MOJOK.CO – Ada 5 alasan yang menjadi penyebab pasangan Jokowi dan Ma’ruf Amin sulit dikalahkan Prabowo dan Sandiaga Uno di Pilpres 2019. Apa saja 5 alasan ini?
Makin hari, pertarungan dua kandidat capres-cawapres makin memanas. Tapi sampai tulisan ini dibuat, jarak antara Jokowi-Amin dengan Prabowo-Sandi masih terpaut jauh.
Beberapa lembaga survei memberikan keterangan bahwa jarak keduanya terentang antara 18-20 persen. Beberapa yang lain menyatakan 10-11 persen. Kalau kita ambil titik moderat, keduanya masih terpaut 14-15 persen. Melihat jarak sejauh itu, rasanya sulit bagi Prabowo mengalahkan Jokowi.
Lalu, sebetulnya apa sih yang membuat Jokowi sulit dikalahkan, sementara di sisi lain isu ketidakmampuannya mengelola pemerintahan makin mendapatkan perhatian publik yang tinggi? Mulai dari salah sasaran pembangunan infrastruktur, neraca perdagangan yang makin memburuk, sampai kasus seperti Novel Baswedan dan Abu Bakar Ba’asyir.
1. Petahana selalu menguasai semua instrumen kekuasaan.
Di Indonesia, mau Anda bupati, walikota, gubernur, apalagi presiden, selalu diuntungkan dengan penguasaan atas semua instrumen kekuasaan. Presiden menguasai kementerian, kepolisian, dan lembaga negara lain yang beroperasi dan bersentuhan langsung dengan masyarakat.
Keuntungan ini bukan hal yang ganjil. Ya memang begitu. Sehingga semua instrumen bisa digerakkan sebagai mesin pemenangan, entah itu dari sisi program kerja maupun dari sisi sumber daya manusia (pegawai).
2. Petahana didukung 9 parpol.
Mulai dari partai besar seperti PDIP dan Golkar; partai menengah seperti PKB, PPP; partai kecil seperti Nasdem dan Hanura, dan partai yang baru seperti Perindo, PKPI, dan PSI. Hal ini punya konsekuensi penting di lapangan.
Anggaplah satu parpol ada 8 caleg di setiap dapil. Itu artinya dalam satu dapil ada 72 caleg yang akan berusaha memenangkan Jokowi dan diri mereka sendiri. Sekalipun setiap caleg bertarung satu sama lain, tapi mereka tetap membawa dan memperjuangkan kemenangan buat Jokowi.
Sisi lain, kesembilan partai itu punya penguasan wilayah dan basis politik yang berbeda. Hampir di semua wilayah Indonesia, selalu ada penguasaan parpol pendukung Jokowi. Basis pemilih mereka juga kuat. Ambil contoh misalnya kita bedakan antara nasionalis dan agama, maka dengan merapatnya PKB dan PPP, basis pemilih Islam hampir dipastikan banyak diambil oleh Jokowi.
3. Dukungan Kepala Daerah.
Karena didukung oleh banyak parpol, maka konsekuensinya banyak kepala daerah yang juga mendukung Jokowi. Dan sebagaimana yang kita ketahui bersama, setiap kepala daerah selalu menguasai SKPD yang siap menjadi mesin pemenangan sekalipun tentu saja tidak bisa dilakukan dengan vulgar dan kasatmata.
4. Figur publik di kubu Jokowi lebih disukai masyarakat.
Ini poin yang sangat penting bagi kubu Jokowi. Salah satu kelemahan terbesar kubu Prabowo adalah ketidaksanggupan menyusun line up tim pemenangan yang disukai publik. Sementara di kubu Jokowi, ada banyak figur yang sekalipun tidak selalu masuk tim pemenangan tapi identik dengan Jokowi.
Ambil contoh Tuan Guru Bajang (TGB), Tri Rismaharini, Khofifah Indar Parawansa, Mahfud MD, Sri Mulyani, Susi Pudjiastuti, Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo, dan lain-lain. Jari tangan dan kaki tak cukup untuk menyebut daftar mereka. Sementara kita kesulitan mendapatkan bahkan lima nama saja di kubu Prabowo yang mendapatkan simpati publik.
Apa sih pentingnya hal ini? Bisa jadi pemilih tidak begitu suka Jokowi, tapi mereka fans berat Susi Pudjiastuti atau TGB, maka mereka akan memilih Jokowi sebab dua orang itu identik dengan Jokowi.
Orang yang suka Ridwan Kamil atau Tri Rismaharini sekalipun tak tertarik dengan petahana. Mereka punya kecenderungan memilih Jokowi karena tahu persis kedua tokoh itu mendukung petahana.
5. Penguasaan media konvensional.
Merapatnya Hary Tanoe beserta Perindo-nya, maka lengkap sudah penguasaan media konvensional di genggaman Jokowi setelah sebelumnya ada Surya Palon dengan Nasdem-nya.
Kelima faktor ini, jelas sulit ditandingi kubu Prabowo. Jadi sangat wajar jika nanti, Jokowi bahkan bisa menang dengan selisih lebih banyak dibanding ketika kedua pasangan ini bersaing pada tahun 2014 lalu.
Tapi Prabowo ketat menempel Jokowi bahkan melampauinya. Ya. Tapi itu di medsos. Bukannya medsos tidak penting. Medsos sangat penting sebagai bagian dari kampanye. Tapi TPS ada di realitas nyata, dikawal oleh pasukan nyata, dimenangkan oleh tim kasatmata.
Jika di pilpres 2014 Jokowi menang dengan selisih sekira 8 persen, maka sangat mungkin di pilpres 2019 ini, Jokowi menang antara 10-12 persen.
Tentu saja karena ini politik, sebagaimana diktumnya sebagai “seni atas ketidakmungkinan” maka bukan berarti Prabowo tidak bisa memenangi laga. Bisa saja. Tapi diperlukan syarat dan strategi tertentu yang bersifat tidak biasa. Apa saja syarat dan strategi tak biasa itu?
Tunggu tulisan selanjutnya. Tentu saja kalau sempat saya tulis.