Dalam empat hari saya kehilangan pahlawan-pahlawan besar saya. Setelah Ricky, kini Diego. (Seperti semua orang telah sebut, ini tahun yang mengerikan, tapi ini adalah pengujung tahun paling mengerikan yang pernah saya lewati!)
Kematian Ricky sangat mengejutkan dan menghancurkan hati, sama sekali tak disangka, dan langsung membuat panas mata—saya menangis tersedu seketika itu. Lalu Diego: sama sekali tak mengejutkan tentu saja (ia sudah berkali-kali nyaris mati), tapi… saya berhari-hari tak bisa menjelaskan perasaan saya sendiri; saya pernah merasa sangat hancur ketika seorang sahabat dekat meninggal, tapi ini rasanya sangat berbeda.
Dan saya berharap tulisan ini bisa sedikit menggambarkannya.
***
Selasa malam, 25 November, tepat 11.50, sembari tiduran menunggu siaran pertandingan Liga Champions, saya membaca status Facebook seorang teman dalam bahasa Spanyol: “Adios El Capitan Diego Armando Maradona; Buena Suerte!” Saya tentu saja tidak tahu bahasa Spanyol, tapi siapa orang yang terlalu bodoh untuk tak mengerti kalimat macam itu. Yang saya lakukan seketika adalah me-refresh laman The Guardian yang sejak sejam terakhir saya pelototi dan baru saja saya tinggalkan. Dan begitu menemukan breaking news yang mengonfirmasi berita kematiannya, saya memaki sangat panjang dalam nada bisikan, seperti seseorang yang memaki diri sendiri karena dengan konyol menyandungkan jari kelingking kakinya ke kaki meja sesaat setelah bangun pagi.
Tapi saya bingung karena tak menemukan rasa nyeri itu; saya bingung karena saya hanya merasa bingung. Ketika saya kembali ke Facebook, membagi utas berita yang baru saja saya baca, sembari mengekspresikan sikap denial saya (“Tuhan tak akan mati,” begitu saya menulis), saya dengan segera membagi laman Facebook menjadi dua: 1) mereka yang punya hati, mengabarkan, dan mengungkapkan perasaan duka mereka atas kematian El Diego dengan sepantasnya; 2) mereka yang tak punya hati dan tak peduli, yang masih terus berbicara tentang Habib Rizieq, Anies, dan buku yang berlagak dibacanya, dan olok-olok tentang lobster dan cita-cita kelas menengah mereka tentang biru lautan dan hijau hutan tempat mereka akan berlibur jika sedang jenuh nanti.
Tapi saya tak berhenti sampai di situ saja. Saya dengan segera bisa membagi mereka yang mengungkapkan rasa dukanya atas kematian Maradona juga menjadi dua: 1) mereka yang secara formal saja mengungkapkannya, seakan yang meninggal adalah kakek dari teman SD yang sudah lama tak didengar kabarnya; 2) mereka yang sok tahu, yang berbusa-busa menulis tentang Maradona, memasak ulang kalimat yang itu-itu saja, yang boleh jadi dicuplik dari ingatannya yang serbasedikit dari profil yang pernah dibacanya di masa remaja dari tabloid Soccer.
Seiring berjalannya waktu, saya mulai menjadi uring-uringan untuk hal-hal yang di hari biasa bisa saya terima sebagai kekonyolan yang normal atau konsekuensi dari hidup dan pekerjaan yang dijalani seseorang. Saya menemukan tulisan Jonathan Wilson muncul di The Guardian tak sampai setengah jam setelah berita kematian Maradona, dan saya merasakan semacam rasa geram: bukankah ia—seorang yang menulis buku tentang sejarah sepak bola Argentina setebal bantal dengan Maradona sebagai tokoh sentralnya—seharusnya menjadi salah satu penulis sepak bola yang paling merasa kehilangan, yang paling berkabung di antara penulis lainnya; bagaimana bisa orang ini secepat itu bisa menulis? Baiklah, ratusan halaman data dan anekdot tentang Maradona dan sepak bola Argentina mungkin sudah bertahun-tahun menggantung di mulutnya atau tertempel otomatis di ujung jarinya, tapi terbuat dari apakah hatinya? Atau, apakah ia sudah menyiapkan tulisannya sejak sepekan sebelumnya? Betapa jahatnya!
