MOJOK.CO – Banjir terjadi di wilayah yang tidak seharusnya. Sebuah peringatan akan bahaya yang mengintai Jogja! Mari korbankan warga!
Dua hari yang lalu, saya menyaksikan sebuah fenomena yang sebelumnya belum pernah terjadi di Jogja. Saat ini saya sudah berusia 32 tahun. Selama puluhan tahun hidup di sini, terpotong masa-masa kuliah di Malang, saya belum pernah menyaksikan kota ini banjir!
Bahkan nggak bisa lagi di sini kita pakai istilah “kota”. Istilah tersebut pasti akan mengarah ke wilayah administrasi Kota Jogja saja. Padahal, banjir terjadi di dua titik yang sebelumnya nggak pernah banjir sampai merendam sepeda motor. Sungguh sangat merata, dari utara sampai selatan. Dari ringroad utara sampai ringroad selatan. Banjir semua! Jadi, sah disebut kalau banjir ini terjadi di administrasi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sebelumnya hanya genangan
Saya masih ingat betul rutinitas di Jogja, medio 2015, “banjir” hanya terjadi di depan Ambarrukmo Plaza (Amplaz). Hujan deras dan terjadi dalam waktu yang lama pasti akan menyebabkan banjir di sana. Namun, perlu kita sepakati bersama bahwa yang terjadi di depan Amplaz itu sebenarnya bukan banjir. Peristiwa di depan mall itu hanya sebatas genangan air. Sepeda motor masih bisa melintas dan ketinggian air paling hanya beberapa sentimeter.
Melompat ke 2022, saya melintas di ringroad selatan ketika hujan turun dengan sangat deras. Angin kencang juga menyertai perjalanan saya untuk menuju ke sebuah warung mie ayam yang mulai hits kala itu. Dari perempatan Jalan Parangtritis mengarah ke timur hingga perempatan Imogiri barat, saya juga melihat “banjir” di bagian jalur cepat. Namun, sama seperti kejadian di depan Amplaz, di sana masih masuk dalam kategori genangan air saja.
Pada tahun yang sama, mulai muncul berita soal “banjir” di Jogja, khususnya underpass Kentungan dan Jalan Magelang. Kejadian ini sebetulnya nggak begitu bikin saya terlalu kaget. Ya maaf sebelumnya, saya selalu skeptis terhadap kualitas pembangunan sebuah infrastruktur di Jogja, khususnya yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak. Misalnya underpass atau perbaikan jalan rusak.
Bagaimana bisa, drainase dari underpass yang masih terhitung baru, malah tergenang oleh air hujan. Nggak peduli hujannya deras atau tidak, kalau bangunan baru, seharusnya masih bisa diandalkan. Masuk akal, bukan? Kalau merasa aneh dengan banjirnya underpass di Jogja, saya malah curiga sama nalarmu.
Yah, pada akhirnya, yang terjadi di Amplaz, ringroad selatan hingga barat, dan dua underpass baru sebatas genangan. Kalau ngomong soal banjir, sih, seharusnya gambaran Jakarta yang muncul.
Banjir di wilayah yang tidak semestinya
Pembaca yang baik bisa dengan mudah menemukan berbagai video yang menggambarkan “banjir parah” di Jogja baru-baru ini. Genangan air sudah hampir setinggi sepeda motor. Bahkan ada yang menunjukkan sebuah sepeda motor itu hanya kelihatan joknya saja.
Silakan membayangkan biaya yang harus dikeluarkan warga untuk servis setelah motornya mogok karena banjir. Siapa yang akan menutup semua biaya yang disebabkan oleh drainase Jogja yang nggak mumpuni? Saya berani bertaruh bahwa si pemilik yang harus menderita karenanya.
Wilayah Condongcatur (Sleman), yang beririsan dengan ringroad utara saja sudah kebanjiran. Bukankah itu agak sulit diterima oleh akal sehat? Nah, kalau Condongcatur saja bikin heran, apa kabar wilayah Dongkelan (Bantul) yang beririsan dengan ringroad selatan? Semakin bikin bingung, kan.
