MOJOK.CO – Bisa-bisanya kalian emosi sama Ria Ricis? Padahal di saat yang sama kalian sedemikian sabarnya dengan prank para politisi.
Sudah beberapa hari ini jagad permedsosan meributkan Ria Ricis. Musababnya apalagi jika bukan soal undur dirinya dari jagad per-youtubean yang mengejutkan penggemarnya. Menjadi semakin berisik lantaran keputusan itu dianulir Ria Ricis sendiri hanya berselang dua hari dari kejadian pertama. Alhasil, beragam nyinyiran muncul dari netizen yang kesal.
Tambah menyebalkan lagi, ternyata kedua video yang menayangkan dua momen itu sama-sama viral. Artinya dua video ini sukses menambah pundi-pundi kekayaan Ria Ricis. Seakan belum cukup, kekesalan netizen semakin bertambah lantaran—bukannya tahu diri—Ria Ricis dan timnya justru dengan bangga memamerkan kesuksesan tembus jumlah subscribers hingga 16 juta!
Respons netizen ini sebenarnya wajar sekaligus wagu. Wajar, karena barangkali kita (kita?) sudah terlalu muak dengan dengan banyaknya drama sensasional unfaedah dari sebagian youtubers yang seperti rela melakukan apa saja demi mendulang views dan subscribers. Mulai dari yang receh hingga yang cringe. Hal itu seakan mengonfirmasi betapa semakin dangkalnya mutu tontonan masyarakat kita.
Tapi di saat bersamaan itu juga terasa wagu, karena sebenarnya maraknya sensasi semacam ini sendiri juga sudah menjadi hal yang lumrah dan harusnya tak lagi perlu dihebohkan sedemikian rupa. Seakan-akan kejadian Ria Ricis pamit lalu nongol lagi itu adalah hal yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Apalagi, kalian sendiri juga ngakunya nggak subscribe, nggak biasa nonton video-video Ria Ricis, bahkan tahu Ricis saja tidak. Lha, terus, ngapain kalian ikut meributkan hal yang kalian nggak tahu?
Bisa-bisanya kalian emosi sama Ria Ricis maupun teman-teman youtubersnya itu, padahal di saat yang sama bisa demikian sabar dan nrimo–nya dengan segala macam jenis prank dari para politisi?
Padahal dibandingkan prank para youtubers, kurang menohok gimana coba prank para om-om itu?
Misalnya, ada yang oleh sebagian kalangan dikemas dan dipersepsikan sebagai pahlawan kaum pembela agama. Bahkan dianggap mewakili agama segala. Ealah ternyata kemampuan ngaji dan salatnya saja dipertanyakan.
Di sisi lain, ada juga yang mencitrakan kubunya sebagai gerbong anti orba. Ternyata justru kubunya sendiri yang banyak mengakomodir gaya-gaya orba. Razia diskusi dan buku diam aja. Ada orang yang mengkritik pemerintah lalu ditangkap atas tuduhan pencemaran nama baik diam aja. Pura-pura nggak lihat.
Ada juga yang bernazar mau potong titit dan jalan kaki Jakarta-Jogja jika sampai lawannya menang. Eh, ternyata itu cuma prank. Prank untuk seluruh rakyat Indonesia lagi.
Belum lagi yang bicara soal kemandirian bangsa dan memperketat celah kepentingan asing untuk masuk, tetapi kemudian dengan berapi-api justru mendukung penuh investor luar untuk masuk. Bahkan akan menyingkirkan mereka yang menghambat. Ada yang kayak gitu? Oh, ada!
Kalian bilang orang-orang macam Ria Ricis dan para youtubers itu menipu, mengeksploitasi, bahkan memberi pengaruh buruk terhadap penggemar dan subscribers-nya, yang notabene konon dikuasai segmen generasi muda dan remaja ini?
Hello, penggemar Ria Ricis itu 16 jutaan, Gaes. Itu pun kita nggak tahu semuanya akun asli atau bukan.
Nyatanya di antara 16 jutaan subscribers itu, yang udah nonton dua video viral itu (sampai hari ini) masih di angka 5-6 jutaan aja kok. Artinya ada sekitar 9-10 jutaan akun yang klik tombol subscribe tapi nggak nonton.
Itu jelas tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan “subscribers” kedua capres yang masing-masing menyentuh angka ratusan juta. Jelas jumlanya berkali-lipat ketimbang subscribers Ria Icis (16-an juta) atau Atta Halilintar (18-an juta).
