Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai Khotbah

Pondok Pesantren Memang Tempatnya Santri Nakal

Ahmad Khadafi oleh Ahmad Khadafi
7 Desember 2018
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Selama ini Pondok Pesantren dikenal sebagai tempat untuk mendidik para santri nakal. Pandangan ini tidak sepenuhnya keliru, apalagi jika merunut pengalaman Kiai Kholil.

Gus Mut berdiri di atas mimbar. Malam itu, atas undangan panitia khataman sebuah pondok pesantren yang diasuh Kiai Rizki, Gus Mut didapuk mengisi tausiyah.

Dalam sela-sela tausiyahnya, Gus Mut menerangkan soal fungsi pondok pesantren di masyarakat. Karena dianggap relevan, Gus Mut lalu menceritakan pengalaman di pesantren yang diasuh oleh bapaknya.

“Ketika bapak saya, Kiai Kholil, masih muda dan masih aktif mengasuh pesantren—saya belum lahir saat itu—Bapak pernah memanggil keamanan pondok untuk mencatat nama-nama santri-santri paling nakal di pesantren tersebut,” kata Gus Mut.

Diceritakan oleh Gus Mut kemudian, Kiai Kholil memanggil Kang Maula, salah satu pengurus keamanan pondok.

“Kang Maula, tolong catat nama-nama santri yang nakal ya? Tolong urutkan dari bawah, yang agak nakal, cukup nakal, nakal banget, sampai yang paling atas santri yang kenakalannya bikin bagian keamanan pondok repot,” kata Kiai Kholil ke Kang Maula.

“Oh, baik, Pak Kiai,” jawab Kang Maula bungah luar biasa mendengarnya.

Dalam hati Kang Maula girang bukan kepalang, “Kuapokmu kapan, nama-nama kalian bakal aku catat besar-besar biar Kiai Kholil tahu siapa santri-santri yang bikin repot keamanan pondok.”

Dengan semangat yang meluap-luap, Kang Maula segera mencari kertas dan spidol. Dicatatnya nama-nama santri itu besar-besar. Tak sampai hitungan jam, Kang Maula sudah berhasil membuat daftar itu. Tentu saja yang paling atas merupakan santri yang nakalnya naudzubillah.

Masih dengan hati yang gembira, Kang Maula langsung ke kediaman Kiai Kholil, memberikan daftar nama-nama santri yang diminta.

“Lho, cepet sekali, Kang?” tanya Kiai Kholil agak terkejut.

“Hehehe, ya cuma mencatat santri nakal, Pak Kiai. Ya cepet dong, kan saya sudah hafal,” kata Kang Maula tersenyum.

“Kalau nyatet santri yang bagus, kayaknya bakal nggak secepat ini ya, Kang?” tanya Kiai Kholil lagi.

Kang Maula cuma tersenyum, “Kayaknya sih begitu, Pak Kiai.”

Iklan

“Soalnya kita sebagai manusia itu memang mudah untuk cari kelemahan orang lain ketimbang kelebihannya,” kata Kiai Kholil.

Kang Maula yang mendengarnya sedikit tersentil. “Iya, sih, Pak Kiai,” kata Kang Maula cuma garuk-garuk kepala yang tidak gatal.

“Ya sudah, terima kasih ya Kang Maula,” kata Kiai Kholil lalu kembali ke dalam rumah.

Kang Maula tak bisa menyembunyikan kegembiraannya hari itu. Dalam bayangan Kang Maula, santri-santri yang namanya sudah dicatat itu sebentar lagi akan dipanggil oleh Kiai Kholil. Kemungkinan paling buruk si santri akan dikeluarkan dari pondok pesantren, kemungkinan terkecil paling Kiai Kholil akan menghukum santri-santri itu.

Hari kemudian berganti. Seminggu, dua minggu, tiga minggu. Santri-santri yang dicatat oleh Kang Maula dan diberikan ke Kiai Kholil masih ada di pondok pesantren. Tak ada tanda-tanda santri-santri nakal itu akan dikeluarkan. Jangankan dikeluarkan, dipanggil ke kediaman Kiai Kholil saja tidak.

Melihat ada sesuatu yang tidak beres, Kang Maula kemudian memberanikan diri untuk bertanya ke Kiai Kholil.

“Assalamualaikum, Kiai Kholil,” salam Kang Maula.

“Waalaikumsalam, Kang Maula. Ada apa ya?” tanya Kiai Kholil.

“Anu, saya mau tanya. Soal daftar nama santri yang saya berikan beberapa waktu lalu,” kata Kang Maula.

Kiai Kholil agak bingung mendengarnya.

“Oh, nama yang tiga minggu kemarin itu ya?” tanya Kiai Kholil mendadak ingat.

“Iya, Pak Kiai. Kok tidak ada yang dikeluarkan dari pondok pesantren ya? Atau minimal dipanggil Pak Kiai gitu?” tanya Kang Maula.

Mendadak Kiai Kholil terkekeh mendengarnya. Melihat hal itu Kang Maula kebingungan.

“Lho? Kenapa dikeluarkan?” tanya Kiai Kholil.

“Ya kan mereka anak-anak nakal, Pak Kiai. Anak-anak yang suka melanggar peraturan pondok,” jawab Kang Maula.

