MOJOK.CO – Tukang parkir mendapat stigma negatif di Jogja. Namun, di Kobessah I, sosok tukang parkir bernama Ubay menjadi kesayangan semua orang.
Di bawah pohon ketapang, semacam penanda bahwa warung kopi di Jogja harus memilikinya, saya menemui Ubay (24). Dia adalah tukang parkir di Kobessah I yang letaknya di dekat ringroad perempatan Gejayan.
Tukang parkir sedang menjadi sorotan, khususnya Jogja, di akhir pekan. Sebab, selain mematok harga yang terlalu tinggi, cara dan pelayanan mereka terhadap pelanggan tidak begitu baik.
Akan tetapi, yang menjadi sorotan memang tempat-tempat wisata macam Malioboro, Kraton, dan sejenisnya. Kalau warung kopi di Jogja, lain cerita.
Ada yang memang bertugas sesuai fungsinya. Tukang parkir ini memberikan harga untuk setiap kendaraan, memarkirkan kendaraan, hingga membenahi letak kendaraan. Sayangnya, ada juga yang sekadar menarik karcis, tanpa perlu repot membenahi letak kendaraan.
Ubay, pria asal Madura, berada di dimensi yang berbeda. Dia tidak hanya membenahi kendaraan, melainkan juga mengajak berbincang para pengunjung Kobessah I. Bahkan, yang menarik, dia tidak menarik harga atas jasanya. Gratis.
Bungkusan makanan atau minuman yang sering hadir di dapur
Kalau kamu tinggal atau pernah ke Jogja, kemudian menyukai kopi ala Jawa Timur, maka Blandongan, Mato, Kobessah, hingga Basa-basi menjadi acuan. Keempatnya hampir mirip dalam penyajian makanan atau minuman.
Akan tetapi, yang pasti ada menu kopi panas susu (kopassus) dan kopi tanggung susu (kotangsu). Yang bikin beda, barangkali, dan ini subjektif, adalah soal rasa kopi. Kemudian, yang beda dari lainnya adalah pelayanan tukang parkir.
Dan, Ubay merupakan tukang parkir yang berbeda daripada penjaga parkir lainnya.
Saya mengetahui hal tersebut dari Bapak Mulyadi, selaku pemilik Kobessah I. Beliau mengatakan bahwa jika di dapur sering ada bungkusan makanan atau minuman yang tidak ada di menu, pastilah untuk Ubay.
“Dia itu sering dapat bungkusan (makanan atau minuman). Banyak yang dikasih dari pengunjung,” ujar Bapak Mulyadi.
Saya mengonfirmasi pernyataan tersebut. Ubay hanya tertawa mendengarnya.
“Iya, sih, Mas. Nggak tahu kenapa kok teman-teman suka kasih bungkusan itu. Bahkan, nggak hanya bungkusan tapi juga undangan nikah. Saya dapat undangan nikah dari salah satu pengunjung Kobessah, lho.”
Kemudian, dia menunjuk dua orang, yang kebetulan sama-sama bertubuh tambun, sedang duduk di pinggir dekat kasir.
“Itu salah dua dari sekian pelanggan lama, Mas. Pasti kalau ke Kobessah, duduknya di situ.”
Yang saya takjub, sebagai tukang parkir, Ubay juga hafal titik-titik yang mana pelanggan lama pasti ke tempat duduk tersebut.
“Saya itu kalau sama pelanggan, misal disapa, ya balik menyapa. Kalau ada pelanggan yang ajak ngobrol, ya saya layani,” tutur Ubay sambil dia meminta para pelanggan untuk menempatkan motor di sebelah timur.
Ya, Kobessah I lebih ramai saat jam-jam nongkrong malam. Di atas pukul delapan malam. Kalau sudah pukul segitu, seperti hampir tidak ada ruang lagi untuk menempatkan kendaraan. Kalau kondisinya seperti itu, Ubay akan turun tangan dan mengkoordinir teman-temannya untuk membenahi tata letak kendaraan.
