MOJOK.CO – Ada rasa khawatir untuk ikut berkurban di Idul Adha akan dilarang. Sebab, tamu Gus Mut ini hanya mampu kurban ayam. Apa tidak boleh?
Di tengah-tengah permainan catur Fanshuri dan Gus Mut di teras rumah, datang seorang tamu. Datang malu-malu dan seperti penuh rasa takut. Berkali-kali celingak-celinguk terlihat bingung.
Dari pakaiannya, terlihat bahwa tamu ini berusaha berpakaian serapi dan sesopan mungkin, terlihat dari batik yang dikenakan terlihat lusuh dan sudah agak luntur. Menggambarkan setua apa batik yang dikenakannya.
Fanshuri yang menyadari kedatangan si tamu segera berseloroh.
“Iya, Pak? Cari siapa?” tanya Fanshuri sambil berdiri. Gus Mut yang posisi di duduknya membelakangi—sehingga sempat tidak menyadari kedatangan si tamu—segera menoleh.
“Anu, Mas. Saya mau cari kediamannya Gus Mut. Apa benar di sini kediamannya Gus Mut ya?” tanya si tamu.
“Iya, betul, Pak. Lah ini orangnya,” kata Fanshuri.
Menyadari bahwa orang yang membelakanginya tadi adalah Gus Mut, tamu ini segera mendekat dan membungkuk. Menyalami dan menyucup tangan Gus Mut.
“Maaf, Gus. Maaf. Saya dari jauh, mau sowan ke Gus Mut dari kemarin masih belum berani-berani. Kali ini saya nekat. Maaf ya, Gus, maaf kalau saya menganggu,” kata tamu ini berkali-kali meminta maaf.
Suasana jadi terasa sungkan bagi Gus Mut.
“Waduh, Pak. Kalau mau sowan, sowan aja ke sini. Rumah saya terbuka kok. Mari, Pak, sini. Masuk,” kata Gus Mut sambil membereskan papan catur. Fanshuri pun ikut merapikan tempat duduk.
“Duduk sini, Pak. Mari, mari,” kata Fanshuri.
Begitu duduk, tamu ini berkali-kali memandang kediaman Gus Mut. Seolah terkagum-kagum akan sesuatu. Padahal tak ada yang istimewa dari rumah sederhana Gus Mut.
“Kenapa, Pak?” tanya Gus Mut mengawali begitu si tamu duduk. Fanshuri segera ke belakang, menyiapkan teh.
“Oh, nggak. Saya pikir rumah Gus Mut itu mewah banget. Maklum, Gus Mut kan tokoh. Lah kok setelah beneran ke sini ternyata tak jauh beda dengan rumah saya yang jelek, Gus,” kata si tamu polos.
Tawa Gus Mut meledak begitu mendengar keluguan tamunya ini.
“Oh, maaf, Gus. Maksud saya rumahnya bagus. Maaf, maaf, maksud saya… eee,” tamu ini segera menyadari kesalahannya. “Maaf, saya tak bermaksud…”
“Nggak apa-apa, Pak. Santai saja. Saya malah senang ada tamu yang mampir ke rumah saya dan langsung merasa sedang di rumah sendiri,” balas Gus Mut.
Kali ini gentian si tamu yang tertawa karena menyadari sindiran Gus Mut.
“Ada urusan apa ini, Pak? Kok sampai repot-repot mau ke tempat saya?” tanya Gus Mut.
Belum dijawab oleh si tamu, Fanshuri datang sambil membawa teh. Begitu menyuguhkan, Fanshuri ikut duduk pula.
“Begini, Gus. Saya ini ada masalah yang perlu saya tanyakan sama Gus Mut, tapi saya sempet khawatir, apakah masalah saya ini bikin Gus Mut ketawa atau nggak ya,” kata si tamu.
“Pertanyaan apa memangnya, Pak?”
“Gini, Gus. Saya itu kepingin ikut kurban, insya Allah Idul Adha tahun ini,” kata si tamu.
“Wah ya, bagus dong,” seloroh Fanshuri.
“Cuma masalahnya, saya nggak mampu kalau beli hewan kurban,” tanya si tamu.