“Justru mereka disekolahkan di sini, dipondokkan di sini biar nggak jadi anak nakal. Orang tua mereka ikhlas memasukkan mereka ke sini, biar anak-anak itu jadi orang-orang bener. Lah kalau anak nakal kita keluarkan, mereka bakalan jadi tambah nakal dong, Kang Maula,” jelas Kiai Kholil.

“Lha terus, daftar itu untuk apa, Pak Kiai?” tanya Kang Maula.

Kiai Kholil tersenyum mendengarnya.

“Ya untuk aku doakan. Agar setiap malam aku bisa doakan khusus kepada santri-santri dalam daftar itu jadi santri yang baik, santri yang bener, santri yang nanti ketika lulus dari sini jadi orang yang bermanfaat,” kata Kiai Kholil.

Kang Maula gemetaran mendengarnya. Ternyata selama ini dia telah salah sangka. Dipikirnya urusannya akan beres, ternyata justru tugasnya sebagai keamanan pondok sama saja. Meski begitu ada pelajaran berharga yang didapat oleh Kang Maula saat itu.

Roda waktu lalu berganti sampai masa ketika Gus Mut menceritakan pengalaman itu pada jamaah acara khataman pondok pesantren yang diasuh Kiai Rizki. Hadirin mendengarnya dengan seksama dan sesekali tertawa.

Usai acara Gus Mut turun dari panggung. Sebelum sempat duduk di kursi yang sudah disediakan panitia, mendadak Gus Mut dirangkul oleh Kiai Rizki. Pelukan yang sangat dalam, sangat erat. Gus Mut sebenarnya agak terkejut mendapati kelakuan tuan rumah yang aneh seperti itu.

“Alhamdulillah, Gus Mut. Alhamdulillah,” kata Kiai Rizki masih memeluk Gus Mut.

Gus Mut yang kebingungan tak kuasa melepas pelukan itu.

“Ada apa ya, Kiai Rizki?” tanya Gus Mut heran.

Sambil berbisik ke telinga Gus Mut, Kiai Rizki berkata, “Untung Gus Mut nggak menyebut nama.”

“Lah, memang kenapa, Kiai Rizki?” tanya Gus Mut lagi.

Sambil semakin erat memeluk Gus Mut, Kiai Rizki menjelaskan, “Saya adalah santri yang dicatat paling atas dalam cerita itu.”


*) Diinspirasi dari kisah nyata Kiai Umar Abdul Manan, Pengasuh Pondok Pesantren Al Muayyad, Solo, seperti yang pernah diceritakan Gus Mus. Dalam kisahnya, usai Gus Mus bercerita di sebuah acara pengajian, beliau langsung dipeluk oleh seorang kiai.

Terakhir diperbarui pada 6 Desember 2018 oleh

Tags: gus muspondokPondok Pesantrensantrisantri nakalsoloUmar Abdul Manan
Ahmad Khadafi

Ahmad Khadafi

Redaktur Mojok. Santri. Penulis buku "Dari Bilik Pesantren" dan "Islam Kita Nggak ke Mana-mana kok Disuruh Kembali".

Artikel Terkait

Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga
Pojokan

Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

1 Desember 2025
Dari Jogja ke Solo naik KRL pakai layanan Gotransit dari Gojek yang terintegrasi dengan GoCar. MOJOK.CO
Liputan

Sulitnya Tugas Seorang Influencer di Jogja Jika Harus “Ngonten” ke Solo, Terselamatkan karena Layanan Ojol

1 Desember 2025
Menjajal GoTransit yang Terintegrasi dengan GoCar, “Keluyuran” di Jogja dan Solo Jadi Lebih Mudah Mojok.co
Ragam

Menjajal GoTransit yang Terintegrasi dengan GoCar, “Keluyuran” di Jogja dan Solo Jadi Lebih Mudah

28 November 2025
Hal-hal di Luar Nalar yang Dilakukan Gus Yayan untuk LKSA Daarul Muthola'ah dan Keluarga MOJOK.CO
Ragam

Hal-hal di Luar Nalar yang Dilakukan Gus Yayan untuk LKSA Daarul Muthola’ah dan Keluarga

25 November 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Lulus S2 dari UI, resign jadi dosen di Jakarta. MOJOK.CO

Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar

5 Desember 2025
jogjarockarta.MOJOK.CO

Mataram Is Rock, Persaudaraan Jogja-Solo di Panggung Musik Keras

3 Desember 2025
8 tahun merantau di Jakarta akhirnya resign. MOJOK.CO

Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama

4 Desember 2025
banjir sumatera. MOJOK.CO

Bencana di Sumatra: Pengakuan Ayah yang Menjarah Mie Instan di Alfamart untuk Tiga Orang Anaknya

1 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Tragedi Sumatra Timbulkan Trauma: “Saya Belum Pernah Lihat Gayo Lues Seporak-poranda ini bahkan Saat Tsunami Aceh”

2 Desember 2025
Judi Online, judol.MOJOK.CO

Pengalaman Saya 5 Tahun Kecanduan Judol: Delusi, bahkan Setelah Salat pun Doa Minta Jackpot

2 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.