MOJOK.CO – Kalimat Cak Roeslan dan Gus Dur adalah kalimat para pembaca awal buku Salman Rushdie di Indonesia. Roeslan membakar, Gus Dur menyiram.
Tiga puluh empat tahun, ya, sudah 34 tahun lamanya, karya Salman Rushdie berjudul The Satanic Verses terbit, dan penulisnya difatwa mati penguasa tertinggi Iran, Imam Khomeini. Sejak saat itu, perburuan dimulai. Butuh 34 tahun jarak hingga penikaman terjadi di New York saat sang pengarang berceramah.
Seperti namanya, “Rush-Die”, karya Rushdie berjudul The Satanic Verses, seolah mengutuk penulisnya: dia terus-menerus dikuntit kematian. Karyanya dilarang masuk di negeri-negeri dengan penduduk muslim yang melimpah. Nyawanya disayembarakan. Bahkan, majalah Panji Masyarakat edisi 1-10 Maret 1989, No. 604, hlm. 9 memuat karikatur bahwa barang siapa menghabisi Salman Rushdie bakal dihadiahi uang tunai sebesar “5.200.000 US$”.
Semua gara-gara karya yang satu ini: The Satanic Verses. Bukan karya yang lain. Bahkan, nama Salman Rushdie melambung menjadi perbincangan manusia sejagat hanya karena karya yang satu ini. Sebuah karya tulis yang sejak terbit pada 1988 sudah mengguncang dunia. Hubungan diplomatik Iran-Inggris-Amerika Serikat menegang dan tak bisa ditenggang lagi. Bom pertama pun meledak di sebuah masjid di Kota London pada 22 Februari 1989.
Cak Roeslan dan Gus Dur, pembaca awal buku Salman Rushdie di Indonesia
Di Indonesia, kelompok yang pertama kali memegang dan membaca buku ini terbilang sangatlah kecil. Dan, pada kelompok terkecil itu ada sosok seperti Roeslan Abdulgani dan ada pula sosok seperti Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Baik Cak Roeslan maupun Gus Dur, bukan saja menimang buku tebal 547 halaman terbitan Viking Penguin (London & New York) itu, keduanya juga membaca. Cak Roeslan bahkan menerjemahkan beberapa kutipan yang kemudian dimuat-kutip majalah Jakarta Jakarta edisi 5 Maret 1989, No. 139. Gus Dur, bukan saja sudah membaca, dia juga turut meresensinya.
Di majalah Editor edisi 18 Maret 1989, No. 29, resensi Gus Dur atas The Satanic Verses tidak dimuat di rubrik resensi seperti biasanya (Rubrik “Buku”), melainkan “Berita Utama”; bergabung dengan lima laporan panjang dengan judul sampul “Khomeini Menentang Barat”.
Resensi Gus Dur yang terasa “dingin” dan “datar”
Seperti biasa, Gus Dur, di tengah bara dunia membakar novel ini sepanjang tahun awal, 1988-1989, kalimat-kalimat resensinya sangatlah dingin. Datar. Terutama, tiga kalimat terakhir yang menjadi pamungkas resensinya.
Kalimat Gus Dur yang pertama atas The Satanic Verses: ” Terlepas dari penghinaan sengaja Salman Rushdie, harus diakui, plot novelnya sangat orisinal, dan unik pula. Antara masa kini dan masa lampau dijalin begitu rupa, sehingga antara fakta dan khayal berbaur menjadi satu. Masih bisa dikenali, mana yang khayal dan yang faktual, tetapi keduanya tidak dapat dipisahkan.”
Kalimat Gus Dur: “Gaya penceritaannya melompat-lompat, tetapi tidak membingungkan, karena terasa adanya perkembangan cerita dari satu tema ke tema yang lain. Bahasa yang digunakan prima, menunjukkan keahlian sangat tinggi dalam penguasaan bahasa sastra. Kata-kata disulap, artinya diputarbalikkan dengan mengubah satu dua hurufnya. Aktualitas situasi geografis dan etnografis menonjol dalam alur penceritaan tanpa mengganggu cerita.”
