MOJOK.CO – Mari kita uji syarat-syarat yang memungkinkan Presiden Jokowi dijatuhkan.
Sudah seminggu ini saya dihadapkan oleh seruan yang susah dipahami perihal isu bahwa Presiden Jokowi bakal dijatuhkan kalau dia menandatangani perppu. Saya hanya bisa geleng-gelang kepala….
Sudah banyak ahli hukum tata negara kita yang menjelaskan bahwa itu isu bohong belaka, dan yang menyampaikan itu, pasti kurang tahu soal hukum tata negara. Tak kurang, tiga orang ahli hukum tata negara menyatakan dengan terang-benderang: Pak Mahfud MD, Pak Refly Harun, dan Pak Zainal Arifin Mochtar. Sebetulnya selain beliau bertiga, ada banyak pakar hukum tata negara yang menjelaskan itu, bahkan termasuk yang menentang perppu.
Jadi bayangkan, bagaimana dongeng yang mengandung unsur kebodohan ini disebarkan begitu rupa. Padahal pendapat ahli hukum tata negara yang setuju adanya perppu maupun yang tidak setuju, keduanya menyatakan tidak mungkin presiden dimakzulkan. Ini memang dongeng aneh yang pasti dibikin oleh orang-orang yang punya watak konspiratif dan paranoid.
Itu dari sisi aturan perundangan. Dari sisi politik dan sosiologis juga tidak mungkin. Mari kita simak baik-baik. Supaya kita semua belajar. Ini ilmu, bukan dongeng dan dengung politik yang tak jelas.
Menjatuhkan presiden, selain butuh syarat konstitusional, yang sudah dijelaskan para ahli hukum tata negara, juga butuh syarat-syarat lain. Syarat pertama adalah institusionalisasi oposisi. Atau oposisi yang terlembagakan.
Saya akan mengambil contoh jatuhnya Presiden Soeharto pada Mei 1998. Atau jatuhnya Sukarno, atau jatuhnya Gus Dur. Nanti bisa dilihat lagi di buku. Supaya lebih mudah saya pakai yang kasus Soeharto.
Saat itu, PDI yang kelak ada tambahan “Perjuangan” adalah lembaga atau partai politik yang benar-benar ditindas Soeharto. Tapi partai ini melembaga. Ada struktur jelas dari pusat sampai daerah. Kemudian ada PPP yang dicurangi habis-habisan pada Pemilu 1997. Lembaganya juga jelas, dan nisbi kuat.
Kemudian ada gerakan LSM waktu itu yang juga kuat sekali. Bahkan sedang kuat-kuatnya. Kemudian tak kurang ada puluhan lembaga yang meletakkan diri mereka sebagai oposisi rezim Soeharto: Petisi 50, PRD, PUDI, dll. Dan tentu saja ada embrio gerakan mahasiswa yang kuat sebagai basis oposisi, karena pusat-pusat studi mahasiswa mulai tumbuh menjadi basis perlawanan.
Sementara di elite, mulai terjadi perpecahan. Terutama elite terdidik yang terkonsolidasi di bawah Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia ( ICMI). Tentara juga mengalami faksionalisasi: Faksi Merah dan Hijau.
Semua itu berkelindan, matang, dan kemudian ketika kekecewaan rakyat terhadap rezim Soeharto meluas dan mematang, Soeharto jatuh.
Ini jelas berbeda bumi langit dengan kondisi sekarang ini. Siapa oposisi Jokowi? Bahkan partai-partai yang berlawanan dengan Presiden Jokowi waktu tarung pilpres kemarin sudah terkonsolidasi. Semua merapat ke kubu Presiden Jokowi. Pertarungan elektoral selesai, konsolidasi politik terjadi, bahkan tidak menyisakan ruang oposisi.
Itu bisa kita uji dalam demonstrasi mahasiswa yang bertubi-tubi kemarin. Tidak satu pun partai politik yang memberikan dukungan terbuka atau bahkan ikut dalam gelombang demonstrasi. Elite politiknya tidak ada yang muncul dalam orasi-orasi politik jalanan.
Tidak ada oposisi juga di kampus sebagai salah satu kelompok dominan dalam dinamika politik di Indonesia. Di pilpres kemarin, hampir semua kampus berada di kubu Presiden Jokowi. Semua loyal kepada Jokowi.
Dari sisi gerakan mahasiswa, tidak ada institusionalisasi gerakan juga. Dengan SPP yang mahal, manajemen kampus yang melarang mahasiswa beraktivitas malam hari di kampus, gerakan-gerakan mahasiswa yang makin mengecil sejak tahun 1998, jelas bukan lahan yang subur untuk membangun basis perlawanan.
Sementara, elite politik tidak ada yang pecah. Semua sedang menadahkan tangan untuk meminta jatah menteri kepada Presiden. Bahkan yang dulu berseberangan. Semua komentar elite soal Perppu bukan bahasa politik keras. Kata “seyogianya”, “sebaiknya”, “harapan kami”, selalu menempel pada pernyataan-pernyataan itu. Jelas sekali “power” politik ada di Presiden Jokowi. Bukan di partai-partai itu.
Syarat itu menjadi “sempurna” jika terjadi krisis ekonomi. Zaman Sukarno terjadi. Zaman Soeharto juga. Sekarang ini, tidak ada krisis ekonomi. Ekonomi kita masih tumbuh. Yang mau terjadi adalah ancaman perlambatan ekonomi karena pengaruh berbagai hal yang terjadi di luar.
Jadi seluruh rukun dan syarat jatuhnya Presiden Jokowi tidak ada. Dan ini bukan dongeng dan dengungan. Ini ada ilmunya. Dikaji banyak orang. Cek fenomena jatuhnya Soeharto dengan lengsernya Gus Dur dan Sukarno, sama semua. Hanya nama-nama lembaga dan kelompok elitenya yang berbeda. Di era sekarang, tidak ada.
Maka gugon-tuhon soal jatuhnya Presiden Jokowi itu sebaiknya diakhiri. Kalau cuma orang demo sekian ratus orang dengan membawa seruan supaya Jokowi mundur atau seruan-seruan di medsos, masak itu harus kita percaya? Itu namanya disetir oleh kebodohan. Sialnya, setiap kebodohan berlindung di balik teori konspirasi yang aneh-aneh. Itu wajar. Kalau sesuatu tidak bisa dijelaskan secara keilmuan dan rasionalitas, maka mesti berlindung di bakik dongeng konspirasi. Sial betul iklim politik kita kalau mau disetir hal semacam itu.
Memang, Presiden Jokowi bakal tak jadi presiden dalam waktu dekat. Ini serius. Karena masa baktinya sudah rampung. Tapi setelah itu diangkat kembali.
Begitu ya, semoga hal ini menambah informasi agar ada sedikit bobot intelektualitas dalam aneka gosip politik mutakhir di Indonesia.
BACA JUGA Isu Pemakzulan Jokowi dari Surya Paloh Malah Memperpanjang Urusan Perppu KPK atau artikel rubrik KEPALA SUKU lainnya.