MOJOK.CO – Bukan putra mahkota, tak punya darah biru, tapi kepingin banget jadi raja, ya jalan satu-satunya bikin kerajaan kayak Keraton Agung Sejagat.
Setiap orang—paling tidak sekali dalam hidupnya—mungkin pernah mengimajinasikan dirinya menjadi seorang raja. Hidup enak, perintahnya selalu dituruti, punya kekuasaan yang luas, dan kalau mati namanya bakal dikenal berabad-abad kemudian.
Hm, kepinginan yang sah-sah saja. Hanya saja, yang berat, adalah bagaimana mewujudkan mimpi itu bisa hadir di alam nyata.
Apalagi ketika sadar, kalau impian itu tidak mungkin terjadi karena berbagai sebab. Misal, kamu bukan keturunan raja, kamu bukan putra mahkota, atau kamu tidak memiliki setetes pun darah biru. Kalau nasibmu seperti itu dan masih kepingin benar-benar jadi raja, ya jalan satu-satunya jelas bikin kerajaan.
Namun, itu pun tak semudah diucapkan. Butuh modal besar untuk membangun sebuah kerajaan. Mulai dari menyiapkan kelengkapan struktur kerajaan, sarana prasarananya, sampai hal-hal yang paling renik, yaitu aksesoris yang dijadikan atribut punggawa kerajaan.
Semua itu pasti tidak gratisan alias akan menguras isi dompet sampai isi kartu kredit. Dibutuhkan pula kerja banyak orang.
Para pemikir yang bertugas merancang konsep dasar dan aturan hukum kerajaan, serta perangkat struktur kerajaan; arsitek yang bertugas merancang infrastruktur kerajaan; kuli bangunan yang jumlahnya tidak sedikit; tukang desain yang tugasnya merancang desain logo sampai atribut kerajaan; dan sebagainya, dan sebagainya.
Wah, betapa mahalnya harga sebuah mimpi kalau begitu.
Ya memang sangat mahal. Sangat tidak mungkin dijangkau bagi orang-orang yang pikirannya pas-pasan seperti saya. Butuh kegilaan ekstra dan punya dedikasi mengerikan untuk bisa mewujudkannya.
Memang kamu pikir raja-raja zaman dulu tidak butuh kegilaan serupa? Ya jelas butuh juga. Karena mereka sukses jadi raja saja akhirnya predikat gila itu tak pernah tersemat. Coba kalau gagal. Bukan hanya dianggap gila, tapi malah nyawa satu keluarga taruhannya.
Masalahnya kalau bicara pada era medsos seperti sekarang, orang yang kepikiran untuk bikin kerajaan juga perlu untuk menyediakan pelapis wajah yang sangat tebal dan ekstra kebal. Paling tidak untuk bisa tahan jika di kemudian hari ada pihak-pihak yang mencemooh dan mem-bully beramai-ramai.
Soalnya, sangat mudah bagi warganet melontarkan komentar-komentar pedas dengan tingkatan kepedasan yang bervariasi, mirip mie ramen yang sedang ramai bertebaran di warung-warung gaya baru yang mengesankan diri sebagai warung milenial.
Belum lagi ketika nanti harus berurusan dengan aparat keamanan negara. Seorang raja baru dengan kerajaan barunya mesti siap dituduh sebagai pengacau negara, pengkhianat negara, pemberontak, dan berbagai macam tuduhan lain yang serupa.
Nah, kalau sudah dituduh semacam itu, maka ia mesti pandai mengelak dengan memanfaatkan dan memainkan pasal-pasal hukum, jika ingin tidak terjerat teralis besi. Hukumannya juga berat loh kalau sudah divonis sebagai pemberontak negara. Saya juga takut kalau dituduh semacam itu. Otomatis, ia mesti menggunakan jasa pengacara yang memang benar-benar top markotop!
Kalau menimbang-nimbang dari persiapan itu semua, maka apa yang dilakukan Sinuhun Totok Santosa Hadiningrat, adalah hal yang benar-benar ekstra gila untuk ukuran kekinian. Terutama di zaman sekarang.
Sementara sebagian besar orang tidak berani mewujudkan imajinasinya, Sinuhun Totok benar-benar mampu mendirikan Keraton Agung Sejagat. Serta melakukan hal-hal di luar batas kewarasan orang-orang pada umumnya.
Terlepas, apakah yang dilakukan itu benar atau salah, baik atau jahat, sang raja baru ini telah membelalakkan mata publik dan dapat mengalihkan perhatian publik sejenak.
Ya, mungkin sebagai bagian dari intermezo di tengah-tengah penatnya dunia maya belakangan yang ramai lagi soal politik negeri +62.
Totok Santosa Hadiningrat sang Raja Keraton Agung Sejagat telah menyelenggarakan hiburan berbiaya mahal. Keterlibatan orang-orang di sekitarnya yang juga mengiurkan bagi berdirinya kerajaan baru itu adalah bukti bahwa Totok merupakan sosok yang lihai memainkan peran.
Ini jelas jadi tanda bahwa dia bukan orang sembrambangan.
Paling tidak, Totok berhasil meyakinkan orang-orang di sekitarnya untuk di-casting, diberi peran, diseragami, lalu memainkan “pentas teater” bersamanya.
Hm… saya kira, dia tidak hanya seorang aktor, melainkan pula seorang sutradara sekaligus produser yang pandai merebut hati orang-orang. Dan harus diakui, kharisma seperti itu (sampai dipercaya banyak orang) adalah salah satu kiat—bukan satu-satunya—sebuah kerajaan bisa berdiri.
Wong saat ditangkap saja, pasal yang dijeratkan ke Raja Keraton Agung Sejagat ini hanya pasal penipuan dan penyebaran berita bohong. Sama sekali tidak menggunakan pasal-pasal yang berkaitan dengan keamanan negara.
Dengan kata lain, Sinuhun Totok dengan kerajaan Keraton Agung Sejagatnya ini tidak dipandang sebagai ancaman negara. Hmmm. Benar-benar cara mewujudkan mimpi yang “berkelas” bukan? Apalagi di era sekarang ini.
Oke deh, umur Keraton Agung Sejagat yang dibangun Sinuhun Totok memang hanya sak ucrit, tapi itu tetap tidak bisa menampik bahwa Sinuhun Totok telah sukses bikin kerajaan. Perkara durasi kerajaannya cuma kayak cameo di iklan sosis doang kan ya itu sudah lain soal.
Di balik segala kontroversi dan celotehan miringnya, saya harus ucapkan selamat, karena segila apapun Keraton Agung Sejagat itu, saya tak pernah berhenti berdecak kagum dengan kenekatan Yang Mulia Sinuhun Totok.
Paling tidak, Raja Keraton Agung Sejagat ini sempat hidup dalam mimpinya yang luar biasa edyan itu, sementara sebagian besar dari kita tak pernah punya nyali untuk sekadar membayangkannya. Padahal mimpi-mimpi itu tak segila milik Sinuhun Totok Santosa Hadiningrat.
BACA JUGA Keraton Agung Sejagat dan Hinaan Pada Hidup Kita yang Tak Kunjung Selesai atau tulisan rubrik ESAI lainnya.