Kabar yang tak terlalu mengagetkan datang dari Selandia Baru. Negeri di mana Tantowi “Steven Seagal” Yahya bertugas menjadi duta besar itu secara resmi mengumumkan bahwa petahana Perdana Menteri Jacinda Ardern memenangkan pemilu dan terpilih kembali menjadi Perdana Menteri untuk periode kedua.
Jacinda Ardern, yang maju lewat partai buruh liberal, berhasil mengalahkan partai nasional konservatif dengan meraup 49% suara.
Sekali lagi, kabar tersebut tentu saja tiada mengagetkan. Jacinda Ardern, dengan segenap kepemimpinannya di periode pertama sebagai seorang perdana menteri, memang layak jika terpilih kembali menjadi perdana menteri. Sebagai seorang perdana menteri, Jacinda memang dinilai mampu membawa perubahan besar bagi Selandia Baru.
Justru akan sangat mengagetkan jika sampai Jacinda gagal terpilih kembali menjadi perdana menteri.
Banyak faktor yang membuat dirinya berhasil mengumpulkan dukungan dan juga simpati dari rakyat Selandia Baru selama menjabat. Salah satunya tentu saja adalah keberaniannya untuk langsung membentuk undang-undang terkait pelarangan kepemilikan senjata semiotomatis paskainsiden penembakan di Masjid Christchurch yang menewaskan 50 orang itu.
Insiden tersebut, tanpa mengurangi rasa keprihatinan terhadap para korban, tak bisa dimungkiri memang membuat nama Jacinda Ardern semakin harum. Setelah insiden tersebut, Jacinda, berhasil memperlihatkan bagaimana seorang pemimpin bekerja. Ia membagikan empatinya dan menggunakan kekuasaannya untuk melakukan apa yang seharusnya ia lakukan.
Gebrakan lain yang membuat Jacinda benar-benar berhasil merebut hati warga Selandia Baru (bahkan hati warga seluruh dunia) adalah kesigapannya dalam menghadapi pandemi Covid-19.
Selandia Baru tercatat menjadi salah satu negara yang dianggap paling berhasil menghadapi pandemi Covid-19. Saat ini, Selandia Baru sudah mampu mengendalikan Covid-19. Sejak bulan September lalu, Selandia Baru sudah mencabut aturan pembatasan terkait wabah Covid-19. Masyarakat di Selandia Baru juga sudah mulai beraktivitas seperti biasa.
Stadion-stadion sudah boleh disesaki oleh penonton yang ingin menyaksikan pertandingan sepakbola atau rugbi.
Dua hari lalu, misalnya, dalam pertandingan Bledisloe Cup 2020 saat Timnas Rugbi Selandia Baru mengalahan Australia 27-7, stadion Eden Park, Auckland, bahkan disesaki lebih dari 46 ribu penonton.
Hal tersebut tentu tak lepas dari kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah Selandia Baru di bawah komando Jacinda. Mereka begitu keras dan rajin melakukan tes. Rasio tes Selandia Baru tercatat menjadi salah satu yang tertinggi di dunia, yakni 213 per 1.000 penduduk. Sebagai perbandingan, rasio tes Indonesia adalah 9 per 1.000 penduduk.
Selandia Baru juga menerapkan pembatasan aktivitas yang cukup ketat. Mereka mengerahkan 500 tentara untuk memantau sejumlah fasilitas karantina di wilayah-wilayah perbatasan. Pemerintah mengirimkan pesan-pesan panduan protokol kesehatan dan update informasi melalui seluler. Yang cukup mencolok, Selandia Baru bahkan memutuskan untuk menunda pemilu untuk mencegah penularan. Hal yang tentu saja tidak dilakukan oleh negara yang kode teleponnya dua digit di bawah Selandia Baru.
Maka, ketika Presiden Jokowi mem-posting ucapan selamatnya kepada Jacinda Ardern dengan disertai foto saat keduanya sedang bersalaman, ada semacam getir yang menyeruak. Semacam perasaan senewen yang seolah ingin berkata “Ini bisa tukeran pemimpin nggak, sih?”
Pada akhirnya, ada satu hal yang, walau rasanya aneh, namun mau tak mau harus saya yakini. Itu semata demi ketenangan batin saya sebagai warga Indonesia, yakni segala keberhasilan yang diraih oleh Jacinda itu, murni bukan soal mental pemimpin, melainkan memang karena itulah cara yang harus dilakukan oleh Jacinda Ardern agar bisa terpilih kembali menjadi perdana menteri.
Jacinda beruntung, pandemi datang jelang pemilu, sehingga ia jadi punya arena untuk membuktikan bahwa ia adalah pemimpin yang bagus.
Hal tersebut membuat saya agak maklum dengan kondisi negara saya tercinta. Negara yang jumlah penambahan kasus harian Covid-19-nya masih terus berada di atas angka tiga ribu.
Saya meyakini, segala keporak-porandaan yang terjadi di masa pandemi ini, itu bukan murni kesalahan Jokowi sebagai pemimpin, itu murni karena persoalan timing saja. Pandemi kebetulan hadir saat Jokowi sudah terpilih kembali menjadi Presiden untuk periode kedua, sehingga hal tersebut kurang menantang bagi Jokowi untuk menjadi arena pembuktian, sebab memang tak ada lagi yang harus dikejar oleh Jokowi.
Coba kalau pandemi melanda tahun 2018 akhir atau 2019 awal sebelum pemilu, niscaya nasib kita pasti nggak jauh beda kayak Selandia Baru.
Jadi, sekali lagi, ini bukan salah Jokowi, ini salah Covid-19 yang memang datangnya agak terlambat.
Kalau Jokowi sih pasti nggak salah. Ha Presiden saya, je