Lalu cuitan Philippe Auclair, penulis biografi Eric Cantona, beredar. Ia mengecam headline The Daily Telegraph tentang kematian Maradona, yang kata mereka “kariernya penuh drama, terbukti sebagai pembohong, curang, dan seorang egomaniak”. Juga orang mulai ramai membicarakan cuitan Peter Shilton, kiper Inggris yang dikadali tangan kiri Maradona di Meksiko 1986. Si Kepala Termos, demikian panggilan Maradona kepadanya, rupanya masih punya urusan yang belum selesai, dan masih sempat membuat komentar sengak di hari kematian bekas lawannya: “Ia pesepak bola hebat, tapi bukan olahragawan yang baik,” katanya tentang Maradona. Dari geram saya mulai marah-marah.
“Dasar Inggris! Bangsa payah! Tim payah! Pecundang payah! Pendendam menyedihkan! Kembalikan gelar yang kalian curi dari Jerman di Piala Dunia ‘66! (Kalian tahu bukan kalau tendangan Geoff Hurst itu belum benar-benar masuk?) Kembalikan permata Kohinoor India yang kalian curi! Kembalikan manuskrip-manuskrip kami! Kembalikan Tumasik dan Semenanjung Malaya!” Atau semacam itu.
Dan entah kenapa saya kembali membaca berita kematian dari The Guardian yang beberapa menit sebelumnya saya bagi, dan kali ini saya baru benar-benar membaca judulnya: “Diego Maradona, One of the Greatest Footballers of All Time, Dies Aged 60” One of? Ya Tuhan! Kalian koran Kiri, bukan? Apa susahnya membuat judul “The Greatest Footballer Ever”? Kalian mau menyamakannya dengan Pele, komprador FIFA yang terus saja gelisah menghitung-hitung rekor golnya itu? Atau dengan Bobby Moore, kapten kalian, si pencuri kalung itu? Dan saya marah-marah lagi.
(Dan saya kembali muntab dengan media-media Inggris, juga orang-orang Indonesia yang mungkin saja terhubung dengannya, ketika paginya saya membaca obituari di BBC Indonesia yang sumir bahkan sejak dari judulnya: “Diego Maradona: Legenda Argentina yang Tercela”. Bahasa Inggris saya tak banyak berkembang sejak SMA, tapi saya tak sebodoh orang yang menerjemahkan “flawed icon” menjadi “legenda yang tercela”. Dasar tak pernah makan bangku madrasah!)
Saya melempar ponsel, beringsut dari kasur, lalu menyalakan televisi. Saya menyangka siaran Liga Champions segera mulai. Saya salah. Masih sejam lagi. Ketika menyetel saluran yang dijadwalkan menyiarkan sepak bola, saya masih menemukan tayangan sinetron. Saya ngomel-ngomel lagi. Ketika saluran saya pindah, dan menemukan sebuah program berita olahraga, saya berharap berita kematian Maradona telah muncul. Saya salah lagi. Berita yang muncul adalah merek dan berapa harga arloji yang baru saja dibeli pacar Cristiano Ronaldo. Dan saya ngomel-ngomel lagi.
Karena tak mau kembali membuka media sosial, saya bertahan di depan televisi. Sinetron tak tahu waktu itu selesai, dan siaran telah dimulai setengah jam sebelum pertandingan. Ketika yang saya temukan adalah dua wajah pembawa acara dan komentator yang sepenuhnya ceria, padahal dunia sepak bola sedang menjalani hari paling berkabungnya, saya ngomel-ngomel lagi. Untung mereka hanya nongol sebentar, sebab iklan sebuah merek marketplace lebih banyak muncul selama setengah jam ke depan. Tapi itu sama sekali tak menolong meredakan sikap uring-uringan saya. Iklan itu diputar secara berulang-ulang dan berulang-ulang, seperti iklan obat batuk hitam, dengan jingle yang mengganggu. Pada detik itu juga saya bersumpah untuk tak pernah membuka laman mereka, lebih-lebih belanja di toko online mereka. Nehi!
Begitu pertandingan mulai, saya tahu saya hanya sedang ingin menjelaskan kebingungan saya, bukan menonton sepak bola. Seperti saya duga, Rennes vs Chelsea tak mampu menghibur, karena memang sama sekali tak menghibur. Saya mematikan televisi dan, sembari menunggu pertandingan Inter vs Real Madrid, saya kembali ke media sosial. Saya sedikit bersorak ketika membaca berita bahwa Wali Kota Naples mengusulkan untuk menamai ulang Stadion San Paolo dengan nama Diego Maradona, yang beberapa menit kemudian disambung oleh berita bahwa Presiden klub Napoli setuju dan segera menindaklanjutinya. Aha… De Laurentiis sering bertindak konyol, tapi kali ini ia melakukan hal yang benar. Tapi selebihnya saya masih saja uring-uringan.
