MOJOK.CO – Mentang-mentang saya punya aksen bicara, apakah saya jadi tampak tidak ahli dalam berbahasa?
Sebelum ia sukses, Arnold Schwarzenegger—bintang Hollywood itu—diledek tidak akan berhasil sebagai bintang film. Salah satu alasannya adalah karena aksen bicara Jermannya yang kental. Tapi, bertahun-tahun kemudian, James Cameron justru menyebut salah satu kunci sukses film Terminator sebagai salah satu film paling berhasil sepanjang sejarah adalah karena aksen Arnold yang berbeda.
Ada banyak tokoh publik terkenal, baik artis, politisi, atau seniman yang bilingual (menguasai dua bahasa) dan berbicara dengan aksen kental dari salah satu bahasanya. Selain Arnold, Henry Kissinger—seorang peraih Nobel—memiliki aksen Jerman kental dalam bahasa Inggrisnya. Mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair memiliki aksen Inggris kuat ketika berbahasa Prancis. Barrack Obama bahkan pernah membuat beberapa orang kulit hitam kurang respek padanya karena aksennya dinilai terlalu “white”, atau terdengar seperti aksen bicara orang kulit putih.
Di tanah air, kita bisa membuat daftar nama tokoh publik yang berbicara dengan aksen jelas, baik dalam bahasa Indonesia ataupun bahasa Inggris. Malah, kita dapat menebak seorang berasal dari daerah mana hanya dengan mendengar cara ia berbicara, terutama dalam forum-forum tidak resmi. Hmm, bukankah ini sebenarnya sungguh praktis dan simpel?
Presiden Jokowi, misalnya. Beliau terdengar sangat medok saat berbahasa Inggris maupun berbahasa Indonesia, menandakan identitasnya yang merupakan orang Jawa. Pun demikian dengan Wapres Jusuf Kalla dengan aksen Bugisnya ketika berbahasa Indonesia. JK sering mengatakan bae’ yang seharusnya dibaca sebagai baik. Mereka yang berasal dari Batak, Ambon, dan Papua juga dapat diketahui asalnya hanya melalui aksennya. Pun begitu dengan dari daerah lain.
Sebenarnya, tidak ada masalah dengan aksen bicara. Hanya saja, kita-kita inilah yang sering mempermasalahkannya Memang benar, kok, kita ini hobi sekali mempermasalahkan hal-hal kecil yang tidak produktif dan tidak substansial. Seperti kebiasaan kita akhir-akhir ini, terutama jika terkait politik, bukan?
Memiliki aksen adalah hal yang sangat wajar dan normal bagi mereka yang bilingual atau multilingual, entah karena pengarauh bahasa pertama atau justru karena pengaruh bahasa kedua. Justru, menurut seoralng linguist bernama Grosjean, memiliki aksen adalah tanda bilingual yang sesungguhnya. Natural. Alami. Apa Adanya. Persis seperti jerawat yang muncul dengan sendirinya saat kita telah menghabiskan seminggu penuh memikirkan dirinya~
Aksen terbentuk tak lepas dari lingkungan tempat kita mempelajari dan memperoleh bahasa tersebut. Ada huruf tertentu dalam bahasa tertentu yang tidak dapat kita sebutkan menurut standar yang berlaku karena kita tidak memiliki huruf tersebut dalam bahasa asli kita. Orang-orang Bugis-Makassar, misalnya, sering menyebut “ikan” dengan ikang, “tanpa” dengan tampa, atau “haram” dengan harang, sampai teman-teman saya sering bercanda:
“Simpan-simpanmi itu kelebihan “G”-mu untuk masa depang.”
Contoh lain muncul ketika Presiden Jokowi menyebut kha alih-alih ha pada kata Al-Fatihah karena pengaruh bahasa Jawa. Orang-orang non-Arab, seperti Indonesia dan Amerika, memang nyatanya mengalami kesulitan menyebut [ħ] dan [ʕ] yang kunci pengucapannya terletak di bagian tenggerokan.
Orang-orang Jepang seringkali tidak dapat menyebut huruf r dalam bahasa Inggris dengan tepat sehingga terkesan seperti “ingin menyebut huruf r tapi nggak ingin-ingin banget, sekaligus seakan-akan hendak menyebut huruf l tapi nggak juga”. Jadinya gimana? Ya, gitu itu: cuma mentok di tahap “seakan-akan”. Seakan-akan mencintai tetapi sebenarnya tidak.
