Beberapa hari kemarin ada secuil keriuhan lagi dari kota Serang, Banten. Kali ini, baju seragam pasukan paskibra 17-an bikin ribut. Motif salib besar muncul di situ, konon katanya. Saya pun mengintipi foto mereka. Dan tampaklah di hadapan saya barisan berbaju merah dengan tanda palang putih di dada.
Pasukan Templar! Hahaha!
Sebenarnya, sentimen dan paranoia perkara simbol-simbol yang berkaitan dengan keyakinan bukanlah barang baru. Jadi jangan lekas-lekas mengaitkannya dengan problem serius kejiwaan bangsa Indonesia pasca-Pilpres 2014. Jauuuh sebelum Pilpres, yang beginian sudah musim.
Tentang ini, saya punya beberapa cerita.
Sebelas tahun silam, saya pernah cari makan dengan jadi tukang edit di sebuah penerbit buku pelajaran sekolah. Sebut saja namanya PT Berlian, dan yang ngajak saya masuk ke sana adalah lelaki penggila film India yang belakangan jadi sastrawan kondang penulis novel Kambing dan Hujan.
Percayalah, di antara semua sektor peradaban yang paling rentan ambyar gara-gara kelepasan memajang simbol-simbol yang bebas ditafsir sekaligus bebas di-salah-tafsir, penerbit buku sekolah adalah satu yang paling ketar-ketir.
Lama sebelum saya masuk, PT Berlian nyungsep babak belur. Muasal penyebabnya biadab sekali: ada gambar salib besar dipajang di buku Matematika untuk anak SD!
Bayangkan saja, buku Matematika memajang lambang salib. Betapa misi zending Kristenisasi pintar sekali menyusup masuk ke setiap celah sempit kesempatan, sampai-sampai di buku yang isinya cuma hitung-menghitung pun tersisip pesan agar para murid pada mau menerima ketuhanan Yesus.
Hiahaha. Maaf, asal mangap. Tentu tidak sampai segitu kasus yang terjadi.
Persoalan sesungguhnya hanyalah karena ada materi gambar bangun ruang, lalu bentuk-bentuk bangun ruang itu digelar satu-satu. Ada balok, kerucut, limas, prisma, dan tibalah akhirnya pada bentuk kubus. Kubus punya enam bidang sisi, dengan masing-masing sisi berbentuk kotak bujur sangkar.
Sekarang coba digelar saja itu bentuk kubus. Akan tampaklah satu kotak di tengah, satu di atas, satu di samping kiri, satu di samping kanan, dan dua di bawah. Tak salah lagi, itu salib! Jeng jeeeeng!
Memang bentuk salib tersebut bisa dibikin bobo miring kiri, atau bobo miring kanan. Tapi posisi di halaman buku kurang enak jadinya. Maka pilihannya cuma tegak, atau dibalik.
Tukang desain memilih posisi tegak, dan sempurnalah itu bentuk salib.
Alkisah, buku pun beredar di ribuan sekolah. Zaman itu, PT Berlian sedang ngehits-ngehitsnya. Kompetitornya banyak, semua selalu berusaha melancarkan pukulan dari kiri dan kanan.
Lalu agaknya suatu hari seorang sales bermata jeli dari penerbit lain menangkap bolong itu. Dengan nanar ia menatap salah satu halaman buku Matematika terbitan PT Berlian. Ogah buang waktu, ia pun lekas mancal sepeda motornya, dan menghadap kepala cabang pemasarannya.
“Pak, ada berita bagus, Pak. Ini nih, lihat halaman yang ini. Ini bisa kita mainkan ini Pak…”
Demikianlah. Dalam sekejap, isu PT Berlian menjalankan Kristenisasi pun tersebar kencang di sekolah-sekolah.
Jelas, itu kabar kriuk sekali, tak kalah kriuk dibanding aneka snack kegemaran Agus Mulyadi. Sekolah-sekolah, yang notabene mayoritas guru dan muridnya beragama Islam, jadi njenggelek.
Reaksi spontan meletup, resistensi pasar atas buku-buku PT Berlian sontak terbentuk.
Pendek cerita, PT Berlian terpukul KO. Itu cuma gara-gara gambar bentangan kubus yang salah posisi. (Saya membayangkan, andai posisi gambar kubus-yang-digelar itu dipasang ala salib kebalik, risikonya bakalan jauh lebih kecil. Palingan tuduhan yang merebak tak lebih dari “PT Berlian kaya karena memuja Lucifer”.)