“Kan bisa ikut arisan kurban, Pak?” tanya Fanshuri lagi tiba-tiba jadi nimbrung.
Si tamu menghela nafas sejenak.
“Itu juga masalahnya, saya belum ada duit,” kata si tamu.
“Lah, kalau nggak ada duit ya nggak usah ikut kurban to, Pak,” kata Fanshuri tanpa tedeng aling-aling. Gus Mut langsung menatap Fanshuri, memintanya untuk diam dulu.
“Silakan lanjutkan dulu, Pak,” kata Gus Mut.
“Nah, karena nggak mampu begitu, saya sempet kepikiran pengin kurban ayam, Gus.”
Gus Mut dan Fanshuri sempat terperanjat mendengarnya. Kurban ayam, katanya.
“Begini. Kebetulan, meski saya melarat, saya punya ayam jago peliharaan. Udah dari lama kepikiran kurban ayam, tapi kok saya ragu. Saya sempet tanya ke takmir masjid daerah saya, eh malah diketawain. Kata mereka saya nggak perlu repot-repot kurban, karena orang miskin kayak saya itu malah harusnya menerima daging kurban, bukannya berkurban,” kata si tamu.
Gus Mut terdiam, Fanshuri cuma manggut-manggut mendengar cerita si tamu.
“Maka dari itu, saya beranikan sowan ke sini. Saya cuma pengen tahu dari pendapat Gus Mut. Apakah boleh orang miskin saya ikut kurban, meski itu hanya kurban ayam?” tanya si tamu.
Gus Mut kembali bergeming. Ditatapnya mata si tamu dalam-dalam. Belum juga Gus Mut sempat bersuara, si tamu sudah bicara lagi.
“Iya saya tahu, Gus. Orang miskin kayak saya ini memang nggak wajib berkurban, tapi masak saya sebagai hamba nggak boleh memberi persembahan untuk Gusti Allah. Kok cuma orang-orang kaya saja yang boleh ngasih servis lebih ke Gusti Allah. Saya kan iri, Gus. Iri saya. Saya udah tanya ke beberapa kiai, katanya nggak boleh kurban ayam, karena yang boleh buat kurban cuma unta, sapi, atau kambing. Bingung saya, Gus. Jujur saya bingung. Masak iya Gusti Allah perhitungan banget sama orang miskin kayak saya?” tanya si tamu.
Di bagian ini, Gus Mut tak bisa menyembunyikan senyum paling lebar pada hari itu.
“Jadi gimana, Gus? Bolehkah saya ikut kurban meski hanya mampu kurban ayam?”
Gus Mut berdiri, lalu menepuk bahu tamu ini.
“Boleh kok, Pak. Kalau mampunya cuma kurban ayam ya nggak apa-apa,” kata Gus Mut lalu duduk kembali.
Mendengar itu, si tamu sempat terkejut tak menyangka atas jawaban Gus Mut. Dari mulutnya terdengar kata syukur berkali-kali.
“Alhamdulillah. Alhamdulillah. Makasih, Gus. Ini beneran boleh ya, Gus? Alhamdulillah,” tanya si tamu tak berhenti-henti memanjatkan syukur.
“Iya, tapi ada syaratnya,” kata Gus Mut.
“Apa, Gus, syaratnya?” tanya si tamu cepat.
“Panjenengan sendiri yang harus menyembelih hewannya dan diniatkan benar-benar untuk Gusti Allah. Terus dagingnya harus dimakan oleh keluarga sendiri, tak boleh dibagi-bagikan lagi,” kata Gus Mut.
Si tamu bingung dengan syarat Gus Mut.
“Memangnya kenapa, Gus?” tanya si tamu.
“Biar panjenengan nggak diomongin sama tetangga kalau nekat ngirim ayam ke takmir masjid lagi. Takutnya saya, panjenengan malah jadi sakit hati, jadi rusak deh niatnya,” kata Gus Mut.
Si tamu terdiam sejenak.
“Baik, Gus. Kalau syaratnya cuma itu sih Insya Allah saya kuat-kuat aja,” kata si tamu.