Baca halaman selanjutnya: Tukang parkir yang menjadi kesayangan warga Jogja.
Dari orang dapur lalu jadi tukang parkir
Sudah menjadi rahasia umum bahwa warung kopi di Jogja yang menggunakan menu kopassus atau kotangsu, pasti pramusajinya berasal dari Madura. Bahkan, mulai dari dapur, kasir, hingga tukang parkir, semuanya dari Madura.
Ubay adalah salah satu dari sekian warga Madura di Jogja yang bekerja di warung kopi tersebut. Dia diajak hijrah ke Jogja oleh sepupunya pada 2018. Seingat Ubay, dia langsung bekerja untuk Kobessah I.
Mulanya, penempatannya bukan sebagai tukang parkir, melainkan dapur. Pengelolaan di dapur lebih tepatnya. Namun, seiring bertambahnya pegawai, dia pindah ke tempat parkir.
Ubay menolak dengan halus kalau ada yang menyebutnya “koordinator” tukang parkir. Menurutnya, semua ya sama. Bertugas sesuai fungsinya, yaitu mengelola kendaraan yang hendak ngopi di Kobessah I.
“Kalau ada yang sakit, tinggal gantian saja,” katanya saat ditanya bagaimana pengaturan jam kerja.
Yang unik, menurutnya, dia sering disapa orang saat di jalan. Entah berhenti di lampu merah atau papasan. Dia terkadang suka bingung mengapa banyak orang memanggilnya di jalan. Dia merasa dirinya hanya tukang parkir.
“Saya itu suka bingung, bahkan sungkan. Sering disapa, eh sayanya nggak ngeh kalau disapa. Saya ini juga siapa kok sering disapa,” Ujar Ubay dengan nada merendah.
Menurut Ubay, yang paling penting adalah menjaga hubungan baik dengan pelanggan. Kalau pelanggan senang, semuanya ikut senang.
Lalu, ketika saya bertanya adakah trauma atau kesal saat mengatur tata letak kendaraan di Kobessah I, dia menjawab cukup diplomatis.
“Kesal itu pasti ada, namanya juga manusia. Tapi kalau saya kesal, apa gunanya. Toh karakter pelanggan, pasti beda-beda. Ada yang diberi tahu jangan dikunci stang, malah dikunci stang. Tapi, yaudah nggak papa. Namanya manusia,” jawab Ubay.
“Kalau hujan, gimana, Mas? Ambil seluruh helm dan ditaruh di ruang teduh?” tanya saya.
“Tergantung, Mas. Kalau pelanggannya pas kebetulan tidak ramai, iya. Tapi kalau pelanggan pas ramai-ramainya kayak sekarang, biasanya saya membenahi posisi helm yang penting jangan sampai bagian dalam helm kena air hujan,” jawab Ubay lagi.
Tukang Parkir adalah salah satu kunci warung kopi di Jogja
Kobessah, sama seperti Mato, tidak menarik biaya parkir. Dan saya suka akan hal itu. Barangkali, ada banyak orang yang seperti saya, yang suka kalau tak ada biaya parkir saat berkunjung ke warung kopi di Jogja.
Akan tetapi, sebenarnya tidak apa-apa juga ada tukang parkir selama mereka bertugas sesuai fungsinya. Kalau mereka nggak menjalankan amanah tersebut, nah itu lain ceritanya.
Sebagai orang yang suka selo mengamati tingkah laku manusia, menurut saya, Ubay menjadi dari sedikit dari sekian manusia yang tulus menjaga warung kopi di Jogja sebagai tukang parkir.
Dan saya pikir, orang-orang seperti Ubay yang menjadi sosok yang melekat dalam benak pengunjung. Juga identitasnya: Ubay Kobessah I
Penulis: Moddie Alvianto W
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Mato Kopi, Juru Kunci Warung, dan Alasannya Memilih Tak Menarik Biaya Parkir dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.