Bertahun setelah itu, saat saya sudah di sana, saya lihat PT Berlian lumayan bangkit kembali. Meski begitu, yang di lapangan kadang masih saja ngos-ngosan.
Ada misalnya cerita sales PT Berlian yang diragukan keislamannya oleh sebuah sekolah, lalu pihak sekolah mengetesnya dengan menyuruh si sales baca Surah Alfatihah dulu sebelum presentasi barang dagangan. Hahaha.
Bajilak tenan! Itu terjadi dua dasawarsa selepas tragedi kubus, bayangkan saja.
Divisi baru, tempat saya kemudian mendarmabaktikan empat tahun dari keseluruhan umur saya, dibentuk sebagai penerbit buku-buku madrasah. Jelas, ia wajib bercorak Islam.
Nah, di situ pun kami harus menjalankan prosedur super-hati-hati, dalam menangkal kemunculan simbol-simbol pembawa masalah. Pemilihan font huruf T, misalnya, harus yang ada ekor di kakinya, sehingga tidak membentuk salib. Ini serius. Pemilihan gambar-gambar, apalagi.
Pernah badan saya banjir keringat dingin. Manajer saya nyaris ngamuk, gara-gara buku pelajaran Akidah & Akhlak yang jadi tanggung jawab saya dan sudah tercetak ribuan eksemplar, ketahuan memuat gambar burung merpati di sampulnya.
“Itu simbol Kristen!” katanya.
“Lho setahu saya itu simbol perdamaian, Pak. Kan ada materi tentang perdamaian di buku ini,” bantah saya geragapan.
Waktu itu saya tidak terlalu ngeh bahwa gambar merpati juga merupakan simbol kehadiran Roh Kudus, dan sering tampil bersama salib. Yang muncul di kepala saya cuma pertanyaan, kalau merpati adalah burung Kristen, lantas ngapain aja kerjaan burung gereja?
Jangan-jangan burung gereja cuma nebeng nama tok, tapi nggak berbuat apa-apa? Trus apa bedanya dia sama Mbak Puan? (Sudah, nggak usah dibahas.)
Untunglah, tak ada kejadian susulan di lapangan gara-gara burung yang nangkring di kover buku satu itu.
Tak cuma di penerbit tempat kerja saya. Di penerbit Puntadewa (ini juga nama samaran), kawan saya bekerja. Kasusnya bisa jadi sangat mengerikan, kalau saja dia tidak menyelamatkan. Tapi ini bukan tentang simbol.
Kejadiannya ketika teman saya itu lewat di dekat mesin-mesin cetak. Iseng sambil lalu, dia memeriksa beberapa halaman yang sudah tercetak. Tiba-tiba badannya mak-sengkrang. Penyebabnya, ia nemu satu kalimat di situ yang memuat kata “Nabi Muhammad”.
Sialnya, huruf N pada kata “Nabi” kena typo, salah pencet dengan huruf yang kalau di keyboard persis di sebelah kiri N! (Silakan cek sendiri huruf apa itu. Saya nggak berani menuliskannya, takut kuwalat sama Kanjeng Nabi.)
Bayangkan, andai buku itu tersebar tanpa kepergok teman saya, pastilah kantor penerbit Puntadewa tinggal jadi puing-puing kenangan masa silam.
Demikianlah. Pada kasus-kasus buku pelajaran sekolah, ada berbagai peristiwa yang tampaknya besar dan produk konspirasi Dajjal, namun sebenarnya cuma gegara kepeleset belaka.
Ingat, namanya penerbit tuh ya institusi bisnis, yang dicari ya duit. Lebay kalau mereka dianggap melancarkan Kristenisasi dengan taruhan miliaran rupiah. Lha wong juragan saya waktu itu ke gereja aja mana pernah. (Semoga beliau-beliau nggak membaca tulisan ini, xixixi).
Di sisi lain, para editor dicekik deadline dan sering lembur bermalam-malam, sehingga terjadinya human error pun perkara wajar.
Saya membayangkan, berbagai kasus yang lain pun banyak yang mirip, termasuk pasukan Templar di Banten itu. Repotnya, sampai Kiamat Kubro tiba, simbol-simbol agama ya bakalan tetap jadi perkara sensitif.
“Lha terus sikap kita baiknya gimana, Mas?”
Wah ya tugas saya kan cuma cerita. Soal sikap ya urusan-urusanmu sendiri. Udah gede kok masih macam gitu pertanyaannya…