Bahkan seandainya Ria Ricis dan Atta Halilintar nyapres pun, mereka akan dengan mudah digilas oleh kandidat lainnya kok.
Kok bisa? Ya bisa dong, sebagian besar subscribers mereka berdua kan belum punya hak pilih. Apalagi, belum tentu juga semua subscribers mereka itu ada orangnya beneran atau nggak.
Lagian kalau kalian merasa ditipu sama video Ria Ricis pamit, paling ya kalian sebenarnya cuma tertipu kuota dan waktu doang.
Nah, sekarang coba bayangkan dengan subscribers kedua pasangan peserta capres kemarin. Dari yang terdeteksi aja, berupa yang jelas-jelas menyumbangkan suaranya dalam pemilu dan kena tipu?
Di antara sekian juta para pendukung masing-masing capres itu, entah ada berapa orangnya yang sampai bela-belain sampai putus pertemanan, putus silaturahmi, bahkan sampai ditangkap polisi. Semua dijabanin demi membela capres yang didukungnya. Nah lho.
Lalu begitu pilpres berakhir, para pendukung akar rumput yang sudah habis-habisan ikut serta dalam pertikaian bertahun-tahun itu dikejutkan dengan jagoan mereka yang malah rekonsiliasi di MRT. Mesra dan penuh keramahan. Jauh beda dibandingkan pidato-pidato kampanye sebelumnya.
Tidak berhenti di sana, adegan ini berlanjut sampai perjamuan makan-makan dengan ketua partai lawan. Bahkan muncul peluang koalisi bareng. Waw, keren nggak sih aksi prank-nya?
Iya, iya. Rekonsiliasi itu bagus dan mulia sekali. Hanya orang keji tak berhati saja yang tak setuju kedua kandidat capres itu berdamai untuk kebaikan bangsa. Justru itu adalah gestur dan pendidikan politik yang patut diapresiasi, bahkan dilestarikan.
Bagaimanapun pemilu hanyalah sebuah pesta demokrasi dan kontestasi rebut-rebutan jatah kue biasa. Apalagi setelah rakyat kian lelah melihat segregasi sosial yang seakan tak berujung selama 5 tahunan ini. Rekonsiliasi ini ya cukup melegakan. Tapi, bukan di situ persoalannya.
Persoalannya adalah, jika memang sejak awal menyadari ini semua hanya sebuah kontestasi biasa, dan akan dengan mudahnya diakhiri dengan rekonsiliasi penuh kemesraan seperti itu, lantas kenapa kok selama ini kok doyan banget bikin kompor pertikaian? Mana ngomporinya kadang pakai agama, ras, suku, sampai DNA PKI lagi.
Kenapa tidak sejak awal masing-masing kedua pasangan kandidat itu melakukan aksi nyata memberi keteladanan berkompetisi secara fair dan mengedepankan prinsip-prinsip persaudaraan dan kebangsaan di atas segalanya?
Misalnya, masing-masing kubu memecat anggota timses yang terindikasi gemar memprovokasi, menebar hoaks, fitnah, atau menyebarkan sentimen SARA? Misalnya, lho, ya.
Dan ketika ternyata masyarakat masih terbelah hingga hari ini, apa pertanggungjawabannya? Apa? Jawab, Lorenzo! Rekonsiliasi elite? Gitu doang?
Dengan situasi semacam itu, setelah dikerjai demikian rupa berhadap-hadapan sama saudara sendiri, kalian masih merasa baik-baik saja? Jika iya, okelah itu bagus. Tapi, kok kalian segitunya nyinyir sama Ria Ricis? Kan dia sejak awal memang nggak pernah menjajikan apa-apa buat kalian?
Gimana kalau misalnya, apa yang dilakukan oleh Ria Ricis itu semata-mata merupakan sebuah pengamalan dari keteladanan yang sudah dipertontonkan para bapak-bapak dan ibu-ibu di Senayan sana? Yah, semacam learn from the best begitu.
Siapa tahu kelak—ini siapa tahu—di masa depan Ria Ricis mau nyaleg menjadi salah satu dewan perwakilan terhormat di Senayan. Bahkan mungkin nyapres sekalian. Ya kan siapa tahu.
Soalnya kalau dipikir-pikir lagi, dengan videonya yang viral kemarin itu, Ria Ricis ini saya lihat sebenarnya cukup punya bakat.