MOJOK.CO – Hari kemenangan tiba, manusia disucikan dari dosa-dosanya. Bagaimana memahami seagung apa Tuhan dengan gelar Maha Pengampun-Nya pada hari raya Idul Fitri?
Jelas Gus Mut masih merasa ngeri mendengar pengakuan dosa dari tamunya pagi itu pada hari raya Idul Fitri. Tamu yang hadir bersama Fanshuri ini benar-benar mengganggu perasaan Gus Mut. Ceritanya sungguh di luar nalar. Bagaimana mungkin ada seorang bapak yang tega memperkosa anaknya sendiri?
(Baca kisah sebelumnya “Yakin Kamu Kuat Mendengar Sebesar Apa Dosa Manusia… (Bagian 1)”)
Gus Mut kehabisan kata-kata. Apalagi menurut pengakuan si tamu, dosa sekeji itu masih belum seberapa dibanding dosa-dosa selanjutnya.
“Jadi gimana Gus Mut? Apa perlu saya lanjutkan?” tanya Daryo, tamu Gus Mut pagi itu.
Tangan Gus Mut mendadak bergetar, tanpa sadar dirinya gentar. Ada rasa jijik yang muncul tiba-tiba. Rasa-rasanya ingin mual. Di sisi lain ada rasa ingin tahu juga. Rasa penasaran. Bagaimana bisa ada dosa yang lebih besar dari mencabuli anak sendiri?
“Baiklah, Gus. Saya tahu, saya paham betul kalau Gus Mut tidak merasa nyaman mendengar cerita saya. Saya akan undur diri kalau Gus Mut tidak berkenan saya di sini,” ujar Daryo.
“Oh, tidak, Pak Daryo, tidak. Silakan lanjutkan ceritanya. Kita belum selesai,” kata Gus Mut, kali ini sambil membenarkan duduknya.
“Tapi sebelum sampeyan lanjutkan, saya ingin tanya satu hal kalau diperbolehkan,” kata Gus Mut.
“Silakan, Gus.”
Gus Mut menarik napas, mencoba mengumpulkan keberanian. “Saya ingin tahu, apakah sampeyan melakukannya hanya sekali itu saja?”
Mendengar itu, air muka Daryo berubah. Tidak tampak kata-kata yang akan muncul dari mulutnya. Daryo hanya diam, tidak mengisyaratkan apa pun. Melihat ekspresi wajah Daryo, Gus Mut langsung tahu.
“Astagfirullah, Pak. Naudzubillah,” kata Gus Mut langsung kembali lemas.
“Saya tidak tahu Pak Daryo, apakah saya adalah orang yang pas untuk menilai dosa-dosa sampeyan, bahkan saya ragu apakah saya kuat mendengar cerita lanjutannya. Meski begitu, saya pikir, saya sudah tanggung kepalang basah. Jadi sepertinya saya harus mendengarkan terus, baru nanti saya bisa menilai secara keseluruhan. Tidak baik juga menilai sesuatu dari informasi yang tak utuh,” kata Gus Mut.
Fanshuri yang mengantarkan Daryo ke kediaman Gus Mut cuma tertunduk. Tidak berani komentar apa-apa. Daryo melirik ke arah Fanshuri, seolah meminta kekuatan. Sejenak mengambil napas, lalu melanjutkan ceritanya.
“Saya melakukan itu dengan sembunyi-sembunyi tentu saja. Istri saya tidak pernah tahu. Anak saya memang sudah saya ancam jangan sampai dia cerita ke ibunya. Tapi bau busuk tetap tidak bisa disembunyikan. Mau secanggih apa pun pada akhirnya perbuatan ini ketahuan juga,” kata Daryo.
Kali ini guratan wajah Gus Mut mulai berubah. Kerutan wajah yang ramah hilang sudah.
“Anak saya terlambat datang bulan.”
Napas Gus Mut seperti terhenti. Ada kemarahan yang terpendam begitu dalam, tapi masih berusaha untuk terus ditangguhkan.
“Istri saya yang menyadari. Saya menduganya seperti itu,” lanjut Daryo.
“Kok sampeyan duga?” tanya Gus Mut.