Untuk menjadi konteks bagi pembaca, daerah Dongkelan, khususnya bagian jalan raya hingga pemberhentian bus, mempunyai jalan aspal yang bagus. Seharusnya, ini logika saya saja, daerah dengan jalan yang bagus, seharusnya mempunyai saluran air yang juga mumpuni. Yah, sebatas supaya aktivitas warga tidak terganggu karena genangan air yang semakin tahun semakin tinggi.
Level berbahaya di Jogja sudah semakin naik
Melihat kondisi di atas, menurut saya, level berbahaya di Jogja itu sudah semakin naik. Maksud saya begini. Pertama, sebaiknya kita jangan meremehkan genangan air yang semakin tinggi hingga bisa disebut sebagai banjir. Fenomena ini menunjukkan bahwa mitigasi bencana, khususnya banjir, di Jogja itu masih terlalu rendah. Pembangunan gorong-gorong dan saluran air ternyata nggak bisa menolong.
Genangan air yang semakin tinggi juga sangat membahayakan pengendara, khususnya sepeda motor. Sangat mungkin terjadi pengendara motor terjerembab ke lubang jalan, yang ironisnya, belum disentuh oleh pemerintah provinsi.
Iya, kalau ngomongin perbaikan jalan, seakan-akan sedang membicarakan soal kiamat. Kita tahu pasti akan terjadi, tapi entah kapan. Nunggu tahun politik demi elektabilitas omong kosong? Eh, di Jogja ada soal bahasan elektabilitas? Nggak ada, sih, kayaknya.
Dua hari setelah banjir di wilayah yang tidak semestinya itu, memang, genangan air sudah surut. Namun, di lampu merah Condongcatur, misalnya. Kamu bisa melihat kerusakan jalan semakin bertambah. Solusinya ya kudu gerak cepat. Apalagi saat ini masih sering turun hujan di Jogja. Sesederhana itu, lho.
Membenturkan warga dengan bencana
Saya tidak tahu dengan wilayah lain, tetapi di Jogja, seakan-akan warga itu “dipaksa” untuk head to head dengan bencana. Yang saya maksud bencana di sini bukan sebatas banjir, gempa, atau tanah longsor. Bencana bagi warga bisa berupa kecelakaan parah karena melintasi jalan rusak, yang brengseknya, tak kunjung diperbaiki.
Coba saja melintas di Jalan Kapten Haryadi di Sleman. Sejak isu jalan rusak menjadi viral, hingga saat ini, lubang di jalan belum diperbaiki. Malah ada beberapa warga yang harus “rela” patungan menambal jalan rusak itu dengan karung berisi tanah. Ke mana pemerintah?
Biasanya, kalau dikritik, Pemkab Sleman akan bilang bahwa Jalan Kapten Haryadi adalah kewenangan Pemprov Jogja. Iya, saya bisa memahami. Namun, bukankah Pemkab bisa terus-menerus menekan Pemprov untuk segera mengaspal ulang? Sesederhana itu, lho. Kalau perlu, progres dari tuntutan Pemkab dibagikan ke media sosial supaya warga bisa mengawal.
Akhir kata, saya berharap banjir di wilayah yang tidak seharusnya kemarin menjadi peringatan keras bagi pemerintah Jogja. Ketika bencana sudah terjadi di wilayah yang tidak seharusnya, artinya wilayah tersebut sudah sangat buruk. Mau berlaku lambat lagi dalam merespons bencana? Mau menunggu warga jadi korban untuk kesekian kali lagi?
Urip mati kui dinggo Gusti Allah. Ora dinggo sebuah wilayah. Ngoten!
Penulis: Moddie Alvianto W.
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Pemda Jogja Memang Serakah dan Seharusnya Tahu Diri dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.