Setelah berbasa-basi sejenak, si tamu lalu pamit pulang dengan hati lega. Fanshuri yang mendengar dialog antara Gus Mut dengan si tamu masih merenung. Seperti bingung sendiri. Begitu si tamu sudah benar-benar pulang, Fanshuri segera bertanya ke Gus Mut.
“Gus, Gus, serius ini. Panjenengan barusan kok mengubah hukum orang berkurban sih, Gus?” tanya Fanshuri.
“Hukum berkuban yang mana memangnya, Fan?” tanya Gus Mut.
“Ya barusan, bukannya yang boleh digunakan untuk berkurban itu memang cuma unta, kambing, atau sapi ya? Kenapa tiba-tiba jadi boleh kurban ayam? Memang ada syariatnya?” tanya Fanshuri bingung.
“Tidak ada,” kata Gus Mut.
“Lah tadi?” tanya Fanshuri lagi.
“Aku tadi bilang boleh itu bukan berarti menjadikan kurban ayam itu diterima sebagai ibadah kurban Idul Adha secara umum. Aku memakai pendapatnya Ibnu Abbas di kitab Hasyiyatul Bajuri. Bahwa bahimatul an’am alias hewan ternak itu juga termasuk ayam. Cuma khusus untuk orang-orang fakir atau miskin saja tafsir kayak gitu berlaku,” kata Gus Mut.
“Artinya, betulan boleh dong kalau mau kurban ayam?” tanya Fanshuri.
“Yang tidak membolehkan itu pandangan umum. Normalnya memang seperti itu. Jadi kalau kamu nggak fakir atau miskin ya nggak boleh pakai tafsirnya Ibnu Abbas tadi. Lagipula, hari Idul Adha itu kan Yaumu Wa Surbin hari makan-makan, sekalipun tamu tadi bakal dapat daging dari panitia kurban, apa hak kita melarang seseorang yang ingin memberi persembahan untuk Gusti Allah, meski dagingnya akhirnya dimakan sendiri?” kata Gus Mut.
“Iya sih, Gus. Tapi kan yang namanya hukum, tetep hukum,” kata Fanshuri.
“Oh, tidak begitu, Fan,” kata Gus Mut.
“Kok gitu, Gus?” tanya Fanshuri.
“Yang namanya hukum dengan sikap hukum itu dua hal yang berbeda. Hukum adalah teksnya, sedangkan sikap hukum itu konteksnya. Dalam kasus barusan, aku membolehkan itu karena memang tidak ada larangan berkurban dengan ayam. Sepanjang itu diniatkan untuk Gusti Allah, dengan cara-cara yang tidak dilarang agama, mana mungkin aku mengharamkan seseorang mau kurban ayam? Secara syariat, itu memang bukan hal umum, tapi secara syariat pula, tak ada larangan khusus soal kurban ayam,” kata Gus Mut.
Fanshuri manggut-manggut.
“Malah, kehadiran tamu tadi itu seharusnya bikin kita malu, Fan,” kata Gus Mut sedikit menerawang.
“Kenapa kita harus malu? Kan kita juga kurban tahun ini. Kurban kambing malah,” tanya Fanshuri.
“Ya kita harusnya malu. Di saat orang kayak kita, cuma mau berkurban satu kambing, yang mana barangkali itu hanya sekian persen dari keseluruhan harta kita, datang seseorang yang dengan sukarela mau berkurban ayam. Sesuatu yang bisa jadi merupakan harta satu-satunya. Itu pun masih takut-takut, bukan karena apa-apa, takut tak diterima Gusti Allah,” kata Gus Mut.
Fanshuri kali ini tersenyum.
“Kalau soal itu saya setuju, Gus. Barangkali kalau mau pakai ukuran kesalehan, bisa jadi tamu tadi jauh lebih saleh dari kita berdua,” kata Fanshuri sambil tertawa.
Gus Mut ikut tertawa, “Untuk kali ini, aku setuju sama kamu, Fan.”
*) Diolah dari penjelasan Gus Baha’.
BACA JUGA Hukum Kurban Idul Adha dan Cara Mudah Menghina Gusti Allah atau kisah GUS MUT lainnya.