Bursa capres-cawapres hampir final. Jokowi mengusung KH Ma’ruf Amin sebagai cawapres. Sandi dipilih Prabowo sebagai pendampingnya. Dua pilihan yang agak mengejutkan publik.
Pilihan Jokowi tampaknya lebih mudah dipahami. Setidaknya karena dua alasan utama. Pertama, jelas Jokowi membutuhkan sosok ulama untuk membendung isu yang selama ini dijadikan senjata untuk menyerangnya. Kedua, para parpol merasa lebih nyaman karena MA dianggap sudah sepuh (75 tahun) sehingga sangat kecil kemungkinan mencalonkan diri jadi capres pada pilpres 2024 nanti.
Alasan yang agak membingungkan publik adalah dipilihnya Sandi untuk mendampingi Prabowo. Di luar soal isu dukungan finansial Sandi, pilihan ini terkesan ganjil. Pertama karena keduanya dari Gerindra. Jelas bagi akar rumput PAN dan PKS akan sulit untuk sepenuh hati mendukung pasangan ini. Kedua, basis pemilih keduanya sama. Jaring politik yang dibentangkan jelas tidak akan bisa melebar. Ketiga, elektabilitas Sandi sangat rendah, tidak akan banyak mengatrol elektabilitas Prabowo.
Tapi tindakan politik selalu bisa dianalisis. Persoalan jitu atau tidak, tepat atau tidak, itu bukan hal yang penting. Dalam menganalisis politik, bangunan argumenlah yang lebih diperlukan.
Saya menganggap bahwa dipilihnya Sandi ini memang produk dari ketidakmampuan Prabowo mengakomodasi kepentingan ketiga partai: Demokrat, PAN, dan PKS. PAN dan PKS sudah pasti keberatan jika Demokrat memasang AHY. Apalagi PKS sebagai koalisi strategis Gerindra yang sudah sangat teruji. Tapi Prabowo juga menyadari bahwa tidak mungkin menggaet satu dari sembilan nama yang disodorkan PKS. Elektabilitas kesembilan nama tersebut sulit dikatrol.
Jika Gerindra memaksa berpasangan dengan Demokrat saja, basis konstituen mereka sangat terbatas. Setidaknya kalau tetap dengan PKS dan PAN, Prabowo tetap berharap bisa mendapatkan limpahan suara pemilih dari golongan Islam.
Menurut saya, pilihan ini sebetulnya bukan hanya pilihan sulit, tapi derajat politiknya memang sengaja ‘diturunkan’. Bagaimana itu?
Prabowo sudah tahu kalau dia akan kalah. Tapi dia tahu kalau harus tetap maju. Sebab kalau tidak maju, suara Gerindra akan turun. Dan aturan pemilu mensyaratkan parpol atau gabungan parpol yang memenuhi syarat harus mengajukan pasangan capres-cawapres. Jadi target Prabowo jelas sudah diturunkan dari ingin memenangi pilpres menjadi Gerindra memenangi pemilu legislatif. Alasan ini pula yang membuat dia memilih Sandi. Sebab pertarungan pileg dan pilpres yang dilakukan bersamaan ini membutuhkan dana besar.
Dalam konteks itu pula, wajar jika PKS dan PAN pun menurunkan derajat politik mereka. Raihan kursi pemilu legislatif menjadi sangat penting. Terlepas dari gosip soal gelontoran uang yang dilakukan Sandi kepada dua partai ini, rasanya cukup rasional kedua partai ini bisa mendapatkan pelumas finansial dari pasangan Prabowo-Sandi.
Pertimbangan lain adalah dalam kacamata politik elektoral, tidak mungkin semua parpol yang mendukung Jokowi-MA akan mendapatkan limpahan suara politik atas pencalonan pasangan ini. PPP dan PKB akan tetap berebut suara sendiri. PDIP, Golkar, Hanura, Nasdem, Perindo, PSI, dan PKPI pun akan berebut suara. Dalam perebutan suara itu, PDIP-lah yang mungkin akan kena ‘efek ekor jas’. Perebutan suara pileg di kubu Jokowi jelas akan padat dan keras. Jokowi mungkin akan menang mudah. Tapi mungkin 4 atau 5 parpol bisa tidak lolos ambang batas perolehan suara parpol.
Faktor itulah yang sedang dibidik oleh Gerindra, PAN, dan PKS. Prabowo mungkin akan kalah mudah. Tapi perolehan suara legislatif mereka akan naik secara signifikan. Maka seandainya Demokrat bisa bersama mereka, bukan tidak mungkin keempat parpol ini bisa memenangi 50 persen lebih. Sayang, Demokrat tak berhasil dikunci.
Persoalan Demokrat memang lebih pelik. Pilihannya sangat terbatas, dan serba salah.
Nah, lalu apa keuntungan Sandi jika memang pertarungan ini dari awal akan diketahui kalah? Dia akan menjadi pimpinan penting Gerindra, dan menjadi dirigen dari dua parpol lain: PAN dan PKS.
Dengan begitu, Sandi punya dua modal penting: sorotan publik selama 9 sampai 10 bulan ke depan sebagai cawapres Prabowo, dan kepemimpinan politik oposisi yang diharapkan bisa memanen banyak kursi di parlemen. Kedua modal itulah yang menjadi roda penting baginya untuk bertarung di Pilpres 2024.
Jadi pada pilpres 2024 nanti, kandidat terkuat bukan Anies Baswedan, AHY, Cak Imin, Romahurmuziy, atau Ridwan Kamil. Kandidat terkuatnya: Sandiaga Uno.
“Lha tapi kan Sandi keluar banyak sekali uang? Apa ya impas?” Pasti begitu pertanyaan banyak uang. Jawabannya, kalau orang sudah kaya, sangat wajar punya cita-cita seperti itu. Sama wajarnya jika kalian sudah punya sepeda motor lalu ingin punya mobil. Kedua, bisa juga keluar uang banyak, bisa juga tidak. Kok bisa? Lha sejak kemarin harga saham perusahaan-perusahaan Sandi sudah melonjak. Besar kemungkinan itu akan dinikmati dalam waktu panjang, sepanjang masa kampanye.
Begitulah kira-kira analisis saya. Anda boleh tidak sepakat, tentu saja. Tapi apa dong, analisis Anda?