“Karena saat saya pulang ke rumah, rumah saya sudah ramai oleh warga. Istri saya ditemukan tetangga-tetangga saya sudah gantung diri.” Daryo tidak sanggup melanjutkan kalimatnya. Ada getaran hebat sampai dia lagi-lagi menangis. Getaran yang sama juga muncul dari Gus Mut, hanya saja getaran itu getaran kemarahan.
“Memangnya anak sampeyan di mana?”
Perlu waktu beberapa saat untuk Daryo melanjutkan. “Bunuh diri juga, Gus. Mungkin depresi melihat mayat ibunya dan bingung mengandung anak dari ayah kandungnya sendiri.”
“Naudzubillah. Innalilahi… Ya Allah Ya Rabbi,” kata Gus Mut memejamkan mata. “Bagaimana mungkin sampeyan bisa jadi orang sehina itu, Pak Daryo? Sampai seperti itu,” Gus Mut ingin melontarkan kata-kata kasar, tapi…
“Tapi itu belum selesai Gus Mut,” kata Fanshuri tiba-tiba.
Gus Mut terkejut.
“Benar, Gus. Itu belum selesai,” kata Daryo.
“Bagaimana bisa hal semengerikan itu belum juga selesai?” tanya Gus Mut.
“Setelah jenazah istri dan anak saya berada di kamar mayat, ketika tidak ada orang di sana, saya melakukannya, Gus, saya…” Daryo hampir kehilangan kesadaran, wajahnya merah. Entah karena malu atau takut.
“Apa yang kamu lakukan Pak? Apa?” tanya Gus Mut cepat.
“Saya, saya menyetubuhinya, Gus… menyetubuhi jenazah anak saya. Tidak berhenti-henti. Ngeri saya Gus kalau mengingatnya lagi. Takut saya Gus, takut. Bahkan saya lebih takut akan ingatan akan dosa itu Gus daripada neraka, Gus…” ujar Daryo sambil bersujud menangis begitu hebat. Bersujud menghadap Gus Mut, seolah-olah Gus Mut adalah anak yang sudah diperkosanya, lalu memohon ampun yang sebenar-benarnya.
Napas Gus Mut mendadak jadi berat. Urat-urat kemarahan sepertinya sudah tak bisa lagi ditahan-tahan. Gus Mut langsung berdiri di hadapan Daryo yang masih bersujud menangis hebat.
“Kamu harusnya malu, Pak. Malu sama dirimu sendiri. Melakukan kelakuan sehina itu pada anak dan istri sendiri. Malu sebagai manusia. Malu kepada Tuhan dan Nabimu, Nabi Muhammad. Bahkan siksa neraka paling pedih pun tidak cukup untuk meleburkan dosa-dosamu itu, Pak,” kata-kata kasar Gus Mut keluar.
“Sekarang pergi dari rumah saya. Pergi dari kampung ini juga. Jangan sekali-kali kamu menginjakkan kaki di wilayah ini lagi. Jangan pernah. Aku tidak sudi melihat batang hidungmu lagi!” usir Gus Mut begitu keras.
Fanshuri yang tadi ada di tengah-tengah keduanya terkejut. Seumur-umur baru kali ini dia melihat Gus Mut marah begitu hebat. Bahkan sampai mengusir orang lain. Gus Mut yang selalu ramah, Gus Mut yang selalu mengayomi siapa pun, tiba-tiba jadi begitu keras dan kasar. Ini adalah pemandangan pertama yang dilihat Fanshuri.
Daryo pun undur diri. Bahkan permintaan salaman untuk berpamitan pun ditampik oleh Gus Mut. Begitu si tamu keluar ruangan, Gus Mut pun masuk ke dalam. Mungkin Gus Mut perlu menenangkan diri sejenak.
Cukup lama Fanshuri berada di ruang tengah sendirian tanpa tahu harus berbuat apa. Tak terbayangkan sebelumnya, pada hari Idul Fitri seperti ini dirinya harus menjadi saksi peristiwa tidak menyenangkan. Sampai beberapa saat kemudian Gus Mat keluar.
“Kamu bawa motor, Fan?” tanya Gus Mut.
“Bawa Gus, gimana?”
“Tolong antarkan saya ke rumah Abah,” kata Gus Mut. Abah yang dimaksud adalah ayah Gus Mut, Kiai Kholil yang tinggal tidak jauh.
