MOJOK.CO – Amerika dan negara-negara Barat menolak resolusi melawan kebencian. Malah Cina dan Kuba, 2 dedengkot komunisme yang berani membela Islam.
Dewan HAM PBB telah mengadopsi resolusi untuk melawan kebencian dan kefanatikan terhadap agama (Resolution on Religious Hatred and Bigotry). Mereka mengambil sikap tersebut setelah aksi pembakaran Al-Qur.’an di Swedia baru-baru ini. Sebuah aksi yang menyulut protes keras dari masyarakat dunia Islam.
Setelah para bigot di dunia Barat dilanda penyakit kambuhan dalam menebar kebencian kepada Islam ini kumat lagi, akhirnya Dewan HAM PBB mengambil sikap. Hasil voting anggota dewan adalah sebanyak 28 negara menyetujui, 7 negara absen, dan 12 menolak.
Negara-negara yang menolak, gampang ditebak, adalah Amerika Serikat, negara-negara Uni Eropa, dan lainnya. Indonesia tidak ada di daftar yang mendukung, menolak, dan yang absen. Baru Februari lalu, Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi, mengusulkan Indonesia kembali menjadi anggota Dewan HAM PBB. Apakah proposal tersebut diterima, ditolak, atau ditunda? Entahlah.
Ada satu hal menarik. Biasanya, negara-negara yang mendukung adalah negara dengan mayoritas memeluk agama Islam. Nah, kemarin, ada 2 negara sosialis yang ikut mendukung, yaitu Kuba dan Cina.
Ketika justru Kuba dan Cina, dedengkot komunisme, membela Islam
Kuba dan Cina sendiri adalah 2 negara tersisa yang sering menjadi bulan-bulanan. Mereka sering dituding sebagai negara dedengkot komunis, di mana komunisme by default, diidentikkan dengan ateisme. No debat!
Orang mungkin akan bilang bahwa dukungan Kuba dan Cina kepada Islam, sebagai negara yang punya pengaruh dalam sidang-sidang PBB, terkait dengan masih adanya nuansa bipolarisme dan perang dingin. Yah, silakan saja berpendapat seperti itu.
Atau, bisa juga dianggap bahwa 2 negara sosialis kuat itu pasang badan bersama negara-negara Islam dalam berhadapan dengan aliansi negara-negara Barat, dan terutama Amerika. Politik PBB memang sering memberi wajah yang aneh. Tapi bagi saya, dukungan Kuba dan Cina terhadap resolusi tersebut justru bisa dianggap menelanjangi cara berpikir negara-negara Barat yang selalu merasa sebagai kampiun demokrasi dan HAM. Begini:
Alasan Amerika dan sekutunya dalam menolak resolusi itu aneh dan kontradiktif. Mengutip Al Jazeera, karena Amerika dan negara-negara Eropa menganggap bahwa “Resolusi tersebut bertentangan dengan posisi mereka dalam hak asasi manusia terkait kebebasan berekspresi (… it conflict with their positions on human rights and freedom of expression).”
Pertanyaannya, apakah atas nama hak kebebasan berekspresi manusia bisa dan boleh melanggar hak orang lain? Tentu saja tidak boleh!
Makna kitab suci bagi umat beragama
Kitab suci, nggak cuma buat umat Islam tapi buat umat agama mana saja, adalah unsur penting utama keberagamaan. Kitab suci adalah “wujud lain Tuhan” bagi umatnya. Karenanya, ia menjadi bagian integral dari keimanan dan keyakinan.
Pasal 18 Deklarasi HAM universal memberi jaminan atas kebebasan beragama, mempraktikkan, dan menaatinya. Hak kebebasan beragama bahkan masuk dalam kategori non-derogable rights, hak yang tidak boleh ditunda dalam keadaan apa pun bahkan dalam keadaan perang.
Sebuah Al-Qur.’an bisa rusak digerogoti rayap, terbakar dalam sebuah bencana kebakaran, hanyut karena banjir, dan berkubang lumpur kotor. Umat Islam hanya bisa bersedih dan mungkin menangisinya tanpa bisa berbuat apa-apa.