Kalimat ketiga: “Yang sangat mengagumkan adalah daya fantasinya yang kuat, yang diimbangi oleh penguasaan penuh atas deskripsi keadaan dan watak orang. Kalau parodinya diterima dengan parodi, misalnya oleh kaum non-muslim yang menjadi sasaran pembaca novel ini, dan bukannya sebagai hinaan, buku ini akan tampak sebagai novel yang mampu menampilkan sejarah dalam bentuknya yang paling konkret: jalinan persoalan masa lampau yang masih menggelinding ke masa sekarang.”
Itulah tiga kalimat pamungkas Ketua Umum Tanfidziyah PBNU, Abdurrahman Wahid.
Kerasnya tulisan Cak Roeslan
Bandingkan dengan kalimat Roeslan Abdulgani, salah satu aktor penting Pertempuran Surabaya ‘45, eksponen Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Menteri Penerangan di masa Bung Karno. Saat membaca The Satanic Verses, jabatannya adalah Tim Penasehat Presiden Soeharto dalam segi Pelaksanaan P4 atau Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Semacam BPIP saat ini.
Dua-duanya penulis subur. Dua-duanya pembaca buku yang rakus.
Kalimat Cak Roeslan atas The Satanic Verses termuat di cerita sampul Jakarta Jakarta dengan judul sangar: “Bencana Buku Jahanam”.
Kalimat pertama Roeslan Abdulgani pertama atas The Satanic Verses: “Bila Rushdie hanya bertitik tolak dari dongengan para Orientalis, novel fiksinya tak akan melahirkan reaksi sedahsyat sekarang. Kaum orientalis, di zaman kolonial, terkenal rajin memburuk-burukkan ajaran islam. Beberapa cara kaum Orientalis menghina Nabi, antara lain dengan memutar balik dan memalsu sejarah kehidupan Nabi. Ada juga yang melemparkan dongeng seakan Kitab Suci Al-Quran tidak berasal dari Wahyu Tuhan. Para Orientalis berusaha meyakinkan ada bagian Kitab Suci yang datang dari bisikan Setan! Akibatnya, ada bagian Kitab Suci berisi Surat-Surat Setan.”
Kalimat kedua Roeslan Abdulgani: “Isi novel ini penuh dengan kebohongan, cemoohan, insinuasi, dan penghinaan kasar terhadap ajaran Islam serta sejarah Nabi. Kebusukan isi novel ini masih ditambah nada tulisan berbau porno dan penggunaan kata-kata urakan. Istilah-istilah ‘prokem’ dari bahasa informal yang hidup di Kota Bombay dan London digunakan Rushdie.”
Kalimat Cak Roeslan dan Gus Dur adalah kalimat para pembaca awal The Satanic Verses di Indonesia. Roeslan membakar, Gus Dur menyiram. Jumlah yang bersikap seperti Roeslan dominan, jumlah pembaca yang bersikap seperti Gus Dur minoritas.
The Satanic Versis tak boleh masuk Indonesia
“Di belakang novel fiksi The Satanic Verses terdapat niat untuk menghina Islam dan Nabi. Kebebasan berpendapat digunakan Rushdie untuk mempermalukan Islam, Rasulullah, dan keluarganya. Jadi, tak ada toleransi bagi Rushdie. Kemarahan Khomeini menggelegak karena Rushdie menghina Allah dan Nabi. Bila sebuah buku hanya menghina Khomeini pribadi, ia tak akan bereaksi teramat keras, seperti buku Tragedi Revolusi Iran karya Dr. Mousavi,” komentar Jalaluddin Rakhmat.
Pemerintah, dalam hal ini Departemen Agama, juga disokong ormas-ormas dominan satu suara dengan kalimat Cak Roeslan, buku Salman Rushdie ini tidak boleh masuk di Indonesia. Masuk saja tak boleh, apalagi ada yang coba-coba menerjemahkannya.
