MOJOK.CO – Dawkins mengatakan bahwa semua agama (termasuk Islam) adalah non-sense; bahwa gagasan tentang Tuhan sama sekali tak masuk akal.
Sejak Richard Dawkins menerbitkan bukunya, God’s Delusion, pada 2006, muncul gerakan baru yang secara agresif mengampanyekan ateisme. Buku Dawkins itu, harus diakui, memuat sejumlah argumen yang cukup solid, dan ditulis dengan bahasa yang amat elegan. Tetapi kita menangkap di sana nada kemarahan yang mendalam atas agama. Kenapa? Ini penjelasan saya.
Kemarahan para “new atheists” seperti Dawkins itu, kalau kita mau jujur, sangat mungkin dipicu oleh perkembangan dalam masyarakat Islam. Dawkins tampaknya menulis buku itu sebagai respon tak langsung terhadap munculnya kelompok-kelompok fundamentalis Islam di dunia Islam yang kemudian menyebar ke Eropa Barat. Pengaruh ideologi ini makin menggila setelah munculnya ISIS pada 2014. Kebrutalan ISIS membikin kaget dan marah orang-orang di Eropa Barat. Seperti kita tahu, kebrutalan ini tidak saja terjadi di Irak dan Syria, tetapi menyebar dan meneror Eropa.
Sejujurnya, yang “shocked” karena kebrutalan ISIS bukan saja kalangan non-Muslim di Barat. Yang paling marah, bahkan sampai ke tingkat “muak,” justru orang Islam sendiri, sebab, korban pertama dan paling banyak dari kebrutalan ISIS sebetulnya bukan orang Barat, melainkan umat Islam. Jadi, dalam hal kemarahan atas praktek agama yang “brutal” ini, baik umat Islam dan Dawkins memiliki kesamaan: kemarahan dan kemuakan.
Yang membedakan adalah: Dawkins bergerak lebih jauh lagi dengan mengatakan bahwa semua agama (termasuk Islam) adalah non-sense; bahwa gagasan tentang Tuhan sama sekali tak masuk akal. Dawkins kemudian menyusun argumen yang bertakik-takik untuk menyangkal keberadaan Tuhan. Dia mencoba mematahkan argumen-argumen skolastik tentang wujudnya Tuhan, baik argumen ontologis, kosmologis, atau teleologis.
Saya tak cukup bisa diyakinkan oleh argumen Dawkins dalam bukunya itu, meskipun saya menikmatinya sebagai bacaan. Banyak buku yang sudah ditulis untuk menyangkal balik hujjah-hujjah Dawkins, baik dari kalangan Islam, Kristen, atau kalangan ateis dan agnostik sendiri. Saya merasa, beberapa “argumen klasik” tentang wujudnya Tuhan masih tetap relevan hingga sekarang. Berikut ini beberapa catatan saya tentang trend new-atheism ini.
Pertama, sebagaimana sudah banyak dikemukakan oleh para pengkritik Dawkins, sains dan pengetahuan kealaman tidak akan bisa membuktikan ada atau tidak adanya Tuhan. Paling jauh yang bisa dicapai oleh sains adalah keadaan “tidak tahu,” apa yang sering disebut sebagai agnostisisme.
Apa yang disuguhkan oleh data-data sains, entah dalam kimia, biologi, fisika, maupun astronomi, hanyalah keterangan tentang bagaimana alam bekerja melalui hukum-hukum tertentu. Apa yang dilakukan oleh sains, paling jauh hanya mengungkap “natural laws” yang mengatur kerja alam fisik ini. Sains hingga kapanpun tak akan bisa menjawab pertanyaan dasar ini: Bagaimana dan dari mana hukum itu muncul? Siapa yang “menciptakannya” atau men-desain-nya?
Fondasi utama sains adalah empirisme: segala hal hanya bisa dikatakan “ada” atau “tidak ada” jika ia bisa dikonfirmasi oleh data dan bukti empiris. Kalau sesuatu tidak memiliki bukti yang bisa diindera (baik secara langsung atau melalui instrumen pembantu), ia secara otomatis tidak valid secara ilmiah; dengan kata lain: dia hanya “hantu” saja. Karena Tuhan tidak bisa dibuktikan secara empiris, maka dia tidak ada. Sederhana.
