MOJOK.CO – Dukun beranak kadang lebih dipilih untuk menangani persalinan dibandingkan bidan bagi ibu hamil. Alasannya sederhana: kepercayaan udah terbangun.
Saya punya teman yang bekerja sebagai bidan desa. Suatu ketika, ia bercerita tentang masalah di wilayah kerjanya.
“Bagaimana ya, Me. Di sini itu ibu-ibunya lebih suka ngelahirin di rumah. Udah banyak cara dibujuk biar mau lahiran di Puskesmas, tapi tetep aja nggak mau. Sampai bingung harus gimana.”
“Emangnya kenapa lebih suka di rumah?”
“Mereka bilang, kalau sama dukun bayi, habis lahiran bisa langsung baring-baring nyantai.”
“Lha, memangnya, kalau di Puskesmas nggak bisa gitu?”
“Makanya itu. Padahal di Puskesmas, mereka juga dilayani kok. Mau baring-baring atau gimana, terserah. Nggak kalah nyaman lah sama dukun beranak.”
“Hm, karena di Puskesmas bayar kali?”
“Eh, gratis.”
“Kenapa kalian nggak bermitra sama dukun beranak aja?”
“Lah, itu malah program dari zaman dulu, Me. Kami udah jadi sejoli kalau sama dukun.”
“Sosialisasi atau pendekatan ekstra ke ibu hamil sebelum lahiran juga udah?”
“Udah. Pedoman juga udah kami jalankan, mobil siaga sampai rumah singgah juga selalu siap.”
Obrolan saya dengan teman saya tersebut, cukup bikin saya kepikiran. Semalaman saya betul-betul berpikir, kenapa banyak ibu-ibu lebih suka ditangani sama dukun beranak ketimbang tenaga kesehatan?
Sebetulnya ini permasalahan klasik yang belum tuntas diselesaikan di beberapa daerah terpencil. Dulu sih, karena melahirkan dengan menggunakan fasilitas kesehatan, mesti bayar. Belum lagi biaya rawat inapnya. Tapi kan, sekarang ada program pemerintah yang bisa menggratiskan biaya persalinan untuk menurunkan angka kematian ibu melahirkan.
Pasalnya, dulu kematian ibu-ibu hamil atau bersalin sering kali disebabkan karena keterlambatan penanganan medis. Biasanya, mereka baru datang ke fasilitas kesehatan, kalau sudah pendarahan hebat. Atau kejang-kejangnya sudah sampai gigit lidah. Jadinya, bidan sering nerima kejutan dengan pasien kayak gitu.
Bersalin tanpa menggunakan fasilitas kesehatan yang mumpuni, itu sama saja mengambil risiko untuk ibu dan bayinya. Bahkan sekalipun ibu hamil dalam keadaan sehat walafiat.
Sayangnya, kejadian tidak mengenakkan sering kali terjadi begitu saja dan ketahuan baru saat menjelang lahiran.
Jangankan di rumah, di fasilitas kesehatan saja, juga uring-uringan kalau tiba-tiba pasien pendaharahan setelah melahirkan dan butuh darah. Atau tekanan darahnya naik drastis tanpa bisa dicegah.
Nah, kalau dekat dengan fasilitas kesehatan kan minimal asupan cairan melalui intravena dan obat-obatan tertentu bisa segera diberikan. Kondisi tersebut juga bisa tertangani, setidaknya bisa mencegah akibat terburuk yang bisa saja terjadi.
Bayangkan saja jika kondisi yang tidak diinginkan itu terjadi. Yang mau infus, siapa? Yang ngasih obat, siapa?
Belum lagi kalau ternyata bayinya asfiksia—sulit atau tidak bernafas. Nah, terus, yang mau melaksanakan penanganan bayi gawat darurat mulai dari pembersihan jalan napas sampai pemberian oksigen dengan alat-alat, siapa coba?
Ya harus diakui, masih ada ibu hamil yang agak malas memeriksakan kehamilan rutin ke puskesmas terdekat. Terutama kalau infrastruktur di daerahnya belum di bangun.
Kalau di daerah perkotaan mah nggak usah ditanya lagi. Kadang ibu-ibu hamilnya malah udah dalam tahap mengejar gengsi perihal dokter obgyn siapa yang paling hebat dan—kalau perlu—yang paling mahal untuk lahiran nanti.
Maka jadi pemandangan yang bisa dimengerti kalau masih ada ibu-ibu hamil yang lebih memilih dukun ketimbang bidan—terutama—di pedesaan.
