Dalam hidup ini, kita teramat sering berada dalam posisi harus bisa mengatasi segala hal, memenangi pertarungan, melewati proses dengan gemilang, dan hal lain semacam itu. Seolah kita adalah para penyintas atas semua masalah kehidupan yang tidak boleh menyerah.
Dalam pengalaman sesungguhnya, sebetulnya sebagian besar dari kita hanya berhasil di sedikit hal. Saya telah mendengarkan dan membaca banyak kisah orang sukses. Selalu yang terselip di sana adalah kejujuran bahwa tidak pada semua hal mereka sukses. Bahkan hanya pada sedikit hal. Tetapi orang lebih suka menyorot yang sedikit hal itu, tanpa pernah tahu kegagalan di banyak hal. Itu bisa dimengerti, kisah sukses lebih disukai karena bisa memompa semangat. Tapi, kisah sukses juga bisa menjadi ilusi karena seolah pada semua hal orang harus sukses.
Saya juga punya banyak teman pengusaha. Kebanyakan dari mereka dipandang orang dari kesuksesannya. Padahal kebanyakan dari mereka telah melakukan banyak bisnis yang gagal. Dan di dalam bisnis yang gagal itu ada juga kerja keras, ada juga proses memeras energi, juga modal, tapi akhirnya kandas juga. Salah satu teman pengusaha bahkan mengatakan, mungkin kesuksesan bisnisnya kalau dipersentasi, bisa 10:1. Mencoba 10 bisnis, yang dianggap berhasil hanya 1.
Itu baru dalam hal bisnis. Belum dalam hal lain. Bisnis hanya satu macam persoalan dalam kehidupan ini. Ada juga persoalan keluarga, relasi sosial, persoalan spiritual, dll..
Dalam banyak tragedi, penyintas selalu lebih sedikit. Bahkan bisa dibilang langka. Mereka bisa selamat dan bertahan, tapi banyak yang lain yang tidak selamat dan tidak bisa bertahan. Apakah mereka yang tidak selamat dan tidak bisa bertahan itu tidak berusaha untuk melewati itu semua?
Dalam kasus corona, saya juga belajar akan hal ini. Banyak sekali orang yang kena corona yang menjalankan laku disiplin protokol kesehatan. Banyak dari mereka yang tidak bisa bertahan bahkan tanpa penyakit-penyerta. Tapi, ada banyak orang yang biasa-biasa saja atau cenderung teledor dalam menjalankan protokol kesehatan, atau orang dengan penyakit-penyerta lalu kena corona ternyata malah selamat. Tentu bukan berarti dengan pengalaman itu membuat kita tidak lagi mematuhi protokol kesehatan, melainkan harus tetap ada radar tertentu di diri kita bahwa hidup begitu kompleks, kadang ada batas di luar nalar, hal yang belum kita pahami, yang mesti kita terima sebagai bagian dalam hidup ini.
Seorang bapak rumah tangga, dituntut harus selalu berhasil dalam menahkodai kehidupan rumah tangga. Tapi, itu juga hal yang absurd. Harus punya kerjaan. Harus selalu mendapatkan uang. Harus harmonis dengan istrinya. Harus hebat dalam mendidik anak, dll.. Faktanya? Banyak yang tidak punya kerjaan. Banyak yang punya kerjaan, tapi tidak menghasilkan cukup uang. Tidak bisa menjaga keharmonisan hubungan dengan pasangan sehingga berakhir dengan perceraian. Anak juga bisa saja tak mau di bawah kendali kita, atau mereka di luar apa yang kita pikir.
Kita disuruh berhasil pada semua hal, dan itu tuntutan yang tidak adil bagi diri kita sendiri. Sebagian kehidupan kita disusun oleh kegagalan. Dengan begitu, sebetulnya kita harus membiasakan diri selain menerima kegagalan juga dengan terbuka menyatakan menyerah. Kalau memang masalah terlalu pelik, sudah terlalu lama mencoba diatasi ternyata tidak ketemu juga solusinya, atau harga dari mengatasi masalah itu jauh lebih mahal dari hasil yang kita dapatkan, rasanya tak perlu malu dan ragu untuk menyerah.
Masalahnya, kadang kita gengsi menyatakan itu. Merasa tidak punya nilai kepemimpinan bagi karyawan ketika menyatakan menyerah mengatasi masalah. Padahal masalah kita bukan hanya itu dan di lain hal kita bisa mengatasinya. Di kehidupan kita yang lain, misal dalam rumah tangga, kita bisa mengatasinya. Atau di tempat usaha lain, kita bisa memecahkan persoalan. Terus kenapa dalam satu hal ketika kita tidak bisa mengatasinya dan menyerah, lalu merasa malu?
Saya atau mungkin Anda telah menyaksikan puluhan atau bahkan ratusan usaha yang hancur, apakah orang-orang yang ada di sana tidak punya komitmen moral untuk menyelesaikan masalah sehingga kehancuran itu tiba? Kita juga mungkin menyaksikan banyak rumah tangga tak bisa diteruskan, apakah kemudian kita berpikir bahwa pasangan-pasangan tersebut tidak berusaha menemukan cara terbaik? Banyak orang gagal lulus sekolah atau mendapatkan pekerjaan, apalah karena mereka bodoh dan malas?
Kita bisa kehilangan di satu sisi, dan kita bisa mendapatkan sesuatu di sisi yang lain. Ketika satu pintu tertutup, pintu lain terbuka. Begitu kata pameo tua. Di situ dikatakan “pintu lain” bukan berarti “pintu yang sama”.
Saya kenal banyak pelukis hebat di negeri ini. Dan saya tahu persis, karya mereka yang gagal jauh lebih banyak dibanding karya mereka yang berhasil lalu laku. Saya kenal banyak penulis hebat di negeri ini, dan saya tahu persis karya mereka yang tidak jadi, atau proyek penulisan mereka yang kandas, jauh lebih banyak dibanding yang berhasil mereka selesaikan lalu terbitkan.
Dengan begitu, rasanya kita harus menyikapi biasa saja jika ada orang menyerah. Orang menyerah bukan berarti tidak berusaha. Dan setiap usaha, tidak selalu berhasil. Bahkan lebih banyak yang tidak berhasil. Lalu kenapa kita tidak boleh menyerah?
BACA JUGA Pembangkangan Pemudik dan esai Puthut EA lainnya.