MOJOK.CO – Diambil dari kisah nyata yang bisa jadi pelajaran betapa ada banyak cara Tuhan membantu hamba-Nya. Apalagi untuk sosok saleh kayak Kiai Kholil.
Sejak menikah dan sudah berkeluarga, Gus Mut tidak pernah bergantung lagi ke Kiai Kholil meski rumah bapak-anak ini cuma selemparan batu. Hanya saja, sore itu tidak biasanya Gus Mut merasa malu-malu di hadapan abahnya sendiri. Ada situasi khusus yang membuat Gus Mut jadi seperti kucing di hadapan majikannya kala itu.
Gus Mut terpaksa harus mengadu ke abahnya karena ada kebutuhan ekonomi yang sangat mendesak. Gus Mut memang butuh uang yang tak sedikit untuk beberapa waktu ke depan. Alasannya karena Gus Mut bakal segera merampungkan sekolah doktornya di salah satu kampus Islam terkemuka di daerahnya.
Masalahnya, untuk ujian disertasi terbuka, Gus Mut membutuhkan uang cukup banyak. Tabungan Gus Mut sudah hampir habis untuk penelitian disertasinya, kali ini untuk ujian terbukanya Gus Mut butuh uang lagi. Masih ada sisa tabungan cukup banyak, tapi Gus Mut tahu tabungannya kali ini sudah tidak cukup lagi.
“Memang kamu butuh berapa, Mut?”
“Tapi, aku pinjam lho, Bah, ini. Aku bakal balikin semua. Cuma nyicil,” kata Gus Mut sambil terkekeh.
“Iya, abahmu itu tahu kalau kamu pasti bakal ngomong begitu. Aku cuma tanya, kamu butuh berapa?” tanya Kiai Kholil lagi.
Kali ini Gus Mut malah jadi salah tingkah mendengar pertanyaan abahnya. Sambil berusaha menguatkan hati.
“Aku masih punya punya 30-an juta, Bah. Setelah aku hitung-hitung lagi, ternyata masih kurang 50 juta,” kata Gus Mut.
Air muka abah Gus Mut terlihat sedikit terkejut mendengar besaran angka yang disebutkan putranya. Melihat hal itu Gus Mut buru-buru memberi sedikit pemakluman.
“Tapi kalau misal Abah nggak punya ya nggak usah dipaksa. Aku juga tahu itu bukan angka kecil. Niatnya sih aku cuma mau curhat ke Abah aja. Kalau memang Abah belum ada, aku cuma mau minta pertimbangan apa sebaiknya aku pinjam ke bank saja ya?” kata Gus Mut buru-buru.
“Untuk apa kamu pinjam ke Bank? Sudah lah, biar Abah yang urus.”
Gus Mut bingung. Sejenak tadi, Gus Mut tahu betul air muka abahnya menyiratkan kalau mereka berdua sedang sama-sama tak punya duit sebanyak itu.
“Kalau memang nggak ada, terus mau cari ke mana, Bah?” tanya Gus Mut.
Kiai Kholil cuma tersenyum mendengarnya.
“Ya nanti aku bongkar-bongkar di bawah sajadah,” kata Kiai Kholil yang bikin Gus Mut tertawa. Gus Mut tahu, abahnya cuma berkelakar.
Gus Mut pun pulang, sambil membawa perasaan sungkan. Meski dalam hati kecilnya, Gus Mut merasa lega sudah bisa terbuka dengan abahnya.
Malam hari, Kiai Kholil salat malam lebih lama dari biasanya. Jika memang dirinya tidak mampu memenuhi harapan putranya, Kiai Kholil yakin Allah pasti bisa mengabulkannya. Kalau toh memang jalannya pertolongan dari Allah itu lewat abahnya Gus Mut, ya itu bonus. Jika pun tidak dikabulkan, ya tidak mengapa.
Keesokan harinya, Kiai Kholil memanggil Fanshuri, salah satu santri, ke kediamannya. Sekitar pukul 10 pagi Fanshuri datang. Tanpa basa-basi, Kiai Kholil meminta Fanshuri untuk bongkar-bongkar lemari di dalam rumah.
“Ada apa, ya Pak Kiai? Kok sampai lemarinya dibongkar-bongkar begini?” tanya Fanshuri bingung.
“Ini, aku ini lagi nyari-nyari uang di lemari. Aku ini kan pelupa, Fan. Suka naruh-naruh uang sembarangan di dalam lemari. Maksudku manggil kamu itu untuk bantuin nyari-nyari duit. Mataku ini kan agak rabun. Jadi aku minta tolong kamu,” kata Kiai Kholil.
Bisa saja Kiai Kholil minta tolong Gus Mut untuk hal ini, cuma Kiai Kholil tidak ingin putranya tahu bahwa dia cukup repot mencari-cari uang. Takut saja putranya merasa bersalah kalau sampai tahu pemandangan ini, makanya justru Fanshuri yang dipanggil—alih-alih Gus Mut.
Fanshuri pun menemukan beberapa lembar uang. Cukup banyak, meski—tentu saja—masih jauh dari permintaan Gus Mut.
“Ada banyak nih, Pak Kiai,” kata Fanshuri.
