MOJOK.CO – Semenyedihkan kedengarannya, kesadaran mendadak bahwa saya pernah terlibat dalam hubungan Indomie satu setengah ini terasa menyakitkan.
Suatu hari, saya pernah secara tidak sengaja membaca pernyataan yang bunyinya kira-kira seperti ini: “Pacar itu kayak Indomie—satu kurang, dua kebanyakan.” Saya sempat takjub dulu sebentar—maklum, pengalaman saya mengenai dunia perpacaran memang tidak banyak—dan kemudian memutuskan membawanya ke tengah obrolan teman-teman perempuan saya agar mendapat opini yang, barangkali, akan bersifat lebih empiris.
Seperti yang sudah saya duga, beberapa teman langsung tertawa mendengar pernyataan barusan—entah karena memang benar, atau mereka juga sama tidak tahunya seperti saya. Namun, tiba-tiba seorang teman (sebut saja Maemunah) menceletuk seperti ini: “Indomie satu setengah aja dong kalau begitu.”
Saya tercengang, lalu bertanya, “Setengah itu maksudnya bagaimana?”
Maemunah menjawab lagi, “Ya, yang satu lagi nggak usah dipacarin.”
Obrolan itu langsung ditutup dalam tawa panjang karena, ehem, Maemunah memang pernah mempraktikkan perilaku demikian (sudah punya pacar, namun tetap dekat juga dengan cowok lain). Saya tertawa, dan tertawa, dan tertawa, lalu tiba-tiba merasa tertonjok sendiri ketika tiba-tiba menyadari suatu fakta—anjir, kalau begitu aku juga pernah dong jadi Indomie setengah!
Semenyedihkan kedengarannya, kesadaran mendadak bahwa saya pernah menjadi ‘Indomie setengah’ ini memang terasa cukup menyakitkan. Orang ini, yang mari kita sebut sebagai Bambang, hanya menginginkan ‘setengah’ dari diri saya belaka: percakapan-percakapan jam tiga pagi yang kami punya, kekaguman yang saya sediakan untuk ego rapuhnya, dan kesenangan-kesenangan lain yang saya berikan cuma-cuma. Bambang tidak ingin—atau bahkan tidak menyadari—bagian setengahnya lagi: bahwa saya sangat menyayanginya sampai ke tulang-tulang.
Saya sangat menyayanginya dan lama-lama lelah juga menahan-nahan perasaan sedih melihatnya bersama ‘Indomie satu’-nya.
Kisah ‘Indomie satu setengah’ ini masih suka teringat walaupun sudah usai sejak kemarin-kemarin, utamanya kalau teman-teman saya sedang datang bercerita dan meminta saran mengenai permasalahan serupa—entah dalam posisi ‘Indomie setengah’, atau bahkan si pemakan Indomie itu sendiri (ngomong-ngomong, iya, setelah percakapan dengan Maemunah itu, saya kemudian menyebarkan istilah ‘Indomie satu setengah’ sampai menjadi semacam pop reference di lingkaran pertemanan saya).
Seingin-inginnya saya mengguyurkan air dingin kenyataan ke kepala mereka bahwa cerita-cerita semacam ini tentu akan menyakiti hati seseorang bagaimanapun berakhirnya, saya tidak bisa tega karena saya mengerti betul rasanya. Ujung-ujungnya, saya hanya akan memeluk mereka sambil berkata, “Ya sudah, dinikmati saja dulu selagi sempat.”
Lalu, saya akan merasa menjadi orang jahat karena telah memberikan mereka validasi atas fenomena yang menyebalkan ini.
Yang lebih membuat saya merasa jadi orang jahat adalah fakta bahwa kenaifan adalah komposisi mutlak dalam resep ‘Indomie setengah’ ini. Ah, mungkin ini sementara. Mungkin kalau aku bertahan lagi sedikit, lama-lama dia akan melihatku sebagai ‘Indomie satu’-nya.
