Kesedihan yang Saya Rasakan di Atas Bus Surabaya Semarang

Entah kebetulan atau tidak, dalam tiga kepulangan terakhir saya baru-baru ini, para pengamen di bus Surabaya Semarang seperti sepakat untuk “menjeritkan” keperihan yang sama

Kesedihan yang Saya Rasakan di Atas Bus Surabaya Semarang MOJOK.CO

Ilustrasi Kesedihan yang Saya Rasakan di Atas Bus Surabaya Semarang. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COMenengok kembali catatan lama tentang perjalanan Surabaya ke Semarang, sekarang, semua sudah sangat berbeda.

Momen kembali naik bus trayek Surabaya Semarang dalam beberapa waktu terakhir ini nyatanya tak hanya sebatas menjadi momen nostalgia bagi saya. Lewat lagu-lagu yang dibawakan para pengamen di setiap titik pemberhentian, saya justru disuguhkan gambaran kenyataan hidup yang kian tak bersahabat.

Setelah terakhir kali pada 2019 lalu, saya akhirnya memutuskan kembali naik bus trayek Surabaya Semarang untuk menempuh perjalanan pergi-pulang Surabaya Rembang. Biasanya saya lebih suka naik motor karena bisa lebih leluasa. Namun, karena agak wegah kehujanan di sepanjang perjalanan, dan terutama karena kondisi tubuh yang kurang fit, naik bus saya kira jauh lebih aman dan nyaman.

Ketika berada di dalam bus, saya, seperti di waktu-waktu yang telah lewat, mencoba menerka-nerka playlist lagu yang akan dibawakan para pengamen yang hilir-mudik keluar-masuk bus.

Catatan masa lalu ketika naik bus Surabaya Semarang

Dulu, di rentang 2017 hingga 2019, saat masih sering naik bus Surabaya Semarang, saya sempat iseng membuat list genre lagu yang dinyanyikan oleh para pengamen tersebut. Misalnya, jika tiba di Gresik, pengamen akan menyanyikan apa; ketika masuk Lamongan membawakan lagu siapa; dan seterusnya.

Kesimpulan yang saya dapat saat itu, 75 persen lagu yang dinyanyikan para pengamen di bus Surabaya Semarang adalah lagu-lagu dengan lirik dan musik bernuansa “semangat”. Yang ketika dibawakan akan membuat penumpang, khususnya saya, secara reflek ikut mengangguk-anggukkan kepala, menggoyang-goyangkan kaki, menikmati.

Suasana yang ternyata berbeda sama sekali dengan momen naik bus Surabaya Semarang baru-baru ini. Saya tak melihat wajah-wajah pengamen yang tetap semringah saat bernyanyi. Rata-rata muram dan pias. Saya tak lagi mendengar senandung penuh gairah. Hanya lagu-lagu sendu yang lebih terdengar seperti ratapan seseorang yang telah berada di ambang putus asa. Wabah panjang Covid-19 seperti tak menyisakan hal lain selain kesulitan-kesulitan.

Tuban: lagu-lagu kekalahan di bus trayek Surabaya Semarang

Dari arah Rembang, Jawa Tengah, rute yang akan dilalui bus Surabaya Semarang untuk sampai ke Terminal Bungurasih adalah Tuban, Lamongan, Gresik, dan masuk ke Terminal Bungurasih sebagai pemberhentian terakhir. Secara administratif termasuk bagian dari Kabupaten Sidoarjo.

Karena Tuban menjadi rute pertama yang dilewati bus trayek Surabaya Semarang, maka saya memulai tulisan ini dengan lagu-lagu sendu dari para pengamen Bumi Wali.

Dalam “catatan lama” saya di sepanjang trayek Surabaya Semarang, Tuban saya sebut sebagai basisnya pengamen Campursari. Terutama ketika memasuki daerah Manunggal. Mereka mengamen dengan membentuk grup yang terdiri dari dua sampai orang. Berisi pemetik gitar, pemain kentrung (yang biasanya juga bertindak sebagai vokalis), dan penabuh gendang paralon.

Dari beberapa lagu Campursari yang dibawakan, di antara yang saya cukup familiar di bus trayek Surabaya Semarang adalah lagunya The Godfather of Broken Heart Didi Kempot. Yang kebetulan paling sering saya dengar saat berjumpa mereka di Tuban adalah “Perawan Kalimantan”, “Stasiun Balapan”, “Sewu Kutho”, “Jambu Alas”, hingga “Pamer Bojo”.

Memang lagu-lagu dengan tema patah hati. Tapi, seperti jamak diamini, patah hati dalam lagu Didi Kempot itu beda. Alih-alih menyayat hati, justru membuat pendengar tidak bisa untuk tidak berjoget. Dan itu yang terjadi di dalam bus tiap kali para pengamen Tuban ini “tampil”. Beberapa kali pada waktu itu ada penumpang yang secara khusus membayar mereka untuk menambah lagu.