“Oh, ada berapa, Fan?”
“Ada 500-an ribu, Pak Kiai.”
“Alhamdulillah,” kata Kiai Kholil.
“Eh, tapi di sini ada buku tabungan, Pak Kiai. Atas nama Pak Kiai. Lho memang sejak kapan Kiai Kholil punya rekening tabungan di Bank?” tanya Fanshuri.
Awalnya Kiai Kholil agak terkejut mendengar dirinya punya buku tabungan. Perasaan selama ini dia tidak pernah nabung di Bank. Maklum, sebagai orang sepuh, uang tunai biasa disimpan dalam lemarinya begitu saja.
Sampai kemudian Kiai Kholil mengingat-ingat lagi.
“Oh, iya, Fan. Aku baru ingat. Sekitar, eee, mungkin 20-an tahun lalu pernah ada orang yang sowan ke sini. Curhat begitu soal usahanya yang bangkrut. Terus aku bantu, eh, beberapa hari kemudian si orang itu kasih buku tabungan itu atas namaku setelah sebelumnya pinjam KTP dan minta surat kuasa begitu,” kata Kiai Kholil.
“Memang siapa sih Pak Kiai, orang yang bikinkan buku tabungan ini?” tanya Fanshuri.
“Aminudin. Itu lho pemilik toko elektronik di samping jalan kabupaten,” kata Kiai Kholil.
“Oh, pasti udah lama sekali ya, Pak Kiai? Ini buku tabungannya udah lusuh begini,” kata Fanshuri.
Mendadak Kiai Kholil terperanjat, jangan-jangan di situ ada uang tabungan yang lumayan.
“Coba kamu cek, Fan. Ada uangnya nggak itu di buku tabungan.”
“Kosong, Kiai. Nggak pernah diisi kan? Ya nggak ada isinya sama sekali dong,” kata Fanshuri menunjukkan isi buku tabungan yang benar-benar bersih.
Kiai Kholil sedikit kecewa, tapi karena kadung sudah menemukan buku tabungan dan ada uang 500 ribu, lalu muncul ide lain.
“Gini aja, Fan. Ketimbang buku tabungan itu mubazir, itu uang 500 ribu tadi kita masukin ke tabungan bisa nggak ya?” tanya Kiai Kholil.
“Ya harusnya bisa, Pak Kiai,” kata Fanshuri.
“Yah, itung-itung aku pingin nabung juga,” kata Kiai Kholil. “Kamu bisa antar aku ke Bank, Fan?”
“Oh, bisa, Pak Kiai.”
Keduanya lalu ke Bank. Sambil ditemani Fanhsuri, Kiai Kholil memasukkan uang 500 ribu ke petugas bank. Petugas lalu memberikan lagi buku tabungan ke Kiai Kholil usai transaksi. Karena tidak bisa melihat begitu jelas, Fanshuri dimintai tolong untuk mengecek lagi isi buku tabungannya.
“Tolong, Fan. Duitnya udah masuk apa belum,” kata Kiai Kholil memberikan buku tabungannya ke Fanhsuri.
Sesaat Fanshuri terkejut melihat isi saldo di buku tabungan tersebut.
“Sebentar, Pak Kiai. Ini kayaknya ada kesalahan,” kata Fanhsuri.
“Kesalahan gimana?”
Tanpa mendengar, Fanshuri menuju ke petugas.
“Mbak, sebentar, Mbak. Ini kayaknya ada kesalahan,” kata Fanshuri ke petugas.
“Kesalahan gimana ya, Mas?” tanya petugas.
“Ini kan tadi Pak Kiai masukin duit 500 ribu. Ini kenapa saldonya jadi kelebihan dua nol ya?” tanya Fanshuri.
Jantung Kiai Kholil hampir saja copot mendengar samar-samar pembicaraan Fanshuri dan petugas. Petugas bank cuma tersenyum, lalu menjelaskan dengan santai.
“Begini, Mas. Dalam 20 tahun ini ada transaksi uang masuk ke rekening Bapak Kholil, Mas. Setiap bulan ada uang masuk ke rekening ini atas nama Aminudin. Karena buku tabungan ini baru diprint sekarang, jadi kami akumulasi, kebetulan total saldo sebelumnya 49.500.000. Nah, terus dengan masuknya tabungan 500 ribu yang tadi, jadinya ya pas 50 juta,” jelas petugas bank.
Tentu saja Kiai Kholil tidak percaya begitu saja dengan apa yang didengarnya. Rasanya benar-benar ingin pingsan karena begitu gembiranya. Tak henti-hentinya Kiai Kholil mengucap syukur.
Sampai kemudian Kiai Kholil menjelaskan duduk perkara soal Gus Mut yang sedang butuh duit 50 juta kepada Fanshuri dan petugas bank. Mendengar penjelasan itu, terang saja Fanshuri dan petugas bank melongo.
Selang tak berapa lama Fanshuri malah beceloteh, “Waduh, Pak Kiai. Kenapa Pak Kiai cuma minta 50 juta ke Gusti Allah? Kan ini jadi nggak ada sisa buat kita berdua.”
Seisi bank lalu meledak oleh tawa.
*) Diinspirasi dari kisah nyata.