Tiga jam kemudian saya menyaksikan Madrid menang secara superior atas Inter, sementara secara bersamaan Liverpool tepar di kandang oleh Atalanta. Tapi dua hasil bertentangan dari dua tim yang saya dukung itu tak terlalu punya dampak terhadap kebingungan saya. Saya hanya sedikit bisa membebaskan diri darinya saat akhirnya bisa tertidur pada jam setengah enam pagi. Dan saya mengalami kebingungan kembali ketika terbangun empat jam berikutnya.
Saya merasa sedikit tenang hampir setelah 24 jam kemudian. Tak lama setelah membaca obituari Jorge Valdano, yang bertabur rasa sayang dan penuh pembelaan (sebagaimana tulisan dan komentarnya tentang Maradona yang sudah-sudah), saya kemudian menemukan orang yang sama tercekat lalu menangis sesenggukan di sebuah wawancara televisi menjelang pertandingan Liga Champions. Saya menangis bersamanya. Dan setelah dua malam kebingungan, saya merasakan sedikit kelegaan.
***
Saya sangat mengidolakan Maradona, tapi saya nyaris tak punya memorabilia atau benda-benda yang berasosiasi dengannya, yang sedikit mewakili pemujaan saya atasnya. Saya ingin memasang poster besarnya di kamar, mungkin bersama Rhoma Irama, tapi saya tak pernah berhasil mendapatkannya, dan tak pernah cukup berusaha untuk mempunyainya. Tak ada buku tentang Diego Maradona di rak, sementara saya malah punya biografi Pele dan Bobby Charlton, dan empat buku tentang Jose Mourinho. Saya hanya punya Maradona by Kusturica, sebuah film dokumenter, dalam bentuk kepingan dengan sampul yang dibalut kantong mika, yang dulu saya dapat dari lapak DVD Mangga Dua, sekitar sepuluh tahun lalu. Tapi buat apa memorabilia jika semuanya, nyaris semuanya, tersimpan di kepala. Saya mengingat semua perjumpaan saya dengan Diego, dengan beberapa ingatan lebih kuat dibanding yang lainnya, atau dari ingatan jenis apa pun. Saya juga mengingat dengan baik setiap upaya saya menuliskannya, yang bagus, yang buruk, bahkan yang tak jadi.
Saya mempunyai satu halaman tentang Maradona dan Argentina di novel pertama saya, Ulid, sebelum memutuskan menghapusnya di cetakan kedua. Di paragraf itu, Ulid sepenuhya adalah saya. Saya tak pernah punya kaos bergambar Maradona seperti dirinya, tapi saya punya poster seluruh tim Argentina beserta tiga tim lain yang jadi semifinalis Piala Dunia ‘86. Dan berbeda dengan Ulid yang hanya tahu sangat sedikit tentang Maradona, saya bahkan hafal tak kurang dari separuh nama rekan setimnya, ditambah setidaknya nama Brehme, Platini, dan Scifo dari tim lain; sementara Ulid mengajukan pertanyaan-pertanyaan lugu tentang Argentina, di usia yang sama saya sudah tahu bukan hanya Argentina, tapi juga Jerman Barat, Prancis, Belgia, Bulgaria, Uruguay, Italia, dan Brazil.
Hanya tahu dari poster empat semifinalis di Piala Dunia ‘86, lalu dari cerita-cerita orang di masjid untuk Piala Dunia ‘90, saya tak mau dihalangi untuk Piala Dunia pertama dan penuh saya pada AS ‘94. Itu tak lain untuk dan demi Maradona. Entah berapa sering saya cerita bahwa saya lari dari rumah saat sakit tifus hanya agar bisa menonton pertandingan pertama Argentina melawan Yunani. Dan kenekatan saya diganjar utuh oleh El Diego, berupa gol dengan perayaan legendaris itu, dengan “wajah iblis”-nya itu, ketika ia berlari ke arah kamera dan melotot kepada penonton seluruh televisi di dunia, meski kemudian FIFA menghakiminya.