“Sangat berbahaya membiarkan sebuah karya jatuh ke tangan kelompok masyarakat yang belum bisa menerima isi karya itu. (Sebab) ada bagian masyarakat Indonesia yang tingkat pemahamannya masih rendah. Masyarakat kelas itu tak bisa dibandingkan dengan lapisan yang punya kedalaman menilai sebuah karya,” kata A.R. Fachruddin, Ketua PP Muhammadiyah.
Pemerintah dan ormas dominan memang sangat berhati-hati dengan posisi The Satanic Verses. Belum lagi, ini penghujung tahun ketegangan “asas tunggal Pancasila” dan dekade teror; dari kasus Tanjung Priok, bom BCA, peledakan Candi Borobudur, pembajakan pesawat Woyla, hingga pembantaian kelompok pengajian Warsidi di Lampung.
Pada masa cooling down setelah pemadaman “Teror Ideologi Negara”, pemerintah tidak ingin bertindak gegabah. Membela Salman Rushdie bukan kebijakan yang tepat yang bisa jadi dalih bagi “pengubah ideologi negara” untuk tampil lagi di atas panggung. Walaupun, kebijakan nasional Indonesia dengan negara-negara Barat sangat harmonis.
Karena itu, suara pemerintah yang tepat adalah seperti kalimat Roeslan Abdulgani dan bukan seperti kalimat Abdurrahman Wahid yang masih menyisakan pesona atas Salman Rushdie. Kalimat Gus Dur lamat-lamat; kalimatnya terdengar sangat lirih. Dengan kata lain, suara seperti Gus Dur riak kecil dalam gelombang protes dan sengketa politik yang sangat keras.
Mula-mulanya adalah karya sastra
Memang, mula-mula, The Satanic Verses adalah karya sastra yang dijadikan dalih atas permusuhan politik yang berlangsung lama dan laten antara Amerika Serikat dan sekutu-sekutu Barat-nya dengan Iran. Tapi, seiring waktu, fatwa yang lahir 34 tahun itu tak pernah dicabut. Juga, tak pernah dilupakan Iran sebagai sebuah negara.
Bagi Iran, bagaimana pun dan kapan pun, Salman Rushdie adalah pengarang yang menjadi musuh mereka. Misalnya, pada 2015, saat Indonesia menjadi “Tamu Kehormatan” di acara Pekan Raya Buku Frankfurt, dalam buku acara nongol nama “Salman Rushdie” sebagai salah satu yang (bakal) berceramah.
Seperti pada 1988-1989, sikap negeri mullah itu diperlihatkan oleh stand buku Iran yang langsung mengosongkan booth mereka yang luas dan memasang semacam police line. Itu terjadi sejak hari pertama dalam lima hari pameran. Artinya, fatwa perburuan Salman Rushdie itu tak pernah padam, walau tidak sesangar di tahun-tahun awal saat buku tersebut terbit.
Rentang waktu 34 tahun
Dan, di tahun ke-34, setelah sekian lama operasi perburuan di banyak negara, Salman Rushdie ditikam. Di New York, pada 1989, demo besar anti Rushdie meledak, di New York pula, Rushdie ditikam.
Koran New York Times edisi 17 Februari 1989 terasa dekat sekali saat pertama kali memuat surat pledoi Salman Rushdie atas The Satanic Verses yang mengguncang dunia itu. Dan, 34 tahun kemudian, di koran yang sama, edisi 12 Agustus 2022, New York Times menurunkan berita: “Salman Rushdie Is Attacked in Western New York“.
Di rentang tahun-tahun berapi atas The Satanic Verses yang dimulai dari fatwa dan “diakhiri” dengan penikaman itu pernah ada resensi Gus Dur yang datar dan dingin berjudul “Bukan Hanya Parodi”.
BACA JUGA Cara Gus Dur Mengkritik dan Menjawab Kritik sambil Menertawakan Diri Sendiri dan kisah menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Muhidin M. Dahlan
Editor: Yamadipati Seno