Di beberapa area di dunia, mungkin kita sering mendengarkan pengucapan thank you menjadi [sankju], thing menjadi [sing], think menjadi [sink]. Biasanya, ungkapan ini diucapkan oleh orang-orang Montreal atau bagian New York. Suaranya akan lebih jelas terdengar jika diucapkan oleh orang Prancis.
Keajaiban aksen ditemukan pula dari kebiasaan orang-orang Prancis membaca huruf ‘th’ dengan “s”, “z”, “f”, atau “v”. Jadi, jangan heran jika ada yang menyebut thank you serupa [fengkju]. Sementara itu, orang-orang Portugis tidak dapat menyebut huruf “ch” dalam bahasa Inggris dengan tepat sebab mereka tidak memiliki huruf tersebut. Jadi mereka akan menyebut kata chair dengan sheir, bukannya chair.
Pertanyaannya, kenapa di suatu bahasa huruf tertentu bisa berlaku, sementara di bahasa lain malah berlaku? Kalau sudah begini kan kita jadi repot: ditertawai karena aksen yang berbeda?
“Yah karena mereka tidak membutuhkan huruf itu (dalam sistem bahasa mereka),” kata Dr. Baertsh, seorang ahli linguistik spefisikasi phonology, saat saya tanyai. Saat tidak saya tanyai, tentu beliau tidak menjawab.
Lalu, apakah mereka yang memiliki aksen bicara tertentu adalah tanda bahwa mereka tidak menguasai bahasa tersebut? Atau, itu merupakan tanda bahwa mereka tidak cukup terdidik dan belajar? Jawabnya tentu saja: TIDAK.
Iya, ,tidak, Beb. Ingat-ingat, dong: tak ada hubungannya antara aksen bicara dan tingkat pengetahuan/penguasaaan seseorang dengan bahasa tertentu, baik bahasa Inggris ataupun bahasa Sunda sekalipun. Jauh, Beb. Kalau digambarkan, keadaan ini ibarat aksen Jawa medok Agus Mulyadi dan rubrik Movi (bagian ini sengaja ditulis agar tulisan ini dimuat)—nggak ada hubungannya!
Jadi, menganggap orang lain tidak kompeten hanya karena ia memiliki aksen adalah sama dengan menganggap bahasa Inggris sebagai ukuran intelektualitas seseorang. Kalau pintar bahasa Inggris, berarti pintar. Kalau nggak, berarti nggak pintar. Apalagi, kalau sampai mengukur personality seseorang dengan bahasa Inggris. Ya ampyunnnnn! Plis, deh! Ha mbok kalau mau mengukur personality, ya, sana main @artinamasaya aja di Instagram!
Lagi pula tidak ada orang-orang yang benar-benar tidak beraksen, kok. Pun demikian dengan keadaan di mana tak ada seorang pun yang benar-benar berbahasa Inggris ‘standar’ atau berbahasa Indonesia ‘standar’. Saya memberi tanda petik kata standar sebab kata standar itu sendiri maknanya bisa bias. Kata standar sifatnya preskriptif dan tidak praktikal, hanya dipakai dalam momen formal yang terbatas waktunya. Selepas itu, setiap dari kita ya cuma manusia-manusia beraksen. Tidak standar.
Aksen umumnya tidak menghambat komunikasi (walau memang tidak dapat disangkal kadang terjadi). Sebaliknya, aksen bicara justru dapat menjadi identitas tersendiri. Saya kira yang terpenting kita ubah adalah perspektif tentang aksen yang sering diasosiakan secara tidak tepat. Ketika mendengar seseorang memiliki aksen yang jauh berbeda dengan kita atau berbeda dari apa yang disebut ‘standar’, semestinya empati dan kepekaan kita menguat. Bahwa ia berasal dari budaya dan mungkin dari tempat yang jauh berbeda, mestinya membuat kita saling menghargai. Berusaha untuk memahami orang lain dari corong perbedaan adalah satu hal yang mulai sering pudar akhir-akhir ini, selain perasaan cinta pada mantan kekasih.
Kita sering lebih peduli apa yang kita lihat daripada apa yang ada di balik tampilan fisik. Kita lebih peduli dari cara mereka bicara—untuk jadi bahan bakar ledekan, seperti pada kasus bahasa Ngapak—daripada substansi yang dibicarakan. Dan menyedihkannya, kita sering menganggap orang lain berpikir sama dengan kita.
Padahal bisa jadi, ketika kamu sibuk menilai aksen seseorang saat berbicara dalam bahasa tertentu, orang itu justru menilai apa yang kamu tahu tentang bahasa, terutama jika ia mahasiswa atau alumni jurusan Linguistik. Mamam!