Hanya dua pertandingan (dua pertandingan!), yaitu saat melawan Yunani dan Nigeria di dua pertandingan awal Grup D Piala Dunia ‘94, saya benar-benar melihat Diego Maradona bermain. Tapi itu cukup. Lebih dari cukup! Dari dua pertandingan itu, bersama poster dari Piala Dunia ‘86 dan cerita-cerita haru sekaligus sedih dari Piala Dunia ‘90, saya memburu setiap kisah dari masa lalunya, berita masa kininya, mitos-mitos tentangnya. Pada akhirnya dari situlah, dan darinyalah, saya melihat sepak bola. Nyaris sepenuhnya.
Meski Inggris adalah korban dari tangan jail Maradona, tapi bagi saya merekalah penjahatnya; meski ofisial Argentina bisa jadi benar meracuni para pemain Brasil di 16 Besar Piala Dunia ‘90, tapi Argentina-lah yang jadi korban konspirasi FIFA dan Jerman Barat pada akhirnya; meski Maradona mungkin saja dengan sengaja mengonsumsi efedrin untuk menurunkan berat badannya di AS ‘94, tapi FIFA-lah penipunya. Dengan penuh permakluman dan pembelaan saya bisa terima semua sikap dan sifat buruk Maradona, tapi saya tak bisa memaafkan sikap manis dan kompromistis Pele terhadap otoritas. Dari melihat Maradona bermain, gairahnya dan hasratnya dan pengorbanannya yang selalu meluap untuk timnya dan negaranya, cara dia merayakan gol (lihat bagaimana ia membusung dada, memejam mata, dan memeluk langit saat merayakan gol Burruchaga di final melawan Jerman), caranya menghadapi media, caranya melawan FIFA, pandangan politiknya, selera humornya, saya terus-menerus mengadili Messi.
Tentu saja itu tak adil. Sangat. Tapi, tak ada keadilan untuk perang dan cinta, bukan? Dan, sebagaimana hidup, sepak bola memang tak pernah adil.
Dan betapa tak adilnya hidup! Sementara Julio Grondona mati di umur 82, Joao Havelange di umur 100, sementara Sepp Blatter masih segar di usia 84, Diego Armando Maradona telah diambil di usia 60.
***
Dari semua kutipan dari dan tentang Maradona yang bertaburan sejak kematiannya, ada satu kutipan yang paling mengena, yaitu dari John Rattagan, seorang pendatang Argentina di Inggris. “Home. Maradona is home,” katanya kepada The Guardian. Maradona adalah rumah, adalah kampung halaman. Mau diartikan sebagai rumah maupun kampung halaman, keduanya sama-sama mengena untuk saya—secara sangat personal.
Semua ingatan tentang Maradona untuk saya, yang paling kuat adalah tentang rumah kami yang pertama, dengan sekat papan tripleksnya, tempat di mana poster itu ditempelkan. Pada usia enam tahun, saya biasa naik ke punggung kursi, menggapai gambar itu, menunjuk-nunjuk wajah, dan Bapak akan menyebutkan nama-nama: mana Valdano, mana Giusti, mana Burruchaga, sementara saya jelas sudah hafal yang mana Maradona. Dan hidup saya dimulai dari rumah itu.
Tapi kampung halaman juga tak kalah tepatnya. Maradona lahir di tahun yang sama dengan ibu saya, tapi kematian Maradona sepenuhnya mengingatkan saya kepada Bapak, orang yang membawa pulang poster itu, menempelkannya di tempat yang saya bisa menjangkaunya, yang mengajarkan saya nama-nama pemain, nama-nama negara, dan secara keseluruhan memperkenalkan saya dengan sepak bola—dan semua hal yang saat ini saya cintai, hidupi, dan menghidupi saya. Dan Bapak, sejauh ini, dan selalu, adalah kampung halaman untuk saya. Ia adalah alasan saya untuk secara teratur pulang.
Berbeda 180 derajat dengan Maradona (bapak saya pemurung, tak punya selera humor, dan, di luar kecintaan dan ceritanya yang tak habis-habis, tampaknya sama sekali tak bisa bermain sepak bola), tapi bagi saya keduanya punya kesamaan besar: keduanya adalah flawed legend. Mereka tak sempurna, dan itu tak apa. Itu sempurna.
BACA JUGA Seperti Ricky dan esai Mahfud Ikhwan lainnya di kolom REBAHAN.