MOJOK.CO – Fanshuri menertawakan ormas yang menutup restoran babi. Apalagi karena alasannya asap sate babi yang ada di udara itu najis.
“Gus, sudah baca ini?” tanya Fanshuri saat memperlihatkan sebuah postingan tentang penutupan sebuah restoran sate babi ke Gus Mut.
“Apaan sih?” tanya Gus Mut.
“Ini lho, Gus, ada ormas yang menutup paksa restoran sate babi di sebuah daerah. Ramai ini, Gus. Wah, radikal banget sih sampai ditutup segala,” kata Fanshuri.
“Jangan langsung menghakimi radikal dulu, Fan. Lihat dulu masalahnya,” kata Gus Mut.
“Tapi kan ini ngawur, Gus. Coba lihat deh, masa ditutup gara-gara asapnya bisa mengenai orang yang lewat dan jadi najis. Kan ini ngawur banget. Masa asap bisa najis. Lha selama ini kita kentat-kentut juga najis dong,” kata Fanshuri sambil terkekeh.
Gus Mut jadi ikut penasaran membaca postingan Fanshuri. Dibaca dengan seksama, Gus Mut kurang paham apa yang dimasalahkan Fanshuri.
“Ini yang kamu masalahkan apanya sih Fan?” tanya Gus Mut.
“Ya dasar hukumnya itu lho. Masa iya asap sate babi dikenai najis, nggak masuk akal banget,” kata Fanshuri.
“Eh, jangan salah, Fan. Dasar hukumnya memang ada kalau itu,” kata Gus Mut.
“Masa sih? Bukannya najis itu sudah pasti bentuknya padat sama cair doang ya, Gus?” tanya Fanshuri.
“Jangan lupa, Fan. Selain najis aini yang terlihat, najis hukmi itu juga ada lho,” kata Gus Mut.
Fanshuri agak bingung. “Maksudnya najis hukmi, Gus?”
“Ya najis yang tak terlihat secara kasat mata. Misalnya ada air kencing di ubin, terus mengering. Nah bekasnya yang kering itu masih najis meski secara kasat mata udah nggak ada lagi air kencingnya,” kata Gus Mut.
“Lha kalau nggak tahu itu bekas air kencing gimana, Gus?”
“Ya kalau nggak tahu kan sudah beda masalah itu, Fan. Tapi bagi orang yang tahu tapi nggak menyucikannya lha itu masalah,” kata Gus Mut.
“Lha kalau asap sate babi dikenai hukum najis apa ya nggak merepotkan banget itu, Gus?” tanya Fanshuri.
“Makanya itu, ada ruang-ruang yang bisa dima’fu alias dimaafkan. Kalau memang asapnya kelihatan, maka jelas itu najis. Beberapa ulama bahkan sepakat menyebutnya masuk ke kategori najis mugholadhoh. Najis berat. Karena dianggap ada partikel-partikel dari barang najis yang ikut terbang bersamaan dengan asapnya,” kata Gus Mut.
“Wah, ribet ya ternyata,” kata Fanshuri.
“Nggak ribet sebenarnya. Namanya aja asap sate babi, asap kan berarti kelihatan, Fan. Kecuali kalau memang nggak kelihatan, nah itu yang masuk kategori ma’fu. Lha di udara. Kan nggak bisa kita kontrol,” kata Gus Mut.
“Tapi kan kalau najis di udara itu tetap najis, Gus. Bisa jadi kita selama ini salat nggak sah dong. Misalnya di udara ini, ada kentut yang menyebar terus kena ke baju kita. Jadi najis dong baju kita,” tanya Fanshuri.
“Batasannya sebenarnya sampai barang najis itu diketahui atau tidak, Fan. Misalnya kalau benar di udara ini ada partikel dari kentut misalnya, selama partikel itu nggak bisa dikenali di pakaian kita—baik secara bau dan warna, ya itu nggak bisa masuk kategori najis, Fan. Lagian bakal merepotkan diri sendiri kalau apa-apa yang di udara dikhawatirkan membawa najis,” kata Gus Mut.
“Jadi batasannya cuma sampai diketahui atau tidak?” tanya Fanshuri.
“Ya iya dong. Masa ada hukum yang mengatur hal-hal yang tidak diketahui,” kata Gus Mut.
“Lha tadi ada najis hukmi, najis yang nggak terlihat. Jadi kan bisa aja kentut itu masuk najis hukmi,” kata Fanshuri.
“Bedakan dulu antara yang tidak terlihat dengan yang tidak diketahui, Fan. Asap sate babi itu terlihat, sedangkan contoh soal air kencing yang kering tadi itu perkara diketahui atau tidak,” kata Gus Mut.
“Oh iya ya,” kata Fanshuri sambil tertawa.
“Kamu itu lho, Fan, sukanya kok aneh-aneh. Asap sate babi yang jadi masalah ini kan ada wujudnya, makanya kena hukum. Nah, kalau menempel di baju, kalau di baju sampai membekas ada warna dan baunya ya itu tergolong najis,” kata Gus Mut.
“Berarti Gus Mut ini mendukung penutupan dari restoran sate babi ini?” tembak Fanshuri.
“Ya aku sih nggak dalam kapasitas mendukung atau tidak mendukung sih, Fan. Soalnya kan aku nggak tahu benar itu konteks sosialnya gimana,” kata Gus Mut.
“Kok gitu, Gus? Bukannya tadi Gus Mut membenarkan dasar fikihnya?” tanya Fanshuri.
“Mendukung dasar fikih yang dipakai dengan mendukung cara pelaksanaan fikih itu dua hal yang berbeda lho, Fan. Kalau misalnya penutupan itu dilandasi karena di lingkungan restoran tersebut dekat sama musala, masjid, atau mungkin warung makan lain, ya itu bisa saja dibenarkan. Tapi kalau restoran itu berada di lingkungan non-muslim dan dibakar karena sedang ada festival daging babi misalnya. Ya harusnya nggak masalah. Atau misal daging babinya tidak dibakar, tapi dioven jadi nggak keluar asapnya,” kata Gus Mut.
“Wah, berarti yang teriak-teriak intoleran ke orang yang menutup restoran babi ini ya nggak bener juga dong, Gus?” tanya Fanshuri lagi.
“Ya bisa benar, bisa salah. Lagi-lagi kan kita sama-sama nggak tahu benar situasi di lapangan kayak gimana. Itulah rumitnya kalau kita mengomentari hal-hal yang nggak tahu konteks sosialnya. Lha wong dalil-dalil aja harus dilihat konteksnya dulu kok baru bisa diaplikasikan, apalagi urusan menghakimi di media sosial begini,” tutup Gus Mut.