Pertanyaan yang sering diajukan adalah ini: Jika sains bekerja dengan metode seperti itu, bagaimana ia ia bisa sampai kepada kesimpulan tentang tak adanya Tuhan? Padahal kita tahu, Tuhan bukanlah entitas yang bisa dibuktikan ada atau tidak ada dengan memakai metode itu. Sebab Tuhan bukanlah data empiris.
Jika sains bergerak lebih jauh dengan memastikan bahwa Tuhan tidak ada, dia sudah melangkahi wilayahnya – yakni, wilayah data empiris. Seorang saintis yang “meyakini” tidak adanya Tuhan sudah berubah dari seorang saintis menjadi seorang yang memeluk “keyakinan” tertentu. Dalam hal ini posisi dia sudah sama dengan orang-orang beriman. Ateisme dan teisme memiliki kedudukan yang sama: sama-sama merupakan keyakinan, bukan sains.
Kedua: Sains menjelaskan kemunculan kehidupan (origin of life) melalui apa yang disebut sebagai teori evolusi. Menurut teori ini, segala ragam kehidupan yang ada (manusia dan binatang dengan seluruh spesiesnya) muncul melalui proses evolusi selama jutaan tahun. Tak ada campur tangan “tuhan” dalam proses yang bersifat natural ini. Semua kehidupan lahir melalui proses mutasi dan variasi yang bersifat “random,” acak, seperti acaknya sekeping dadu yang dilempar ke papan permainan. Semuanya lahir karena “chance,” kebetulan saja.
Penjelasan semacam ini, bagi saya, sangat counter-intuitive, tak masuk akal. Secara molekuler, semua makhluk hidup adalah sebuah “sistem” yang amat kompleks dan canggih. Ia beroperasi dengan mengikuti hukum tertentu yang sama sekali tidak acak. Struktur molekuler yang menjadi fondasi makhluk hidup (bisa disebut DNA) adalah sebuah sistem informasi yang begitu rapi.
Bayangkanlah dua contoh susunan huruf ini. Yang pertama: ysbxcd nbhv vdferacsxs. Yang kedua: Merapi terletak di Yogya. Dua susunan ini mirip dari segi jumlah huruf. Tetapi ada perbedaan yang radikal: yang pertama adalah susunan acak yang tak mengandung informasi. Yang kedua adalah sistem informasi. Untuk menciptakan susunan yang pertama tak dibutuhkan orang “pintar”. Cukup lemparkan keping-keping huruf, maka akan muncul susunan yang acak seperti itu.
Tetapi susunan yang kedua tidak mungkin lahir kalau tidak ada seorang “penyusun huruf” yang pintar dan mengerti bahasa Indonesia. Susunan kedua ini tidak bisa lahir melalui evolusi yang acak. Dia membutuhkan “intelligence,” kecerdasan. Jika teori evolusi sebatas menjelaskan tentang mutasi dan variasi organisme atau makhluk hidup, saya bisa menerima.
Tetapi jika variasi ini dijelaskan sebagai proses yang sepenuhnya berlangsung secara acak, rasanya kok tidak masuk akal. Sama dengan tak masuk akalnya kemunculan susunan kalimat bermakna dalam contoh kedua di atas secara acak. Anda lemparkan berapa ribu kalipun keping huruf di papan, tidak akan tersusun kalimat seperti itu. Karena susunan kalimat adalah informasi; dan informasi tidak akan lahir tanpa ada aktor “pintar” di baliknya. Dia tidak bisa muncul secara acak.
Inilah alasan kenapa saya sulit menerima hujjah-hujjah penyangkalan keberadaan Tuhan berdasarkan temuan-temuan sains modern seperti yang dikemukakan para new-atheists seperti Dawkins. Data-data sains yang menjadi fondasi hujjah mereka tidak cukup mendukung.
Sepanjang Ramadan, MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus “Wisata Akidah Bersama al-Ghazali” yang diampu oleh Ulil Abshar Abdalla. Tayang setiap pukul 16.00 WIB.