Sayangnya, terkaan saya dalam beberapa kali kesempatan pulang belakangan ini meleset. Tak ada lagi suasana bus yang gayeng setiap tiba di Tuban. Saya hanya menjumpai para pengamen di bus trayek Surabaya Semarang yang membawakan lagu-lagu berisi pengakuan kalah. Sebut saja “Ojo Dibandingke” dari Abah Lala hingga “Kalih Welasku” milik Denny Caknan yang dinyanyikan dengan getir dan tanpa gairah. Belum lagi lagu-lagu lain yang sayang saya tak tahu judulnya, tapi di telinga saya terdengar seperti sebuah tangisan alih-alih nyanyian.

Baca halaman selanjutnya….

Lamongan: parade lagu-lagu menyayat hati Iwan Fals dan Ebiet G Ade

Sepanjang ingatan saya di tahun-tahun yang sudah lewat di bus trayek Surabaya Semarang, beberapa pengamen Lamongan biasanya suka membawakan lagu-lagu pop melayu hingga pop rock dari band-band angkatan 90-an. Nama-nama yang saya catat misalnya, Peterpan (sekarang NOAH), ST12, hingga Dewa 19.

Ya meski tak dinyanyikan dengan baik, tapi setidaknya lagu-lagu pop tersebut membuat suasana dalam bus jadi sedikit berwarna. Khususnya bagi yang tumbuh bersama lagu-lagu dari band-band di atas.

Di satu atau dua kesempatan juga ada yang membawakan lagu-lagu bernuansa “semangat” dari Gombloh, Iwan Fals, hingga Chrisye. Yang saya catat di antaranya, “Kugadaikan Cintaku”, “Bongkar”, “Pesawat Tempurku”, “Surat Buat Wakil Rakyat”, hingga “Anak Sekolah”.

Di tiga kali perjalanan terbaru saya, seorang pengamen yang masuk dari Jembatan Babat memang masih membawakan lagu Iwan Fals. Namun sudah bukan lagi yang berlirik “menghentak”, tetapi justru menyayat, seperti “Sore di Tugu Pancoran”, “Manusia Setengah Dewa”, hingga “Sarjana Muda”. Bertambah menyayat ketika pengamen itu menambahkan lagu “Titip Rindu Buat Ayah” dan “Berita Kepada Kawan”-nya Ebiet G Ade ke dalam playlist.

Gresik-Bungurasih: lebih sendu dari dulu

Saya mencatat, lagu-lagu yang dibawakan para pengamen di sisa perjalanan dari Gresik ke Bungurasih sedari dulu cenderung lebih beragam. Beberapa pengamen membawakan lagu-lagu sendu, beberapa yang lain membawakan lagu dengan lirik bergairah.

Yang paling melekat dalam ingatan, para pengamen yang naik dari Terminal Bunder Gresik biasanya mengamen dengan cara yang “lebih niat”. Tak hanya sekadar bernyanyi untuk dapat recehan, tapi tampak seperti sekelompok orang yang memang ingin berkesenian.

Saya ingat betul, dulu ketika melintasi rute terakhir ini, sering sekali bertepatan dengan para pengamen yang membawakan musikalisasi puisi. Dari puisi karya Gus Mus, Wiji Thukul hingga Chairil Anwar. Yang mengamen terdiri dari dua orang. Satu memainkan gitar sembari bernyanyi dan berpuisi, satunya lagi meniup harmonika. Sebagai mahasiswa penyuka puisi dan sastra, mendengar pengamen itu bernyanyi dan berpuisi, rasanya ada yang bergelora di dalam dada saya.

Mereka umumnya bisa didapati di sore atau malam hari. Adapun jika pagi dan siang, biasanya akan diisi oleh ibu-ibu yang mengamen dengan model karaoke; menyetel musik dari sound kecil yang dibawa, lalu mendendangkan lagu sesuai irama.

Lagu-lagu yang dibawakan adalah lagu-lagu dangdut koplo, baik yang lama maupun yang baru nge-hits. Saat itu, “Dinding Kaca”, “Mawar di Tangan”, dan “Bojo Galak” menjadi yang paling sering saya dengar. Sebelum akhirnya belakangan ini bergeser ke lagu-lagu pilu melayu seperti “Tiara” hingga “Buih Jadi Permadani”.

Sepakat untuk menyuarakan kepedihan hati di bus trayek Surabaya Semarang

Entah kebetulan atau tidak, dalam tiga kepulangan terakhir saya baru-baru ini, para pengamen di bus Surabaya Semarang seperti sepakat untuk “menjeritkan” keperihan yang sama; tentang hidup yang hanya memberikan kekalahan berkali-kali; perihal nasib yang masih berkutat di bawah dan tak kunjung ikut berputar ke atas.

Memasuki Medaeng, beberapa jengkal menuju pintu kedatangan Terminal Bungurasih, seorang bocah masuk dengan mencangklong tas kecil dan menenteng kecrekan. Dia, dengan suara kecilnya, memohon diri untuk ngamen pada sisa-sisa penumpang. Tak jelas apa yang dia nyanyikan. Hanya samar-samar saya tangkap lagu itu berkisah tentang kerinduan seorang anak pada ayahnya.

BACA JUGA Pengalaman “Horor” di Perjalanan dari Surabaya Menuju Sidoarjo dan pengalaman menarik lainnya di rubrik ESAI.

Penulis: Muchamad Aly Reza

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version