Hehehe, sebentar saya mau ketawa dulu karena—ya ampun, sedih juga ya??? Pemikiran-pemikiran demikian terasa begitu familiar sampai saya agak ngeri sendiri menuliskannya.
Salah satu momen yang membuat saya “tertampar” agar lekas-lekas menyudahi ibadah sedih (menangis jam tiga pagi di kamar kost sambil mendengarkan lagu-lagu Sisir Tanah) yang tidak jelas juntrungannya itu adalah ketika saya sedang menonton konser Stars and Rabbit dengan seorang teman. Dengan gayanya yang rancak dan suara yang mengawang-awang, Mbak Elda menutup konsernya yang indah dengan salah satu lagunya yang paling terkenal itu: “Man Upon the Hill”. Malam itu, mungkin juga karena sedang sedih-sedihnya soal Bambang, saya menangis begitu Mbak Elda mencapai bagian ini: “You found a new home, and I should be happy.”
Brengsek brengsek brengsek, kata saya dalam hati. Aku nggak mau nangis-nangis begini lagi!!!
Tentu saja, sepulang dari konser itu, saya menangis lama di kamar kost sampai hampir pagi, tapi saya mulai merasakan sebuah keberanian janggal untuk mengikhlaskan Bambang dan hubungan aneh yang dulu kami punya. Tidak mudah, sungguh, karena saya masih terus-terusan berpikir bahwa mungkin, mungkin suatu hari nanti Bambang akan tiba-tiba tersadar bahwa saya begitu menyayanginya dan dia akan menjadikan saya ‘Indomie satu’.
Namun—ini pil pahit yang tiap hari saya telan tiga kali—sekali porsi kamu di piring dia adalah setengah, bukan hal yang mustahil juga kalau selamanya kamu akan dianggap setengah.
Menjadi ‘Indomie setengah’ memang sesuatu yang problematis. Saya tidak benar-benar punya tips dan trik jitu untuk menghindarkan diri dari fenomena ‘Indomie satu setengah’ karena semua orang juga sebenarnya mafhum kalau perasaan bukan sesuatu yang bisa diatur secara rigid dan saklek. Namun, terlepas dari momen pencerahan yang saya dapatkan di konser Stars and Rabbit malam itu, saran saya mengenai permasalahan ini tentu saja tidak jauh berbeda dari saran-saran yang akan diberikan kepada orang-orang patah hati lainnya:
…bahwa kamu tidak bisa menyelamatkan semua orang, namun kamu selalu bisa menyelamatkan dirimu sendiri.
Menyelamatkan diri sendiri tentu bisa termanifestasikan menjadi begitu banyak pilihan hal untuk dilakukan: fokus belajar dan kuliah, misalnya. Atau, bisa juga kamu menuangkan kesedihan itu menjadi karya (Taylor Swift sudah dapat sekian banyak Grammy untuk lagu-lagu patah hatinya, loh!), tapi yang terpenting adalah, ya itu tadi, mengikhlaskan para Bambang ini dan hubungan aneh di antara kalian agar kamu tetap bisa melanjutkan hidup.
Dengan kata lain, tidak usahlah khawatir dulu soal jodoh dan perkara-perkara semacam itu. Yang terpenting, sekarang, yakini dulu bahwa kamu adalah Indomie jumbo, alih-alih berkubang lama-lama dalam hubungan yang memosisikan dirimu jadi Indomie setengah.
“Kenapa Indomie jumbo, Ned?” tanya saya kepada Juned, seorang teman, yang waktu itu sepertinya sudah capek mendengar cerita-cerita sedih saya.
“Karena Indomie jumbo itu satu, tapi mengenyangkan. Kita semua itu Indomie jumbo, tahu! Jangan mau diperlakukan kayak Indomie setengah-setengah lagi!” Juned menutup pembicaraan dengan berapi-api sampai saya terharu.
Oleh karena itu, my friends, mari kita amini kata-kata Juned kala itu: bahwa kita semua adalah Indomie jumbo dan kita pantas diperlakukan seperti layaknya Indomie jumbo yang satu, utuh, dan mengenyangkan.