya mesti kembali sehat.
Ketiga, setelah memastikan fisik korban aman, tanyakan kondisi batin korban. Apakah ia memerlukan terapi psikososial untuk membantunya pulih dari kesakitan dan trauma?
Sampaikan kepada korban kalau kamu bersedia menemaninya pergi ke lembaga layanan psikologi yang ramah korban kekerasan seksual. Tapi, kamu tidak harus memaksa korban bercerita hari itu juga. Biarkan ia sendiri yang menentukan waktu yang tepat untuk menjalani proses pemulihan.
O ya, kalau kamu tidak memiliki keterampilan konseling korban kekerasan seksual, kamu tidak boleh sembarangan mendiagnosa kondisi korban. Kalau kamu tidak kuat mendengar cerita korban, kamu juga tidak boleh memaksakan diri. Bisa jadi malah emosi kamu yang akan terkuras lalu kamu ikut-ikutan sakit.
Menjadi pendamping korban kekerasan seksual memang tidak mudah. Lebih baik, ajak korban mendapatkan self assesment ke konselor ahli. Oke?
Keempat, tanyakan kepada korban apakah ia ingin melaporkan kasusnya ke jalur hukum. Tidak semua korban ingin atau punya keberanian memproses kasus secara hukum dengan berbagai pertimbangan dan resikonya.
Misalnya saja, mahasiswa korban kekerasan seksual di kampus pasti tak berani membawa kasusnya ke jalur hukum karena ada ancaman kepada nasib akademiknya.
Atau, seorang pegawai kantor yang menjadi korban pelecehan seksual oleh atasan pasti mempertimbangkan banyak hal sebab ia masih butuh pekerjaannya yang sekarang untuk bertahan hidup.
Jika korban telah mempertimbangkan perihal waktu, tenaga dan emosi untuk memproses kasus secara hukum, sampaikan kepada korban kalau kamu bersedia menemaninya mengakses lembaga bantuan hukum atau lembaga layanan pendamping korban kekerasan seksual.
Ada banyak lembaga bantuan hukum yang membantu korban kekerasan seksual untuk mencari keadilan dengan gratis.
Kelima, never spill the tea alias jangan pernah membocorkan cerita korban. Kamu dipilih korban untuk mendengar ceritanya meskipun ia dalam kondisi yang sedang sulit untuk bercerita.
Jaga cerita itu untuk dirimu sendiri. Kamu tidak berhak menyebarkan cerita itu kepada siapapun tanpa seizin korban.
Mungkin kamu merasa bahwa korban akan lebih cepat mendapat keadilan jika ada lebih banyak orang yang mengetahui ceritanya. Toh, sepertinya sekarang budaya spill the tea bahkan membuat akun untuk meng-call out predator seksual sedang marak di media sosial.
Memang sepertinya nikmat misuh-misuhi seorang predator yang ketahuan mengencani puluhan perempuan dan mengakibatkan kerugian fisik hingga materi para korbannya.
Tapi, ingat, fokus pendamping untuk korban kekerasan seksual terlebih dahulu adalah membantu korban agar pulih secara fisik maupun mental.
Pada kasus Agni, mahasiswa UGM yang menjadi korban kekerasan seksual di kampus, sorotan media saat itu justru membuat Agni setiap hari kewalahan menjawab wawancara dari berbagai media.
Sebagian wawancara tak benar-benar punya kontribusi untuk membantu Agni mencari keadilan. Kasus yang tersiar menjadi berita nasional mendapat respons yang beragam dari masyarakat.
Komentar-komentar yang menyalahkan korban dari masyarakat justru akan membuat korban tertekan karena ia belum benar-benar pulih dari trauma.
Kasus Ibu Baiq Nuril adalah pengalaman buruk korban kekerasan seksual yang bercerita pengalamannya kepada seorang temannya lalu cerita tersebut disebarkan tanpa seizin korban dan justru membuat pelaku memiliki alat bukti untuk melaporkan korban kembali dengan UU ITE.
Akibat peristiwa itu, Ibu Baiq Nuril yang korban justru harus menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mencari keadilan, di saat pelaku justru mendapatkan kenaikan jabatan di sebuah lembaga Pemerintah.
Spill the tea juga bisa membuat korban mendapat berbagai ancaman oleh pelaku, baik ancaman kekerasan fisik maupun ancaman penyebaran konten intim non-konsensual. Jangan sampai aktivitas yang menurutmu bisa membantu korban, faktanya malah membuat korban kesulitan dan semakin memperumit keadaan.
Ketika menjadi teman yang mendengar cerita korban, selalu ingat bahwa korbannya bukan kamu.
Kamu hanya bertugas untuk bertanya apa kebutuhan korban dan membantunya mengakses bantuan layanan. Kamu memang sangat ingin menjadi pahlawan untuknya, tapi hanya korban yang benar-benar memahami kebutuhannya.
Kamu tidak boleh gegabah.
_________________________________________
Kamu bisa baca kolom Kelas-Kalis lainnya di sini. Rutin diisi oleh Kalis Mardiasih, tayang saban hari Minggu.