Ketika warga Jogja mencintai angkringan orang Klaten
Baik Mas Jum, Mbak Sar, dan Paijo itu sudah punya pelanggan rutin. Sekarang, meskipun rumah atau tempat jualannya kena gusuran, mereka mengusahakan gimana caranya para pelanggan itu nggak pindah ke lain angkringan. Tidur tiap malam di pos ronda saja dilakoni demi pelanggan puas dan anak bisa kuliah.
FYI, yang namanya Mbak Sar itu sudah menjadi bakul angkringan paling idola di sini. Orang Jogja mencintai betul angkringan milik orang Klaten.
Selain hafal minuman pesanan pelanggannya satu per satu, angkringan Mbak Sar juga rutin jadi tempat kurir nitip paket milik sebagian “oknum warga” yang sedang pergi. Malah kadang para oknum ini minta Mbak Sar menomboki dulu.
Nomor telepon Mbak Sar juga sudah tersebar di banyak pelanggan yang, selain ingin pesan-antar jarak dekat, kadang ingin konfirmasi dulu sebelum berkunjung.
“Dodol ra, Mbak?”
Ini karena saking populernya angkringan Mbak Sar. Ada orang-orang yang seharusnya bisa jajan di angkringan yang lebih dekat dengan tempat mereka, malah memilih untuk temu kangen dengan Mbak Sar.
Mbak Sar cerita kalau dulu pas dia libur panjang pas gusuran, banyak pelanggannya kebingungan, bertanya-tanya. “Mbak Sar jualannya pindah mana?”
Ada satu orang akhirnya memilih ke bakul angkringan lain dekat sini, sebut saja namanya Mak Sri (masih grup Pak Jambul). Tapi bukannya nglarisi, dia malah nanya ke Mak Sri, “Angkringane Mbak Sar pindah ke mana e, Mak?” Dasar pembeli nggak sopan.
Angkringan orang Klaten yang menjadi sumber informasi warga
Di Jogja, angkringan itu ibaratnya hampir sebanding dengan pub di Inggris. Angkringan sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari warga setempat. Lalu, karena secara fisik si bakul atau bartender berdiri atau duduk berhadapan langsung dengan pelanggannya di meja yang sama, jadinya ada interaksi yang lebih personal di antara mereka seiring waktu berjalan. Tidak seperti kalau kita pergi ke tempat makan model lain.
Banyak pelanggan pasti banyak cerita. Selain terkenal dengan ketawanya yang “nyekakak”, angkringan Mbak Sar juga dikenal sebagai pusat infotainment setempat. Mbak Sar dan Mas Jum lebih tahu banyak tentang berita terkini setiap warga dibanding warga itu sendiri.
Secara umum, kita mungkin tidak berharap banyak untuk bisa belajar tentang efisiensi atau efektivitas kerja dari model bisnis angkringan. Kadang ada pelanggan yang entah suka nge-bon, nongkrongnya lama tapi jajannya sedikit, bisa juga bawa miras dan mabuk, atau bahkan kentut sembarangan (true story). Jajanan yang dijual juga mungkin untungnya nggak banyak. Angkringan memang lebih identik dengan kaum menengah ke bawah.
Di lain pihak, dari bakul angkringan, kita bisa belajar soal customer retention. Yaitu menjaga pelanggan supaya setia, lalu ketahanan fisik, serta konsistensi. Meski labanya cuma bisa sedikit-sedikit, tapi maju terus demi menafkahi keluarga. Nggak perlu lah banyak ngeluh soal pelanggan toksik, mental health, atau yang lain. Ngeluh soal utangan? OMG, jangan mengingatkan saya, deh.
Perkara banyaknya pelanggan, kadang kita suka ngeledekin Mbak Sar.
“Kowe kie nganggo susuk opo tho Mbak, kok le dodolan laris men? Tanggapan dia ya biasa: tertawa terbahak-bahak dengan suara keras. “Nyekakak.”
Kategori pelanggan angkringan Mbak Sar
Ada 3 kategori pelanggan yang sekarang rutin jajan di angkringan Mas Jum atau Mbak Sar. Pertama, para pekerja proyek tembok benteng kraton Jogja. kedua, para pelanggan tetap yang bukan dari kampung sini. Ketiga, warga setempat.
Untuk pelanggan kategori pertama, ya udah lah ya, kita di sini interaksi dengan mereka seperlunya saja. Kami mengandalkan Mas Jum dan Mbak Sar untuk mengulik ada info terkini apa terkait proyek tembok benteng keraton Jogja. Misalnya seperti 2 minggu lalu ketika pekerja menemukan kerangka dan tengkorak manusia di bawah tanah yang digali untuk pondasi tembok.
Pelanggan kategori kedua, kita di sini asik-asik aja, sih. Kadang bisa nambah-nambah teman dengan mereka. Malah, berhubung saya punya rumah yang wujudnya nggak umum, yakni kontainer, kadang mereka ada yang mampir lihat-lihat dan nanya-nanya. Jadi nambah kenalan.
Pelanggan kategori terakhir, ini yang bikin kita senang. Selain asupan wedang dan gorengan bisa terpenuhi kembali, situasi di sini bisa perlahan lebih hidup lagi. Meskipun dengan masa depan yang belum pasti. Mau mengakui atau tidak, kehilangan begitu banyak warga itu rasanya berat. Itu adalah momen bersejarah yang membekas di hati kami dalam artian sama sekali nggak ada enak-enaknya. Sekarang, rasanya jadi mendingan berkat angkringan orang Klaten itu.
Bagi saya sendiri, rasanya punya halaman ditebengi angkringan so far masih baik-baik saja. Dulu, di awal rasanya riskan ya. Nanti privasi gimana, kelakukan pelanggannya kalau nggak bener gimana, dan seterusnya. Tapi asal nggak pada rusuh sih insyaallah masih oke-oke aja. Mas Jum dan Mbak Sar juga setiap hari jadi bantu-bantu merawat halaman saya. Selain memberi saya akses jajan all you can eat nggak pakai bayar. Ya mudah-mudahan saja bisa baik terus.
Nasib angkringan orang Klaten setelah tembok keraton Jogja selesai
Ini belum tahu, nih. Besok kalau temboknya sudah jadi, mereka mau pindah ke mana. Meskipun berbagai tawaran lokasi sudah menghampiri Mas Jum/Mbak Sar, harapannya sih mereka masih memilih di sepanjang jalan dekat rumah saya.
Seminggu ini, Mas Jum/Mbak Sar sedang libur. Hampir semua bakul angkringan grup Pak Jambul libur karena beliau mau menikahkan anaknya di negeri Bayat, Klaten. Pesta gedhen, ceritanya. Jadi, para pelanggan setia angkringan Sartini harus bersabar menahan lapar hingga minggu depan.
Konon, Paijo kini tidurnya sudah berpindah dari pos ronda. Tapi, entah ke mana dia tidur. #SavePaijo.
Penulis: Suryagama Harinthabima
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Tour d’Angkringan: Melihat Realita dan Belajar Ilmu Ikhlas dari Tenda Lusuh Angkringan di Jogja dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.