Tapi, bila ada orang lain yang dengan sengaja membakar dan menginjak-injaknya atau membelepotinya dengan kotoran, jadi lain perkaranya. Ingat, manusia bukan binatang atau serangga. Manusia punya otak dan hati untuk mengontrol tindakannya. Tindakan pembakaran kepada Al-Qur.’an adalah serangan langsung terhadap hak berkeyakinan umat Islam. Tindakan brutal berdasar kebencian yang secara sengaja menyerang hak fundamental orang lain yang justru harus dihormati. Itulah kenapa Kuba dan Cina tegas membela Islam.
Di mana nalar negara-negara Barat itu?
Bagaimana mungkin, atau bagaimana kerja nalar negara-negara yang merasa sudah kelar dengan prinsip-prinsip kebebasan dan demokrasi itu? Atau inilah yang sering dianggap sebagai contradictio in terminis-nya prinsip-prinsip HAM? Lalu, untuk apa dijadikan rujukan kalau prinsipnya saling tabrak saling tikam?
Orang tidak setuju atau tidak suka terhadap sebuah agama, khususnya Islam, itu urusan dia. Tidak mau menyentuh kitab sucinya dan bahkan menganggap sebagai kebodohan atau apa saja, ya silakan! Tapi, lakukanlah semua itu dalam diam. Sunyi. Sendirian aja.
Tidak perlu memprovokasi lewat aksi-aksi ofensif bodoh ekstrem yang justru seperti menyulut dan mengajak orang lain untuk juga membenci dan menghina. Itulah yang dibela Kuba dan Cina.
Tidak bisa dan tidak boleh, sebuah prinsip kemanusiaan universal yang baik, prinsip kebebasan berekspresi misalnya, ditegakkan berdasar hal-hal yang malah berlawanan. Kebencian dan penghinaan adalah tindakan salah. Pembakaran kitab suci juga salah. Maka, tidak akan ada kebenaran yang bisa lahir dari dua kedunguan tersebut.
Memperjuangkan kebebasan mungkin seperti upaya untuk mengurangi beban manusia dari kenyataan bahwa hidup ini penuh dengan keterpaksaan dan pembatasan. Secara fisik, sosial dan politik, manusia dipenuhi keterbatasan dan pembatasan. Tidak sepenuhnya bebas total.
Sebab stres, kurang tidur, makan sembarang enak, bisa sakit. Mau nyetir harus punya SIM. Ke negara lain harus punya paspor dan visa. Jadi presiden cuma boleh 2 periode. Keterbatasan dan pembatasan itu nyata. Sebagian pembatasan lainnya harus diperjuangkan secara bermartabat dengan mental dan moral yang baik dan bermutu, dengan tidak mengusik martabat orang lain.
Mencontoh mentalitas Kuba dan Cina
Penulis Amerika, TS Eliot, dalam Reflections on Vers Libre mengatakan bahwa, “Freedom is only truly freedom when it appears against the background of an artificial limitation.” Dari apa yang dikatakan Eliot itu kita bisa bertanya:
Apakah mereka yang bikin aksi membakar Al-Qur.’an itu sedang dipaksa masuk Islam dan dipaksa menjalani syariat Islam? Sedang diganggu secara langsung hak fundamentalnya untuk menjadi Islam dan meyakini Al-Qur.’an? Tidak! Itu hanya kesenangan majal dan kekanak-kanakan dari orang-orang yang sangat mungkin tidak mendapat perhatian dan kasih sayang orang tuanya.
Konon, salah satu masalah terbesar dari mentalitas pemuja kebebasan adalah, atas nama kebebasan, sungguh-sungguh tidak peduli terhadap apa saja yang orang lain pikirkan. Contohlah Kuba dan Cina!
Penulis: Saleh Abdullah
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Cina Ditakdirkan Perang dengan Amerika: Hitam Putih Dunia di Tangan Xi dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.