[MOJOK.CO] Terpujilah online shop dan jasa titip yang menyelesaikan perkara repotnya dititipi oleh-oleh. Sini mau jalan-jalan, bukan jadi kurir.
Ada gula, ada semut. Ada yang suka jalan-jalan, ada juga yang hobinya minta oleh-oleh. Dari yang belakangan, terlontar ucapan-ucapan:
“Jangan lupa oleh-olehnya ya!”
“Mau ke Korea? Oleh-oleh skin care dong!”
“Wiii, baru dari Bali? Mana oleh-olehnya nih?”
Saya jadi ingat seorang ibu yang belum lama ini satu angkutan umum dengan saya dari Desa Biduk-Biduk ke Tanjung Redeb (daerah “kota”-nya Kabupaten Berau, Kalimantan Timur). Keluarga dan tetangganya mengantar sampai tepi jalan raya. Ketika ibu itu masuk mobil, para pengantar mengingatkannya untuk membawa pulang piring plastik berwarna merah dan tutup gelas. Sambil merapikan letak tas di bawah jok, ibu itu melongok ke jendela yang setengah terbuka lalu bilang, “Iya, Insyaallah pulang saya bawakan.”
Adegan minta buah tangan ini terasa berbeda dengan yang biasa saya dengar. Ternyata, minta oleh-oleh jadi lebih masuk akal kalau kamu tinggal di desa terpencil seperti Biduk-Biduk, yang setelah ditelusuri, tidak punya pasar. Akses ke kota juga sulit dan jauh sehingga banyak kebutuhan sehari-hari yang tidak tersedia.
Jangan-jangan budaya minta titipan yang kuat di Indonesia memang berakar dari kebutuhan-kebutuhan yang tidak tersedia? Untuk memenuhinya, orang-orang pergi ke kota lain, pulau lain, bahkan negara lain. Kebutuhan yang dicari beragam, mulai dari yang primer, seperti bahan makanan dan kebutuhan rumah tangga, sampai yang tersier, seperti hiburan dan pemandangan.
Oleh-oleh itu tradisi yang baik sebenarnya. Bisa menghangatkan kembali hubungan antarmanusia yang sempat terpisah. Tapi, saya yakin banyak juga orang yang tidak setuju dengan pendapat ini. Terutama orang yang pernah atau malah sering kerepotan hanya karena perkara oleh-oleh.
Memang, tidak semua teman suka minta oleh-oleh. Tidak jarang barang yang diminta termasuk susah dicari. Tidak masalah kalau yang dimintai santai-santai aja. Entah santai dalam arti orangnya memang pemurah, atau santai dalam arti bisa bersikap biasa aja ketika berhadapan dengan teman yang cemberut karena nggak dibawain apa-apa.
Jadi masalah kalau yang dititipi oleh-oleh sebenarnya repot atau malas, tapi sungkan menolak dan merasa tidak enak hati pula jika pulang dengan tangan kosong.
Saya terkadang kasihan pada orang-orang baik yang tidak tahu caranya menolak permintaan. Bukan satu dua kali saya melihat teman-teman perjalanan pontang-panting mencari oleh-oleh. Pernah juga saya mendapati seorang teman yang baru pulang dari Singapura sibuk memesan Garrett Popcorn (yang memang nama popcorn) via jasa titip sista-sista Instagram.
Ketika saya tanya alasannya, ia menjawab, “Ini titipan, kemarin gue nggak sempat beli.”
“Kenapa jadi lo yang repot? Kan lo bisa bilang jujur kalau nggak sempat beli,” komentar saya.
“Nggak apa-apa, gue nggak enak kalau nggak bawain,” ungkapnya pasrah.
Tidak semua teman yang suka minta cendera mata itu menyebalkan. Tapi, teman jenis itu harus percaya, pasangan/keluarga/teman akan lebih sayang sama mereka kalau oleh-oleh datang tanpa diminta.
Buat saya, apa yang dilakukan teman saya ini tidak masuk akal. Bagaimana bisa buah tangan yang seharusnya menyenangkan bagi pemberi dan penerima, berubah menjadi sesuatu yang memberatkan? Pada titik ini, saya beranggapan kalau aturan “pulang jalan-jalan harus bawa oleh-oleh” tidak selalu harus ditaati.
Saya tidak tahu isi kepala orang, tapi menurut tebakan saya, orang yang hobi minta oleh-oleh berasumsi kalau liburan itu berarti belanja banyak. Bagi mereka, adalah normal jika pulang jalan-jalan koper kita penuh dengan seraup magnet kulkas, berpak-pak masker wajah, kotak-kotak cokelat, dan barang titipan orang. Sehingga, mereka merasa wajar untuk meminta atau titip barang kepada orang yang akan jalan-jalan.
Di lain pihak, membawa pulang banyak buah tangan memang bukan masalah bagi sebagian orang. Beberapa bahkan dengan senang hati mencatat titipan dan rela mencarikannya sampai dapat. Biasanya, mereka akan sedia ruang kosong di koper, khusus untuk oleh-oleh.
Tapi, bagaimana kalau kamu bukan golongan orang di atas? Tidak apa-apa. Kamu bukan orang jahat atau pelit, kok. Tidak semua orang jalan-jalan dengan koper besar. Tidak semua orang rela waktu liburannya dipakai keliling kota mencari oleh-oleh titipan teman. Dan yang paling penting, tidak semua orang bepergian dengan dana oleh-oleh yang melimpah.
Jika kamu adalah golongan orang-orang di atas, ingatlah bahwa sah-sah saja menolak permintaan oleh-oleh. Atau bilang terus terang kalau kamu tidak beli oleh-oleh untuk mereka. Jelaskan baik-baik kalau kamu tidak beli bagasi sehingga tidak mungkin membawa pulang banyak barang. Kalau agenda perjalananmu padat dan tidak ada alokasi waktu untuk cari barang titipan, terangkan saja dengan santun. Tidak mengalokasikan banyak dana untuk oleh-oleh?
Ya, jujur saja. Toh, tidak pernah ada aturannya kalau oleh-oleh itu wajib.
Namun, perlu sih buat yang suka titip-titip ini untuk menyadari, sekarang kan udah ada yang namanya toko online dan jasa titip. Kalau cuma bolu meranti atau sambal Bu Rudy, mungkin tak perlu merepoti teman.
Buat saya, oleh-oleh adalah perkara ikhlas. Kalau langkahmu terasa ringan, silakan saja belikan buat mereka yang minta. Sebaliknya, jika merasa terbebani dan mulutmu menggerutu, berarti sudah saatnya kamu berkata tidak. Sesuatu yang diberikan dengan tulus pasti akan membuahkan manfaat, atau setidaknya, kegembiraan bagi yang menerima.
Tidak semua teman yang suka minta cendera mata itu menyebalkan. Tapi, teman jenis itu harus percaya, pasangan/keluarga/teman tandanya lebih sayang sama mereka kalau oleh-oleh datang tanpa diminta. Anggap aja surprise. Jadi, daripada bilang, “Jangan lupa oleh-oleh ya!”, alangkah baiknya kalau bilang “Have fun!” atau “Hati-hati di jalan” kepada mereka yang akan bepergian. Enak didengar, mengandung doa, dan tidak membebani.
Tertanda,
Prawita Indah yang jarang bawa buah tangan