Selain soal akses menuju tempat penanganan medis, dukun beranak juga punya sesuatu yang tidak dimiliki oleh bidan. Tentu kita tidak perlu bicara soal pendidikan dan pengalaman membantu persalinan. Kedua profesi ini punya keunggulan masing-masing. Lagian, membandingkan keduanya cuma dari sudut pendidikan bidan rasanya juga tak cukup adil.
Pertama, dukun beranak biasanya lebih jago soal pendekatan psikologis. Dimulai sejak ibu hamil pertama kali, di mana mereka sangat membutuhkan petunjuk, dan arahan dari orang-orang yang lebih berpengalaman.
Begini. Saat kehamilan pertama, dukun beranak bakal mendampingi dan memberi petunjuk perihal apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan. Juga tentang pamali-pamali yang tidak masuk akal. Biasanya, karena faktor kedeketan ini ibu hamil bakal rela dan senang hati menjalankannya.
Akhirnya, secara psikologis, ibu-ibu hamil merasa lebih rileks, dan hal tersebut sangat baik untuk pengelolaan stres serta keadaan janin.
Sebetulnya sih yang beginian nyaris sama kayak bidan. Bidan juga kasih petunjuk buat ngejaga kesehatan ibu dan janin. Hanya saja, perbedaannya terletak pada cara mengintervensi. Bidan cenderung memerintah, bukan membujuk.
Hal ini sebenarnya juga bisa dilihat cukup berbeda di akhir tujuan membantu persalinan. Jika dukun beranak berharap si ibu dan anak selamat dengan bahagia. Ya karena dengan begitu diharapkan si ibu bakal jadi pelanggan, lalu informasi soal kepiawaian si dukun disebar pakai teknik promosi getok tular.
Sedangkan bidan, tujuannya ya cuma satu: ibu dan anak selamat, laporan program selesai.
Kalau kena nama baik kan juga institusinya, sangat jarang kok yang bakal diingat nama bidannya. Hal itu lah yang jadi sebab beberapa Puskesmas mengajak dukun beranak bermitra. Ya karena memanfaatkan ketelatennya itu.
Kedua, dukun beranak sangat mahir melibatkan peran suami dalam proses kehamilan sampai persalinan. Sadar atau tidak sadar, suami sangat berperan dalam pola pengasuhan ibu hamil sampai persalinan. Soalnya pengambil keputusan mengenai siapa dan dilahirkan di mana, biasanya ada di tangan si suami.
Apalagi kebanyakan perempuan masih nurut sama aturan moral klasik kalau di desa. Mereka harus ngikut keputusan si suami. Situasi ini, yang jarang diamati tenaga kesehatan. Padahal kan tidak jarang si suami nggak sesigap kayak di iklan layanan masyarakat suami siaga.
Beberapa hari kemudian, saya ketemu lagi saya teman saya tadi. “Di daerah sana, udah ada sosialisasi persalinan untuk suami belum?”
“Duh, gimana, ya? Kami sih biasa undang mereka juga. Tapi, masalahnya mereka biasanya jarang datang. Beneran deh, susah betul ajak suaminya ikut datang ke Puskesmas.”
Ketika bidan kadang kesulitan soal sosialisasi ke suami, di sisi lain dukun beranak justru cukup mahir membujuk suami untuk membereskan segala persoalan dari awal kehamilan sampai kelahiran.
Dukun bilang, jangan bunuh binatang apapun selama istrimu hamil, mereka manut. Dukun menyarankan pakai sarung saja saat istri sedang proses beranak kalau tidak anakmu susah keluar, mereka juga manut tanpa basa-basi.
Dukun bilang ke sana, si suami nurut. Dukun bilang ke sini lagi, si suami langsung balikan badan. Inilah kemampuan dukun beranak yang jarang dimiliki bidan.
Hm, tapi bisa jadi ini persoalaan reputasi sih. Dukun beranak kan dipercaya gitu karena udah menjalani profesi ini berpuluh-puluh tahun. Kepercayaan masyarakat udah sampai pada taraf takzim, makanya lebih gampang mengarahkan ibu hamil beserta anggota keluarganya yang lain.
Ketiga, kalau ada yang mau tandingi dukun beranak dalam hal kesetiaan mengunjungi ibu nifas di rumah. Hm, saya bakal menaruh hormat, deh.
Bidan mana coba, yang mau merawat bayi dan ibu setelah melahirkan selama 40 hari berturut-turut tanpa digaji?