Tak berselang lama Fanshuri dan Gus Mut datang ke kediaman Kiai Kholil. Begitu datang Gus Mut langsung menyalami Kiai Kholil. Gemetar tangannya masih terasa. Baru saja ada peristiwa dahsyat yang menggetarkan hati dan pikirannya. Kiai Kholil tentu bingung apa yang baru saja terjadi dengan anaknya, sampai kemudian Gus Mut menceritakan semuanya.
Gus Mut menceritakan dengan begitu detail. Bagaimana dia bisa bertemu, lalu mendengar cerita tamu yang mengacaukan hari raya Idul Fitrinya. Benar-benar menceritakan semuanya. Hal-hal menjijikkan sekaligus kengerian-kengerian yang dirasakannya.
Kiai Kholil mendengarkan dengan seksama. Tak ada lontaran pertanyaan sama sekali saat mendengar anaknya bercerita. Beberapa kali zikir keluar lirih dari mulutnya. Beberapa kali pula Kiai Kholil refleks istigfar sambil mengelus dadanya.
Setelah cerita usai, Kiai Kholil memandang anaknya tak percaya. Tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
“Bagaimana menurut Abah?” tanya Gus Mut cemas.
Kiai Kholil tidak menjawab. Dia hanya berdiri, lalu masuk ke dalam dan meninggalkan Gus Mut dan Fanshuri begitu saja. Mengambil air wudu, mencoba terus istigfar, mencoba terus untuk menenangkan diri. Setelah waktu berlalu cukup lama Kiai Kholil kembali menemui anaknya.
“Mut,” kata Kiai Kholil menepuk pundak Gus Mut lalu duduk di sebelah begitu dekat.
“Apakah kita makhluk Tuhan ini berhak menerima tobat seseorang? Berhak mengampuni dosa seseorang?” tanya Kiai Kholil.
Gus Mut menunduk. Dia tahu betul jawabannya. Sangat tahu. “Iya, Bah, kita memang tidak berhak. Hanya Tuhan Pemilik Semesta yang punya hak atas itu, ta, tapi…”
“Mat, lalu kenapa merasa jadi berhak untuk menganggap seorang makhluk layak masuk neraka atau tidak hanya dari ceritanya?” tanya Kiai Kholil.
“Sebab, Bah. Dosa orang ini sangat menjijikkan. Mengerikan. Memangnya Abah tidak ngeri dengan tindakan sehina itu? Bahkan hewan pun tidak akan melakukannya,” kata Gus Mut.
“Jelas Abahmu ini juga ngeri mendengarnya. Takut bahkan lebih tepatnya. Ada juga rasa marah yang luar biasa. Namun dari hal itu, Abahmu ini jadi belajar sesuatu, bahwa ‘Ar-Rahman’ dan ‘Ar-Rahim’ dari Tuhan itu tidak sembarangan. Itu gelar yang agung, yang kadang-kadang sudah terlalu disederhanakan oleh manusia-manusia seperti kita ini,” lanjut Kiai Kholil.
Gus Mut bergeming.
“Abah berharap itu juga membukakan matamu, Mut. Gelar ‘Maha Pengampun’ itu bukan gelar sembarangan. Coba sekarang kamu pikir, Mut, pikirkan bagaimana setiap tahun Tuhan membersihkan dosa-dosa seluruh muslim saat Idul Fitri seperti ini. Dosa kita semua, dosamu, dosa Abah, bahkan mungkin dosa tamu yang datang ke rumahmu tadi. Sekarang coba bayangkan, betapa besar anugerah pengampunan itu untuk manusia yang masih hidup di bumi ini? Apa kamu tidak merasakannya juga, Mut? Merasa bahwa kita sebagai hamba-Nya, benar-benar kecil sekali dan tidak pantas untuk menerima pengampunan seperti itu?”
Gus Mut hanya terdiam. Kepalanya masih menunduk. Ada rasa penyesalan di dadanya. Penyesalan yang lahir bukan hanya dari tindakannya mengusir tamu dari rumahnya, tapi juga penyesalan karena sudah meremehkan Tuhan. Meremehkan Sang Maha Pengampun pada hari Idul Fitri, hari agung pengampunan.